Kitab Talmud yang Terus Disederhanakan

 
Kitab Talmud yang Terus Disederhanakan
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Prof. Dr. Muhammad Abdullah Asy-Syarqawi mengemukakan bahwa karena Talmud memiliki struktur yang tidak teratur, komunitas Yahudi merasa perlu untuk merangkumnya agar lebih mudah dipelajari. Untuk memenuhi kebutuhan ini, Rabi Ishaq ben Ya'qub (1032 M/424 H) menghasilkan Talmud Kecil yang dikenal sebagai Hilkhoth, yang artinya tradisi, adat, atau sunnah. Dalam upayanya, Rabi Ishaq menghilangkan sebagian besar teks yang berisi perdebatan panjang, dan hanya mempertahankan bagian yang relevan untuk panduan praktis kehidupan sehari-hari. Namun, upaya tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh mayoritas sekte dalam komunitas Yahudi.

Keadaan itu berlanjut hingga mencapai era Moses ben Maimon (Maimonides) ketika ia menyelesaikan karya monumentalnya tentang Hukum Yahudi, yang membuatnya dikenal sebagai "Si Rajawali Candi Yahudi." Pada tahun 1180 (576 H), ia menerbitkan karyanya yang terkenal, Mishnah Torah, yang artinya "Pengembalian Hukum." Buku ini juga dikenal dengan sebutan Lad Chazakah, yang berarti "tangan yang kuat."

Karya Maimon ini mencakup revisi menyeluruh terhadap Talmud; Pengarangnya memasukkan pemikiran filosofis besar ke dalamnya, dengan tujuan menciptakan hukum secara independen. Sebagai akibatnya, ia diusir secara agama oleh komunitasnya (Kaum Yahudi) dan dijatuhi hukuman mati. Kemudian ia melarikan diri dari Spanyol ke Mesir, di mana ia meninggal pada tahun 1205 M/502 H.

Namun, seiring berjalannya waktu, karya Moses ben Maimon semakin dipandang penting dan dianggap sebagai salah satu teks Talmud yang terutama, meskipun banyak dari undang-undangnya kehilangan relevansi praktis setelah penghancuran Haikal Sulaiman pada tahun 70 M. Pada tahun 1240 M, muncul sebuah versi disederhanakan dari Talmud di bawah pengawasan Rabi Ya'qub ben Asher. Dalam versi ini, semua kontribusi pribadi Maimonides dihapuskan, bersama dengan undang-undang yang dianggap tidak berguna. Rabi-rabi sepakat untuk menyebut karya ini sebagai Arbaa Turim, yang berarti Hukum Talmud Empat

Setelah berlalu waktu yang cukup lama, karena adanya kontradiksi yang jelas antara teks Fashi, Maimonides, dan Asher, muncul kebutuhan yang mendesak untuk menciptakan sebuah Talmud yang menyediakan solusi dan hukum-hukum praktis yang ringkas. Seorang rabi dari Palestina, yang dikenal sebagai Joseph ben Ephraim Caro (1488-1577 M), segera memulai upaya besar ini, menghasilkan sebuah karya yang dikenal sebagai Shulhan Arukh (Set Table), yang mencakup berbagai komentar tentang Arbaa Turim. Namun, karena perbedaan tradisi antara Yahudi Timur dan Barat, Shulhan Arukh tidak dapat memuaskan seluruh komunitas Yahudi di seluruh wilayah.

Oleh karena itu, Rabi Musa Isirlisi menyusun sebuah kitab yang berisi komentar-komentarnya terhadap kitab Shulhan Arukh dengan nama Darakhi Musa yang berarti Jalan Musa. Kitab ini ternyata mendapat tempat di hati kaum Yahudi Barat sebagaimana mendapat tempatnya kitab Shulhan Arukh karya Joseph Caro di hati kaum Yahudi Timur.

Bagaimanapun juga, pada masa sekarang ini kitab Shulhan Arukh dianggap sebagai "Undang-undang Tertulis" yang wajib dipedomani oleh kaum Yahudi. Kitab ini mereka jadikan sebagai acuan dalam berbagai aspek kehidupan, sepertj dalam belajar mengajar, acara-acara keagamaan, hukum, tradisi, aturan hidup bermasyarakat, dan sebagainya. Wallahu A’lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 11 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar