Gagal Faham Soal Cadar

 
Gagal Faham Soal Cadar

Pagi ini saya ingin menulis tentang niqob/burqa/cadar. Saya ingin menulis ini karena sedikit resah dengan semakin bertambahnya siswa SMK saya yang tiba-tiba menggunakan cadar. 

Tapi sebelum kesitu, buat teman-teman yang mengidentikkan cadar dengan pemahaman tertentu, saya ingin katakan. Santri-santri saya, siswi SMK yang menggunakan cadar itu saya pastikan tidak karena pemahaman agamanya, tidak karena alasan ideologis, melainkan tak lebih dari sekadar mode, ikut-ikutan atau sekadar suka-suka. Saya pernah bertanya langsung ke mereka dan saya sangat sedih mendengar jawaban mereka.

Menurut saya, pemakai cadar yang ada di Indonesia termasuk santri saya, adalah orang yang gagal faham tentang Islam dan Arab. Orang-orang ini gagal memisahkan mana Islam mana budaya Arab, seperti pakaian, bahasa, aksara, bentuk rumah, arsesoris tubuh seperti rambut dan jenggot bahkan cara makan dan minum. 

Budaya-budaya Arab itu sudah ada jauh sebelum Rasulullah Muhammad SAW lahir. Bahkan dalam sejarah Makkah kita bisa baca, sebelum Bangunan Ka'bah menjadi kiblat kaum muslimin, masyarakat Arab sudah lebih dulu memuliakannya. Begitu juga beragam ibadah seperti Puasa, Haji, penghormatan terhadap hari-hari dan bulan arab sudah ada lebih dulu daripada Islam. 

Demikian pula perihal kehidupan beragama. Di Arab bukan hanya dihuni oleh ummat Islam, tapi juga ada agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi bahkan Atheis. Di Arab juga dihuni oleh banyak etnis dan suku, persis seperti Indonesia, punya marga-marga kesukuan. Hal-hal itu bisa kita baca kisahnya dalam banyak ayat Al Quran, Sirah dan Hadist Nabi. 

Karena itu, Islam harus difahami sebagai satu hal dan budaya arab sebagai satu hal yang lain. Islam kita tempatkan sebagai salah satu agama orang yang tinggal di Arab, dan Budaya Arab kita tempatkan secara antropologis, sebagai salah satu bagian dari kehidupan masyarakat yang memang sudah ada sebelum Islam datang.

Ada beberapa budaya arab yang terakulturasi menjadi ajaran Islam misalnya Ka'bah, Qurban, Haji dan lain lain, tapi banyak juga budaya arab yang hingga sempurnanya diturunkan Alquran tidak diakui bahkan ditentang oleh Islam seperti perbudakan, membunuh bayi perempuan, kawin-mawin saling mewarisi dan lain-lain.

Disamping itu, ada budaya-budaya arab yang memiliki irisan-irisan dengan Islam, seperti antara perintah menutup Aurat dengan Hijab dan Niqob (Cadar) atau perihal "sunnah nabi" soal jenggot dengan fakta orang arab yang memang suka menggunakan Jenggot. 

Hari-hari ini, orang yang gagal faham soal kebudayaan ini lantas memiliki imaginasi tentang kehidupan nabi. Tetapi sialnya, yang diimajinasikan hanya budaya-budaya bangsa arab ketika nabi hidup, bukan imajinasi tentang keseluruhan kehidupan nabi. Salah satu contoh, Karena Nabi Muhammad orang arab yang menggunakan Gamis, lantas kita mengikuti gamis, dan itu dianggapnya sunnah, padahal itu budaya saja. 

Begitu juga, nabi ketika berkomunikasi menggunakan bahasa arab, lantas ada yang mengatakan sunnah juga menggunakan bahasa arab dengan merubah kamu jadi antum, saudara menjadi akhi-ukhti, bapak-ibu menjadi abi dan ummi. 

Karena soal-soal budaya ini tidak dianggap sangat penting dalam islam, maka dalam literatur utama Islam (Alquran dan Assunnah) tidak kita temukan hukum halal-haramnya. Literatur yang banyak membicarakanya justru kitab-kitab fiqh yang kemudian para ulama berdebat soal bagaimana hukumnya. 

Yang dititikberatkan oleh keseluruhan ajaran Islam adalah substansi-substansi saja. Dalam soal kewajiban menutup aurat bagi perempuan misalnya, caranya macam-macam, ada yang pakai cadar, jilbab ada juga yang pake kebaya ala orang Indonesia atau pake pakaian Kimono bagi orang Jepang. Semuanya tujuannya menutup aurat. 

Lebih jauh soal menutup aurat, nabi sendiri hanya memberi batasan-batasan sederhana bagi aurat perempuan. Gampangnya, nabi menyebut dua yang tidak termasuk aurat perempuan dan itupun hanya berlaku didalam shalat yaitu muka dan telapak tangan. Nabi tidak menyebutkan bagaimana batasan aurat perempuan ketika di rumah atau disekolah. Batasan-batasan itu, justru hanya bahasan dan perdebatan para ulama, yang tentu saja sangat subjektif tergantung perspektif mereka masing-masing. 

Dus,  saya tidak anti budaya arab, bahkan santri-santri saya beberapa orang menggunakan cadar tak satupun saya larang. Terlepas dari persoalan lain bahwa cadar semakin identik dengan permainan simbol Wahabisme sama persis dengan politisasi simbol La Ilaha Illallah oleh HTI, saya selalu proaktif memberikan pemahaman pada mereka.

Yang penting sekarang, anak-anak yang sebetulnya sudah bercadar dari SMP atau sekolah sebelumnya itu, dapat memahami substansi Islam dan mengerti duduk persoalan cadar. Saya berharap, merwka menggunakan cadar dengan sadar dan melepas cadar nantinya juga dengan kesadaran. 

Hal ini sama pentingnya dengan memberikan jawaban kepada beberapa kawan yang menodong saya "memelihara Wahabi" di pesantren karena ada beberapa siswa SMK saya yang bercadar itu. Dan itu samasekali tak benar dan sudah saya jawab di paragraf-paragraf awal. Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq.

Ahmad Jumaili
Ketua Harian Yayasan Pondok Pesantren Sirajul Huda Paok Dandak Desa Durian Kecamatan Janapria Lombok Tengah