Imam Zuhri dan Kompromi Dakwah dalam Relasi Kuasa Ulil Amri

 
Imam Zuhri dan Kompromi Dakwah dalam Relasi Kuasa Ulil Amri
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sebelum lebih jauh melacak pandangan relasi ulil amri dalam pandangan imam Zuhri ini, maka penting terlebih dahulu mengemukakan persoalan istilah akar katanya. Maka dengan cara ini, kita akan dapat mengetahui makna awal dan kemudian pengaplikasian istilah tersebut dalam kajian Islam.

Istilah ulil amri banyak mengalami kontestasi penafsiran di antara kalangan ulama tafsir. Misalnya dalam pandangan Muhammad Jarir At-Thabari, ia menyatakan di suatu sisi oleh ulama tertentu dipahami sebagai umara. Sedangkan di kubu yang lain diartikulasikan dengan makna ahlul ilmi wal fiqh (orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan tentang fiqih). Bahkan ada yang mendefinisikan ulil amri sebenarnya adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW.

Ahmad Mustafa Al-Maraghi mengartikan makna tersebut (ulil amri) dengan makna umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya yang mana dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum mereka dijadikan rujukan oleh masyarakat. Lebih jauh, Al-Maraghi menjelaskan bahwa ulil amri adalah ahlul halli wal aqdi, yang artinya mereka dipercaya oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer, dan pemimpin dalam kemaslahatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan, dan sebagainya.

Namun dalam pandangan Gus Baha yang mengutip pernyataan Imam Nawawi, bahwa diperlukan melacak asbabun nuzul terkait ayat 59 Surat An-Nisa’,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).”

Dari ayat di atas, dalam asbabun nuzulnya ditemukan bahwa sebenarnya ayat tersebut hendak menyikapi perihal disiplin perang yang harus patuh dalam satu komando. Seperti ketika nabi memasrahkan mandat perang kepada Khalid bin Walid, maka siapa pun tidak boleh membantah perintah tersebut, berikut juga terhadap strategi perang yang telah dibakukan oleh Khalid bin Walid.

Lanjut Gus Baha, ketika nabi menyerahkan komando perang terhadap Khalid bin Walid maka semua dituntut untuk mematuhinya, termasuk sahabat sejati seperti Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, dan sahabat-sahabat kaliber lainnya dilarang membantah. Selain itu, juga ditutupnya ruang diskusi dan pandangan berbeda dengan Khalid bin Walid. Semua harus ada di bawah arahan Khalid.

Oleh sebab itu, maka kemudian jika asumsi tersebut dikaitkan dengan penafsiran yang lain, seperti ulil amri dipandang selain pemimpin perang juga dapat diartikulasikan sebagai umara, ulama, dan makna lainnya selain pemimpin dalam armada perang, akan terjadi semacam konfrontasi penafsiran, sebab ayat tersebut berbicara perihal perang.

Akan tetapi Gus Baha juga menegaskan, bahwa panafsiran yang tumbuh dan berkembang di Indonesia tidak demikian. Melainkan lebih terhadap memperluas penafsiran tersebut agar lebih umum, sehingga ayat tersebut dapat berfungsi dalam banyak hal. Bagaimanapun tidak dapat disalahkan pandangan yang seperti ini, sebab kenyataannya ulama-ulama di Indonesia tidak ada yang menyalahkan dan menentangnya.

Ada yang menarik dari pandangan tentang ayat ulil amri yang tertera dalam QS. An-Nisa’: 59 tersebut, yaitu tidak adanya gandengan lafadh taat seperti dua kata di depannya, yaitu athi’ullah wa athi’ur-rasul. Persoalan ini juga menjadi perhatian mufassir Indonesia seperti M. Quraish Shihab. Beliau menyatakan, bahwa ketaatan secara totalitas hanya pantas dan harus dipersembahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan ulil amri hanya sebatas pada ketaatan tertentu yang kemudian dapat melahirkan kemaslahatan.

Ulil amri yang memiliki otoritas yang begitu signifikan terhadap apa yang ada dalam kekuasaanya, meliputi masyarakat secara keseluruhan yang akan merasakan ketergantungan padanya. Jika ulil amri yang memimpin tersebut baik, maka akan baik secara keseluruhan. Sebaliknya, jika buruk maka akan buruk juga kondisi masyarakatnya. Begitulah gambaran penting dalam ulil amri, yang perannya sangat menentukan kondisi sosial, ekonomi, kepercayaan, dan lain sebagainya.

Tidak kalah penting, kemudian perlu dibahas perihal peran ulil amri seperti yang telah disebutkan di atas yang menjadi aktor penting dalam menentukan keberagaman dan keagamaan masyarakat.

Jika merunut poin besar dalam makna ulil amri di atas adalah sebuah kekuatan besar yang dapat mengintegrasikan kekuatan menjadi kokoh, maka sangat penting kiranya intervensi Islam dalam relasi kuasa ulil amri, untuk selanjutnya dapat membangun relasi yang mana agama masuk dalam sistem ini. Sebab dua komponen ini akan kuat jika saling terintegrasi dengan baik, terutama dalam membangun peradaban dan moral bangsa.

Hal semacam ini pernah dilakukan oleh Imam Zuhri yang memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Al-Madani Az-Zuhri. Imam Zuhri inilah yang kemudian melakukan dakwah secara massif dengan menggunakan relasi kuasa dengan ulil amri yang waktu itu di bawah kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz.

Menurut Gus Baha, mensyariatkan kebaikan secara massif tidak akan bisa jika tidak melibatkan negara. Sebab dampak negara yang berada di bawah intervensi ajaran Islam maka akan mempengaruhi kebijakan negara menjadi bernuansa Islam, dan hal ini akan mempermudah dakwah terutama memperkenalkan ajaran Islam yang pesan utamanya adalah membangun pesan moral yang baik.

Lanjut Gus Baha, hal inilah yang memang dibutuhkan oleh negara dan pada yang sama sekaligus memperkenalkan Islam, terlebih di Indonesia. Sebab ditemukan dalam sebagian ormas tertentu memaksakan agar sistem yang ada di Indonesia berubah menjadi sistem yang berlandaskan hukum Islam. Jika strategi dalam hal ini menggunakan pendekatan yang digunakan oleh Imam Zuhri yaitu dengan membangun relasi dengan penguasa terlebih dahulu maka sangat dimungkinkan akan mempermudah masuknya implementasi hukum Islam. Sebab, pendekatan secara kekerasan tidak akan melahirkan maslahat, bahkan sebaliknya malah dianggap tindakan separatisme yang mengancam kedaulatan negara. Dan hal ini tentu harus dihindari. Da’rul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih. Mencegah terjadinya kerusakan lebih didahulukan daripada sekadar keinginan menerapkan kemaslahatan.

Pendekatan Imam Zuhri sangatlah penting diperhatikan oleh para ulama dalam membangun relasi dengan ulil amri atau pemegang kekuasaan. Sebab ajaran Islam yang disebarkan secara individual dan sempit akan susah dijangkau masyarakat yang dahaga pengetahuan. Oleh sebab itu, Gus Baha menyebut dibutuhkannya gerakan kolektif yang hal itu hanya dapat diwujudkan dengan bekerjasama dengan kekuatan ulil amri. Wallahu A’lam. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian KH. Bahauddin Nursalim. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

___________

Penulis: Kholaf Al-Muntadar

Editor: Hakim