Serial Tokoh Wayang: Adirata

 
Serial Tokoh Wayang: Adirata

Laduni.ID, Jakarta - Adirata adalah Raja Petapralaya yang juga bergelar Prabu Radheya, Istrinya bernama Dewi Nadha atau lebih dikenal dengan nama Radha. Adirata dalam Kitab Mahabharata adalah ayah angkat Adipati Karna atau Karna, yang sebenarnya adalah putra sulung Dewi Kunti dari Batara Surya. Kedudukannya sebagai ayah angkat Karna itulah yang menyebabkan namanya tercatat dalam dunia pewayangan.

Tidak banyak kisah tentang Adirata yang ditemukan dalam kitab Mahabharata. Kisahnya hanya terdapat dalam Mahabharata jilid ke-1 (Adiparwa) dan ke-3 (Wanaparwa). Dalam kisahnya Adirata mengangkat Karna sebagai anak tercatat dalam Wanaparwa, dan kemudian kisah saat anak angkat Adirata sudah dewasa diceritakan dalam Adiparwa. Adirata sendiri pada mulanya hanya seorang sais atau kusir kereta dan perawat kuda milik Kerajaan Astina.

Pasangan Adirata dan Radha lama tidak dikaruniai anak. Setelah memohon petunjuk kepada para dewa, Adirata bertapa di tepi Sungai Swilugangga, dan tak lama kemudian ia menemukan sebuah kendaga (kotak kayu) berisi seorang bayi, Bayi itu dipungut anak, dan diberi nama Karna. Dalam kitab Wanaparwa dikisahkan bahwa Adirata menemukan Karna atau Radheya di sungai Gangga pada saat ia melakukan sembahyang pagi bersama istrinya, Radha. Mulanya Adirata melihat sesuatu berkilauan di tengah sungai seperti permata yang mengambang. Namun setelah benda tersebut mendekat, Adirata sadar bahwa benda itu adalah sebuah kotak. Kemudian ia berenang untuk meraih kotak tersebut dan mendapati bahwa di dalamnya terdapat seorang bayi. Di dalam kotak tersebut bayi itu terbungkus baju zirah dan memakai anting-anting.

Setelah memungut bayi tersebut, Adirata segera memberitahu istrinya, yaitu Radha. Kemudian mereka menamai bayi tersebut Basusena, karena pada saat ditemukan, anak tersebut disertai dengan baju zirah dan anting-anting. Namun, Adirata sering memanggilnya Radheya, dalam bahasa Sansekerta yang secara harfiah berarti "putra Radha". Menurut kitab Wanaparwa, setelah Adirata mengangkat Karna sebagai anak, tidak lama kemudian istrinya melahirkan beberapa orang putra.

Adirata dan Radha merawat Radheya dengan penuh kasih sayang. Pada saat Radheya berusia enam belas tahun, Adirata membelikannya sebuah kereta dan kuda. Namun tampaknya minat Radheya mengarah kepada ilmu perang dan panah. Ia tidak tertarik untuk menjadi seorang kusir seperti ayahnya. Dengan mengamati kepribadian tersebut, Adirata yakin bahwa Radheya merupakan keturunan kesatria.

Setelah merasa bahwa Radheya sudah cukup dewasa untuk mengetahui asal-usulnya, maka Adirata dan Radha pun menceritakan masa lalu Radheya. Mereka juga memberitahukan di mana ia ditemukan dan bagaimana keadaannya pada saat itu. Setelah mendengar penjelasan orangtuanya, Radheya pergi merantau, lalu berguru pada Begawan Parasurama (Rama Bhargawa) untuk menjadi seorang kesatria.

Bertahun-tahun kemudian, pada saat sebuah turnamen diselenggarakan di Hastinapura, Radheya turut serta meski tak diundang. Pada acara tersebut, Duryodana mengangkat Radheya menjadi Raja di Angga, sebab wilayah tersebut belum memiliki raja. Setelah mengetahui anaknya dinobatkan sebagai raja, Adirata muncul di tengah kerumunan penduduk Hastinapura untuk menyaksikan acara tersebut lebih dekat. Dengan tubuh gemetar dan dipandu dengan sebuah tongkat, Adirata memberikan restu kepada putra angkatnya.

Tentang tokoh Adirata ini, sebagian dalang menyebutkan bahwa ia adalah seorang Raja di Petapralaya, kerajaan kecil jajahan Astina. Adirata disebutkan oleh para dalang juga bernama Prabu Radheya.

Referensi

  1. Ensiklopedia Wayang Purwa I, Dirjen Kesenian dan Kebudayaan Dinas Pendidikan
  2. Drs. Sholikin, Dr. Suyanto,S.Kar, M.A, Sumari S.Sn, M.M, Ensiklopedia Wayang Indonesia, Bandung. PT. Sarana Panca Karya Nusa. SENA WANGI
  3. Sumari, Almanak Wayang Indonesia, Jakarta. Prenadamedia Group.
  4. Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang Kulit Purwa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  5. Dewabrata, Wisnu. 2011. Superhero Wayang.Yogyakarta: Crop Circle Crop.
  6. Guritno,  Pandam.  1988.  Wayang: Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
  7. Koesoemadinata, M.I.P. 2013. “Wayang Kulit Cirebon: Warison Diplomasi Seni Budaya
  8. Hadiatmaja, S. dan Endah, K. 2010. Filsafat Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
  9. Marsaid,  A.  2016.  “Islam  dan  Kebudayaan: Wayang sebagai Media Pendidikan Islam di Nusantara.” Jurnal Kontemplasi 4, no. 1 tahun 2016. Hlm. 102-130.
  10. Mulyono,   Sri.   1989.   Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
  11. Murtiyoso, B. 2017. “Fungsi dan Peran Pagelaran Wayang Purwa Bagi Pendidikan
  12. Nurgiyantoro, B. 2011. “Wayang Dan Pengembangan Karakter Bangsa.” Jurnal Pendidikan Karakter 1, no. 1, Oktober 2011. Hlm. 18-34.
  13. Sedyawati,    Edy.    1981.    Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
  14. Sunarto.  1989.  Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuat Tinjauan entang bentuk, ukiran sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka.
  15. .  2006.  “Pengaruh  Islam  dalam Perwujudan Wayang Kulit Purwa.” Jurnal Seni Rupa dan Desain. No. 3, November 2006. Hlm. 40-51.
  16. .  2009.  Wayang Kulit Purwa, dalam Pandangan Sosio-Budaya. Yogyakarta: Arindo Offset.
  17. Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Solo: ISI Press.