Serial Tokoh Wayang: Dewi Ambika dan Dewi Ambalika

 
Serial Tokoh Wayang: Dewi Ambika dan Dewi Ambalika
Sumber Gambar: ABM Art of Drawing

Laduni.ID, Jakarta - Dewi Ambika (Ambalika) dan Dewi Ambiki (Ambaliki), putri Dewi Swargandini dan Prabu Darmahumbara atau Prabu Darmamuka, raja negara Giyantipura atau Sruwantipura. Dalam kitab Mahabharata juga disebut dengan nama Kerajaan Kasi atau Kasipura. Kakak mereka bernama Dewi Amba. Makna dari nama Dewi Ambika adalah ibu yang tercinta dan makna dari nama Dewi Ambalika adalah ibu yang dicintai.

Menurut legenda, sudah menjadi tradisi bagi kerajaan Kasi untuk memberikan putrinya kepada pangeran keturunan Kuru, namun tradisi tersebut tidak dilaksanakan ketika Wicitrawirya mewarisi tahta Hastinapura, padahal ia merupakan pangeran keturunan Kuru. Kerajaan Kasi memilih untuk menemukan jodoh putrinya lewat sebuah sayembara.

Untuk menikahkan Citranggada dengan para puteri Kasi, Bisma datang ke tempat sayembara. Ia mengalahkan semua peserta yang ada di sana, termasuk Raja Salwa yang konon amat tangguh.

Mulanya kedua putri itu sekaligus menjadi permaisuri Prabu Citranggada. Setelah Citranggada meninggal, keduanya diperistri Wicitrawirya. Pernikahan dengan Prabu Wicitrawirya juga berlangsung sangat singkat karena Prabu Wicitrawirya meninggal. Kemudian mereka berdua dinikahkan lagi dengan Begawan Abiyasa yang menjadi penerus kerajaan Astina.

Suami ketiga Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sudah tua dan tidak tampan. Karena itulah kedua putri cantik tersebut tidak mencintai Begawan Abiyasa. Tetapi mertua mereka Dewi Durgandini mendesak mereka berdua agar rela menjadi istri Begawan Abiyasa dan harus mendapatkan keturunan, demi kelangsungan Dinasti Bharata.

Ketika melakukan kewajibannya sebagai istri, dalam melayani suaminya Dewi Ambika selalu memejamkan matanya. Ia merasa jijik ketika melihat wajah Begawan Abiyasa. Karena perbuatan Dewi Ambika yang tidak pantas itu para Dewa mengutuknya. Bayi yang kemudian dilahirkan oleh Dewi Ambika buta matanya. Bayi tunanetra ini diberi nama Drestarastra.

Seperti saudaranya, Dewi Ambalika pun selalu merasa jijik bila harus menunaikan kewajibannya sebagai istri. Tetapi dia mendapat nasehat dari mertuanya Dewi Durgandini agar tidak memejamkan matanya, supaya kejadian yang menimpa Dewi Ambika tidak terulang lagi. Karena taat dengan perintah mertuanya, ia terus membuka matanya namun ia menjadi pucat dan Begawan Abiyasa. Kerana perbuatannya yang tidak pantas para Dewa pun mengutuknya. Bayi yang dilahirkannya mempunyai wajah yang pucat, bayi itu juga mempunyai kelainan pada lehernya, sehingga kaku bila digerakkan (dalam bahasa Jawa disebut tengeng. Bayi tersebut diberi nama Pandu Dewanata.

Untuk menghindar agar bisa bebas dari kewajjjiban melayani suaminya, pada malam hari kedua kakak beradik itu lalu menyelundupkan seorang dayang istana ke kamar Begawan Abiyasa. Dayang itu bernama Drati, yang kemudian oleh Begawan Abiyasa diangkat menjadi Selirnya.

Kematian Dewi Ambika dan Dewi Ambalika hampir bersamaan dengan mertuanya Dewi Durgandini. Saat itu terjadi setelah di adakannya upacar Sesaji Pitretarpana guna melancarkan jalan arwah Pandu dan Madrim ke Alam Kematian.

Waktu itu Begawan Abiyasa sudah menjadi Pertapa berkata kepada Dewi Durgandini, bahwa ia sangat sedih atas kematian Pndu Dewanata. Sebab kematian itu akan menjadi awal perpecahan keluarga besar Bharata. Mendengar hal itu Dewi Durgandini lalu meyatakan maksudnya untuk pergi ke hutan mencari kematian, sambil memohon kepada Dewa agar perpecahan yang dikhawatirkan Begawan tidak terjadi.

Dewi Ambika dan Dewi Ambalika yang mendengar maksud mertuanya itu menyatakan ikut menyertainya. Maka mereka bertiga berangkat ke hutan, tinggal dan menyepi di sana sampai saat kematiannya dan  membiarkan penerus Dinasti Kuru menentukan nasibnya sendiri. Namun pengorbanan ketiga wanita ini ternyata tidak dapat mengubah suratan takdir. Pada kenyataannya, kelak terbukti bahwa perpecahan keluarga besar Bharata tetap saja terjadi.

Referensi

  1. Ensiklopedia Wayang Purwa I, Dirjen Kesenian dan Kebudayaan Dinas Pendidikan
  2. Drs. Sholikin, Dr. Suyanto,S.Kar, M.A, Sumari S.Sn, M.M, Ensiklopedia Wayang Indonesia, Bandung. PT. Sarana Panca Karya Nusa. SENA WANGI
  3. Sumari, Almanak Wayang Indonesia, Jakarta. Prenadamedia Group.
  4. Amir, Hazim. 1994. Nilai-nilai Etis dalam Wayang Kulit Purwa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  5. Dewabrata, Wisnu. 2011. Superhero Wayang.Yogyakarta: Crop Circle Crop.
  6. Guritno,  Pandam.  1988.  Wayang: Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
  7. Koesoemadinata, M.I.P. 2013. “Wayang Kulit Cirebon: Warison Diplomasi Seni Budaya
  8. Hadiatmaja, S. dan Endah, K. 2010. Filsafat Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher.
  9. Marsaid,  A.  2016.  “Islam  dan  Kebudayaan: Wayang sebagai Media Pendidikan Islam di Nusantara.” Jurnal Kontemplasi 4, no. 1 tahun 2016. Hlm. 102-130.
  10. Mulyono,   Sri.   1989.   Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
  11. Murtiyoso, B. 2017. “Fungsi dan Peran Pagelaran Wayang Purwa Bagi Pendidikan
  12. Nurgiyantoro, B. 2011. “Wayang Dan Pengembangan Karakter Bangsa.” Jurnal Pendidikan Karakter 1, no. 1, Oktober 2011. Hlm. 18-34.
  13. Sedyawati,    Edy.    1981.    Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
  14. Sunarto.  1989.  Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta: Sebuat Tinjauan entang bentuk, ukiran sunggingan. Jakarta: Balai Pustaka.
  15. .  2006.  “Pengaruh  Islam  dalam Perwujudan Wayang Kulit Purwa.” Jurnal Seni Rupa dan Desain. No. 3, November 2006. Hlm. 40-51.
  16. .  2009.  Wayang Kulit Purwa, dalam Pandangan Sosio-Budaya. Yogyakarta: Arindo Offset.
  17. Soetarno dan Sarwanto. 2010. Wayang Kulit dan Perkembangannya. Solo: ISI Press.