Biografi KH. Irfan bin Musa ( Pendiri Pesantren APIK Kaliwungu Kendal)

 
Biografi KH. Irfan bin Musa ( Pendiri Pesantren APIK Kaliwungu Kendal)

Daftar Isi Biografi KH. Irfan bin Musa ( Pendiri Pesantren APIK Kaliwungu Kendal)

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Nasab
1.4  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.    Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

KH. Irfan lahir pada tahun 1859 di Kota Kaliwungu, putra dari Pasangan Kyai Musa dan Ibu Khodijah. Beliau adalah anak ke 19 dari 20 bersaudara.

1.2 Riwayat Keluarga

Dalam pernikahannya KH. Irfan bin  Musa dikaruniai dua puluh putra dan putri, yaitu :

  1. KH. Abdul aziz
  2. Iqyanah
  3. Fityani
  4. Fityanah
  5. Humaidyani
  6. Hamdan
  7. Hamdanah
  8. Muhammad Kholish
  9. Ashfiya
  10. Syifa’
  11. Maryam
  12. Ahmad Dum
  13. Humaidun
  14. Humaidullah
  15. Ubaidullah
  16. Humaida’
  17. Humaidatun
  18. Ubaidullah
  19. Ibadullah
  20. Ibadiyah

1.3 Nasab

KH. Irfan bin Musa masih keturunan dari Prabu Brawijaya ke V dengan silsilah sebagai berikut:

  1. Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi
  2. Bondan Kejawan atau Lembu Peteng
  3. Kyai Ageng Getas Pandawa
  4. Kyai Ageng Selo
  5. Kyai Ageng Enis
  6. Kyai Ageng Pemanahan
  7. Panembahan Senopati Mataram
  8. Kyai Jewo Seto
  9. Kyai Qomaruddin
  10. Kyai Ma’arif
  11. Kyai Abdul Baqi
  12. Kyai Musa
  13. KH. Irfan

1.4 Wafat

KH. Irfan bin Musa Ahad kliwon setelah Dzuhur tanggal 13 Romadlon 1349 H/ 1 Februari 1931 dan dimakamkan di Pemakaman Umum Kaliwungu Kendal.

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan

Sejak kecil KH. Irfan sangat  menyukai dalam bidang keilmuan. Beliau mulai belajar mengaji sejak dari usia kecil. Kyai Ismail (Bapak Kyai Ahmad Thohir), Kyai Abdul Karim Ulama kampung Petekan, Kyai Abdul Manan (Bapak Kyai H. Abu Chair) kampung Sarean dan Kyai Barnawi adalah Ulama yang mulai mendidik dan mengajarkan berbagai ilmu agama.

Disaat menginjak usia 15 tahun beliau berangkat ke Makkah. Di Makkah beliau belajar mengaji berbagai kitab dari para ulama masyhur disana selama lima belas tahun lamanya dan berkesempatan menunaikan ibadah haji setiap tahunnya selama bermukim di sana.

Nama-nama ulama yang mengajarnya antara lain Syekh Muhtarom Nahrowi, dan Syekh Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasy. Kisah perjalanan KH.  Irfan saat menimba ilmu di tanah suci, di sana Mbah Irfan bertemu dengan Kiai Kamali dari Kempek, Cirebon, yang tak lain adalah ayah dari KH Idris Kamali, menantu Hadratussyekh Hasyim Asy’ari.  Beliau berteman baik dengan Kiai Kamali hingga sepulang dari Makkah beliau mengantarkan Idris Kamali kecil untuk menimba ilmu kepada KH.  Irfan.

“Kiai Idris Kamali kelahiran Makkah sekitar tahun 1885-an, Kiai Kamali pulang (dari Makkah) ke Kempek, Cirebon kemudian mendengar bahwa Mbah Irfan membuat pesantren akhirnya putra beliau (Kyai Idris Kamali) diutus untuk mondok ke KH.  Irfan,” jelas kiai lulusan Lirboyo itu.

Pengasuh Pesantren APIK tersebut menjelaskan, bahwa KH. Irfan pada masa awal pendirian pondok pesantren pernah ikut mengaji kitab Shahih Bukhori kepada Kyai Idris Kamali meskipun secara umur lebih senior Mbah Irfan.

Tradisi seperti ini sudah menjadi kebiasaan di dunia pesantren misalnya seperti kisah Kiai Kholil Bangkalan pernah ikut mengaji kitab hadist kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. “Mbah Irfan tahu kalau Kiai Idris itu orang alim, akhirnya beliau (Kiai Idris  membuka pengajian Shahih Bukhori dan Mbah Irfan ikut dalam pengajian tersebut. Ini awal awal berdirinya Pondok Apik,” lanjut pengasuh Pondok Apik sekarang itu.

Meskipun Kyai Haji Irfan sudah lama bermukim dan belajar ilmu-ilmu agama pada ulama-ulama masyhur di Makkah selama masa 15 tahun, tetapi sikap tawadlu’, rendah hati dan menghormati kepada sesama apalagi kepada yang lebih tua tetap di jaga. Sikap tawadlu’nya itu ditunjukkan misalnya dengan kesediaan beliau untuk menambah ilmunya kepada ulama Indonesia, sepulangnya dari belajar di Makkah, beliau pada setiap bulan Romadlon masih bersemangat menambah ilmu di Pondok Mangkang yang sekarang masuk wilayah Semarang.

Ikhtiyar Kyai Haji Irfan dalam mencari ilmu tidaklah di lakukan dengan bermewah-mewahan atau bersenang-senang seperti menyukai makanan-makanan enak dan berpakaian bagus, tetapi yang di lakukan beliau ialah justru menghindari segala makanan yang  enak cita rasanya, serta tidak mau memakai pakaian bagus. Karenanya, saat beliau tinggal di Makkah, beliau membiasakan diri dalam hal menanak nasi dengan mencampurkan pasir pada beras yang di tanaknya. Beliau melakukan itu agar tidak merasakan kelezatan dan agar lama habisnya. Tingkah laku seperti ini menandakan bahwa beliau sebetulnya termasuk mutashowwif orang yang terikat oleh tabi’at ajaran-ajaran suatu thoriqot. Dan menurut anak keturunannya, beliau memang masuk pada thoriqot syathoriyah.

2.1 Guru-guru Beliau

Guru-guru beliau selama hidupnya adalah sebagai berikut:

  1. Kyai Ismail
  2. Kyai Abdul Karim Ulama kampung Petekan
  3. Kyai Abdul Manan Ulama kampung Sarean
  4. Kyai Barnawi
  5. Syekh Muhtarom Nahrowi
  6. Syekh Mahfudz bin Abdullah At-Tarmasy.
  7. KH. Idris Kamali

3.  Perjalanan Hidup dan Dakwah

Diantara saudara-saudaranya KH. Irfan kecil telah memiliki tabiat dan kesukaan-kesukaan yang berbeda yang mulai ditunjukkan sejak dari kecil. Bermain-main sebagai naluri anak kecil, seperti main kelereng atau main layang-layang dan sejenisnya, ternyata tidak mampu mengusik minatnya, beliau memang bermain-main panahan tetapi itupun sekedar untuk melayani adik kandungnya, yaitu Ridlwan. Jika banyak diantara teman-teman sebayanya tengah bermain-main, maka beliau hanya mau melihatnya dari kejauhan, beliau adalah anak pendiam dan mau berbicara hanya untuk hal-hal yang dianggap sangat perlu saja.

Karena watak beliau yang pendiam dan tidak suka dengan mainan, maka ibundanya, suatu ketika memanggilnya dengan panggilan “kemlu” panggilan ini diberikan oleh ibunya, mungkin dengan maksud agar anak-anak sebayanya tidak lagi memaksa Irfan untuk ikut serta dalam sepermainannya.

Kepekaan KH. Irfan kecil dalam menjaga diri, yaitu bagaimana orang tua, saudara-saudaranya dan teman-temannya tidak tersinggung terhadap perilakunya, telah ditunjukkan dari masa kanak-kanaknya, misalnya dalam hal makanan, beliau tidak pernah sekalipun menolak makanan yang diberikan kepadanya, sepanjang makanan itu halal dan bersih, tetapi tidak berarti bahwa Irfan suka makan, yang terjadi justru sebaliknya, ketika waktunya makan sudah datang beliau tidak cepat-cepat makan sebelum disuruh oleh ibundanya.

Kyai Musa, ayah KH. Irfan, adalah salah seorang pedagang emas di Semarang. Pada waktu itu, konon, cara berdagang emas seperti layaknya orang berdagang kacang goreng, yakni jual beli emas itu di lakukan dengan cara memakai takaran tidak seperti alat timbang emas yang kita kenal sekarang. Usaha dibidang jual-beli emas ini juga menandakan bahwa Kyai Musa sebetulnya tergolong orang yang cukup kaya pada waktu itu.

Setelah Kyai Musa wafat, maka sebagaimana ajaran agama Islam, harta bendanya pun dibagi-bagi menurut aturan hukum waris Islam. Setiap anak mendapatkan bagian sesuai dengan haknya. Dari hasil pembagian tersebut kemudian dikembangkan untuk mendirikan pabrik batik bersama saudara-saudaranya.

Akan tetapi akhirnya KH. Irfan tidak mempunyai minat terhadap harta benda, yang diutamakan beliau adalah ilmu, karena itu yang selalu dicarinya adalah ilmu. Gairah beliau pada ilmu yang sangat besar itu, membimbingnya pada keputusan untuk menyerahkan harta bendanya kepada kakaknya, Kyai Abdul Rosyid untuk mengembangkannya. Jika beliau memerlukan uang sekedar untuk kebutuhan membeli kitab dan sebagainya, beliau hanya meminta uang secukupnya kepada kakaknya itu. Hal itu berlangsung sampai beliau membina rumah tangga, segala kebutuhan rumah tangga dicukupi oleh kakaknya.

Alkisah, ketika saudara-saudaranya tengah membicarakan masalah uang, adiknya, yaitu Ridlwan (ayah Kyai Haji Asror) melihat bahwa Kyai Haji Irfan menuju ke arahnya. Melihat gelagat kedatangan Kyai Haji Irfan ini mereka lantas menghentikan pembicaraannya itu, takut kalau di ketahui olehnya. Beliau tidak suka melihat orang-orang membicarakan masalah uang, meskipun itu saudara-saudaranya sendiri. Kesukaan Kyai Haji Irfan hanya kepada bab ilmu dan membenci kepada harta benda. Allah telah mengangkat derajat beliau menjadi orang yang sangat berwibawa. Karena wibawanya itu, bukan saja beliau di segani oleh orang banyak tetapi juga oleh saudara-saudara beliau sendiri.

Setelah usia muda di isi dengan berbagai keutamaan, seperti ilmu, tata laku dan amaliah, beliaupun mulai meniti mengenai ajaran Nabi yang menyangkut pernikahan. “Jika aku menginginkan anak-anak soleh yang akan menyiarkan agama Allah, yang akan menganjurkan kepada umat tentang kewajiban dan ketaqwaan, bukankah aku harus menikah?”, begitu kira-kira yang ada dalam angan-angan KH. irfan waktu itu. Bukankah menikah itu sunnah Nabi? bukankah menikah itu sebagai ibadah bagi hamba-hambanya yang bertaqwa kepada-Nya?”. Kyai Haji Irfan tak henti-hentinya merenungkan makna suatu pekawinan.

Kyai Haji Irfan berkeinginan untuk dapat memperoleh banyak keturunan lagi yang nantinya dapat meneruskan perjuangan yang di cita-citakan. Cita-cita yang selalu ada dalam angan-angan beliau ialah menyebar luaskan ajaran-ajaran agama Islam di berbagai tempat khususnya di daerah Kaliwungu. Untuk itu perlunya ada orang-orang yang faqih. yang ‘alim dalam babakan ilmu agama, dan mereka yang alim itu, terutama anak-anak cucunya nanti menjadi anak yang sholih, sholihat mau meluangkan waktunya untuk mengajar para santri dan warga masyarakat sekitarnya. Syukurlah kalau di Kaliwungu pada akhirnya menjadi tempat orang-orang mencari ilmu agama dan di Kaliwungu pula banyak berdiri pesantren dan madrasah.

Renungan Kyai Haji Irfan mengenai keadaan masyarakat ang ideal, yaitu masyarakat yang di hiasi dengan nilai-nilali agama, masyarakat yang di payungi oleh orang-orang alim dan masyarakat yang di sibukkan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan serta tercipta banyak pesantren dan majlis-majlis serta madrasah, membawanya kepada niat untuk memperbanyak keturunan.

Setelah melakukan serangkaian istikharah, meminta petunjuk Allah pada setiap hari dan malamnya, maka di putuskan untuk menikah dengan Ruqoyyah. Beliau menikah sejak sekitar 10 tahun setelah kepulangannya dari Makkah. Beliau menikahi Ruqoyyah pada hari Senin bulan jumadil Akhir tahun 1317 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1899 Masehi.

Ada ungkapan, “semakin dalam ilmu seorang, akan semakin tidak tahu. Jika dalam bab ilmu perasaan tidak tahu itu akan melahirkan sikap tawadlu’, rendah hati dan lahir pula gairah mencari ilmu. Setelah menimbang-nimbang diri, maka beliau berbulat hati meminta ijin istrinya, mertua dan saudara-saudaranya untuk tholabul ilmi lagi ke Makkah. Hari-harinya di lalui dengan muthola’ah kitab dan mengaji, dan malam hari tak pernah di lepaskan tanpa di isi dengan tadarus Al Qur’an, sholatul lail dan do’a-do’a panjang. “Aku berserah diri ke hadapan-Mu ya Allah. Berilah aku setetes ilmu dari lautan ilmu yang tak pernah kering. Jadikanlah aku ya Allah orang yang memberi manfaat. Jika kelak aku punya anak, cucu dan keturunanku, maka bimbinglah mereka semua dan jadikanlah merika sebagai penyiar dan penjaga kemurnian agama-Mu.

Pada kedatangan ke tanah air kali kedua ini lah Kyai Irfan mempunyai niatan utk melaksanakan cita-cita beliau mendirikan Pondok Pesantren . Dan dalam Usia 60 tahun tepatnya Pada tanggal 12 Februari 1919 M atau bertepatan dengan tanggal 12 Dzulhijjah 1338 H, Beliau mendirikan Pondok Pesantren dengan nama Al-Ma’hadus Salafi Al-Kaumani.

Pesantren lahir bukanlah dari ruang kosong. Pesantren lahir karena menjawab persoalan masyarakat pada saat itu. Makanya, pesantren selalu terkait erat dengan berbagai kepentingan dan persoalan yang dihadapi masyarakat. Demikian juga yang terjadi dalam berdirinya Pesantren AI-Qaumani, Kauman, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah.

Menurut kisah KH. M. Sholahuddin Humaidulloh, pengasuh Pesantren saat ini, Pesantren Al-Qaumani berdiri karena ada sebagian masyarakat Kaliwungu yang melakukan rutinitas buruk, yaitu menyabung ayam (adu ayam).

“Suatu hari KH. Irfan bin Musa datang ke tempat penyabung ayam untuk ikut mengadukan ayam jagoannya. Ternyata setelah diadu ayam jago milik Kyai Irfan menjadi menang, tak ada satupun yang bisa menandinginya. Pada keesokan harinya, para penyabung ayam itu berbondong-bondong mendatangi rumah sang kiai karena dikenal dengan kejadukannya (kemasyhurannya),” tegas Kiai Sholahuddin,

Saat itu, Kiai Irfan berkata,  “pitikku wes mati, tak sembelih, kae neng mburi (ayamku sudah mati, tak sembelih, itu adalah di belakang)”. Setelah itu Kiai Irfan kembali berkata “ketimbang sampean adu pitik luweh becik ngaji seloso lan setu neng kene mbek aku” (daripada kamu menyabung ayam lebih baik ngaji hari selasa dan sabtu di sini sama aku). Setelah kejadian itu, lanjut Kiai Sholah, masyarakat tidak lagi menyabung ayam dan mengikuti nasihat KH. Irfan bin Musa dengan ikut mengaji.

Pondok Pesantren AI-Qaumani dibangun di atas tanah Waqof dari KH. Irfan. Sementara biaya pembangunannya 75 persen dari kakaknya, yaitu H. Abdur Rosyid, 25 persen dari masyarakat Kaliwungu. Sebagai pengasuhnya adalah KH. Irfan bin Musa. Pada waktu itu belum ada santri yang dianggap besar, sehingga Lurah Pondok dipercayakan kepada keponakannya, Kiai Ahmad Ru’yat dan dibantu oleh Kiai Usman Abdurrosyid, kemudian Kiai Ru’yat digantikan oleh Kiai Idris Kempek Cirebon. Selama 10 tahun, KH. Irfan mengajar langsung para santrinya.

Pada masa penjajah semakin menguat dan di Hijaz terjadi perebutan kekuasaan oleh keluarga Saud yang memegang paham wahabisme dan mempunyai rencana akan menghancurkan peninggalan para sahabat dan ulama salaf, akhirnya para ulama yang dipandegani KH Hasyim Asy'ari membentuk Komite Hijaz, yang kemudian menjadi spirit mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut Kiai Sholahuddin Mbah Irfan juga turut datang ke kediaman Mbah Hasyim Asy’ari pada waktu didirikannya NU. “Ketika NU itu didirikan Mbah Irfan ikut sowan ke Mbah Hasyim Asy’ari, dan setelah Mbah Hasyim ke Kaliwungu kemudian Mbah Irfan sowan ke Jombang," ungkap beliau.

Pondok Pesantren Salaf Al-Kaumani dan sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren Salaf APIK. Setelah KH. Irfan wafat, estafet pengasuh pesantren dilanjutkan KH Ahmad Ru'yat (keponakan Kiai Irfan), kemudian berlanjut kepada KH Humaidullah Irfan (putra Kiai Irfan). Berikutnya kepada KH Imron Humaidullah dan saat ini KH Sholahuddin Humaidullah, keduanya merupakan cucu dari Kiai Irfan.

Berkat kegigihan dan kealiman Mbah Irfan pula, beliau mampu mendidik putra-putri dan para santrinya untuk menjadi orang-orang yang berpengetahuan dan alim dalam memahami ilmu agama.

Sehingga, awal dari berdirinya Pondok Pesantren APIK ini kemudian muncul pesantren pesantren di belahan kaliwungu sepeti Ponpes putri ARIS didirikan oleh KH Ahmadum Irfan (putra KH. Irfan), Pesantren putri Al-Aziziyah didirikan oleh KH Abdul Aziz Irfan (putra KH. Irfan) dan Pesantren Al-Fadlu wal Fadilah didirikan oleh KH Dimyati Rois (suami dari Nyai Tho’ah, cucu KH. Irfan), dan puluhan Pondok pesantren di Kaliwungu yang nasabnya masih terhubung dengan KH. Irfan bin Musa atau para muridnya.

4.  Referensi

  1. https://jateng.nu.or.id/fragmen/sepenggal-kisah-kiai-irfan-pendiri-pesantren-salaf-apik-kaliwungu-kendal-qMPLx
  2. https://elaziziy.blogspot.com/2014/09/biografi-kh-irfan-bin-musa.html
  3. https://apikkaliwungu.com/syaikhuna/
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya