Jenjang Pendidikan Dayah di Aceh

 
Jenjang Pendidikan Dayah di Aceh

 

LADUNI.ID, SEJARAH-  Snouck  Hurgronje menyebutkan beberapa nama dayah yang telah ada sebelum kedatangan Belanda, seperti Dayah Ie Leubeue, dan Dayah Tiro, keduanya di Aceh Pidie, dan Dayah Lamnyong, Dayah Krueng Kale, Dayah Lamseunong, Dayah Tanoh Abee, semuanya di Aceh Besar. Namun demikian, ia tidak menyebutkan kapan dayah-dayah itu didirikan

Pada masa kesultanan, dayah menawarkan tiga tingkatan pengajaran, rangkang (junior), balee (senior) dan dayah manyang (universitas). Di beberapa dayah hanya terdapat junior (rangkang) dan senior (balee), sedangkan di tempat lain hanya ditemui tingkat universitas saja.

Meskipun demikian, di tempat tertentu juga terdapat tiga tingkatan sekaligus, mulai dari junior sampai universitas. Sebelum murid belajar di Dayah, mereka sudah mampu membaca al-Quran. Kemampuan membaca Al-Quran  tersebut,  mereka  dapatkan  dari  rumah  atau  dari  seorang teungku di meunasah.

Informasi tentang kurikulum sangat langka yang bisa didapatkan dari latar belakang sejarah dayah; tidak seorang sarjana pun yang menjelaskan tentang hal ini. Pada dasarnya, A. Hasjmy sangat kesulitan dalam menjelaskan apa yang diajarkan di dayah-dayah pada waktu itu. Dia hanya dapat menduga bahwa apa yang diajarkan di dayah berdasarkan dari sebuah dokumen, Kanun Meukuta Alam, yang ada pada masa Sultan Iskandar Muda.

Dalam dokumen ini, disebutkan bahwa sekitar 21 syarat untuk dapat diangkat menjadi sultan, ketaatan kepada hukum Allah dan Rasulullah serta mengamalkan semua prinsip-prinsip Islam. Di antara sepuluh syarat diangkat menjadi menteri adalah memiliki ilmu  pengetahuan  agama  dan  umum,  dapat  dipercayai  dan  loyal.

 Di antara sepuluh syarat diangkat menjadi qadhi, yaitu adil, menguasai ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama, dan ahli dalam mengambil keputusan.25  Dari dasar-dasar yang tercantum dalam qanun, A. Hasjmy berkesimpulan bahwa tujuan  dari lembaga pendidikan waktu itu adalah untuk menghasilkan orang yang siap untuk menjadi sultan, menteri, qad}i atau beberapa jenis kegiatan administrasi perkantoran.

 Kenyataan ini menunjukkan bahwa dayah-dayah pada masa ini tidak hanya mendidik para murid mereka dalam masalah agama –dalam wilayah yang terbatas-, tetapi juga menyediakan tawaran ilmu pengetahuan lainnya yang dapat menjadikan seseorang mampu mengatur Negara dalam berbagai kapasitas.

 

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi Asal Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga

 

Sumber: Nuraini, Potret Islam Tradisional “Dayah Dan Ulama Di Aceh Abad Ke-20” Dalam Perspektif Sejarah, 2014