Amerika Alami Defisit Anggaran Tertingi Sejak 2012

 
Amerika Alami Defisit Anggaran Tertingi Sejak 2012

LADUNI.ID, Wasingthon - Defisit anggaran Amerika Serikat naik menjadi USD 779 miliar atau setara 11.839 triliun (USD 1 = Rp 15.198) pada tahun fiskal AS yang berakhir 30 September dan ini merupakan yang tertinggi sejak 2012, meski pengangguran turun. Pemotongan pajak yang tidak diimbangi dengan efisiensi pengeluaran ditenggarai sebagai penyebabnya. 

Pengangguran di era Trump berhasil turun di bawah 4 persen namun defisit anggaran meningkat sampai 3,9 persen dari GDP. Ini berbeda dari situasi tahun 2000 saat pengangguran di AS juga di bawah 4 persen, tetapi anggaran surplus 2,3 persen dari GDP. Begitu juga pada 1969 ketika pengangguran 3,7 persen, dan anggaran tetap surplus.

Dilaporkan Wall Street Journal, Selasa (16/10/2018), defisit anggaran pada tahun fiskal AS yang berakhir 30 September lalu adalah USD 779 miliar atau setara 11.839 triliun (USD 1 = Rp 15.198). Tahun fiskal sebelumnya, defisit senilai USD 666 miliar (Rp 10.121 triliun).

Pada tahun ini, pihak Gedung Putih menyebut defisit akan mencapa USD 1 triliun. Partai Demokrat AS menuding kebijakan pemotongan pajak Trump menyebabkan defisit bertambah, sementara pihak pemerintah menyebut defisit berasal dari terlalu banyak pengeluaran.

"Defisit ini lebih tinggi dari yang diinginkan siapapun," ucap Kevin Hassett, Ketua Dewan Penasihat Ekonomi. Dia menambahkan, langkah agresif perlu dilakukan untuk memotong anggaran federal.

Beberapa pengeluaran besar di Pemerintahan Trump adalah pada program militer dan jaminan sosial yang masing-masing naik sebanyak 6 persen dan 4 persen. Sementara, pemangkasan triliunan dolar pengeluaran menimpa program stempel jatah makanan (food stamps), program penyandang disabilitas, kesejahteraan, dan pinjaman mahasiswa

Pengeluaran pemerintah dibanding GDP memang berkurang, tetapi pendapatan pemerintah juga jatuh dari 17,2 persen dari GDP menjadi 16,5 persen. Pajak individual dikurang di era Trump, dan pajak korporasi turut dikurangi secara signifikan dari 35 persen menjadi 21 persen, dan itu berefek pada defisit anggaran.

Gedung Putih menyebut bahwa pemotongan pajak akan memberikan dampak jangka panjang berupa pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, sehingga akhirnya memberi pemasukan pajak lebih besar.