Info Harian Laduni: 20 Oktober 2023

 
Info Harian Laduni: 20 Oktober 2023

Laduni.ID, Jakarta - Bertepatan dengan tanggal 20 Oktober ini menjadi momentum bagi kita semua merayakan hari kelahiran KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA. Serta menjadi momentum bagi kita semua untuk mengenang kepergian KH. Ma'shum Lasem, KH. Tolchah Mansoer, dan KH. Muhammad Ridwan Blitar.

KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA lahir pada hari Jum’at Wage malam 29 Ramadhan 1337 H atau bertepatan pada 20 Oktober 1918 M. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Muhammad Ma’roef RA (pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadharah) dengan Nyai Hasanah (putri Kyai Sholeh Banjar, Melati Kediri).

Tanggal 12 Ramadhan 1392 H atau 20 Oktober 1972 M Mbah Ma’shum menyempatkan untuk salat Jum’at di masjid Jami’ Lasem. Saat hari itu juga beliau tutup usia pada pukul 2 siang.

KH. Muhammad Ridwan Blitar wafat pada pagi, Kamis Legi, 20 Oktober 1988 atau bertepatan 9 Maulid 1409 H sekitar pukul 06.00 WIB.

KH. Tolchah Mansoer dipanggil ke rahmatulloh pada 20 Oktober 1986, setelah sempat dirawat di RS. Dr. Sardjito Yogyakarta karena penyakit jantung bawaan sejak lahir.

 

KH. Abdul Madjid Ma’roef QS mempunyai kepribadian yang sangat luar biasa, akhlak beliau adalah biakhlaqi Rasulillah. Bentuk fisik beliau berbadan sedang dengan warna kulit putih bersih. Berhidung mancung agak tumpul dan berbibir bagus agak lebar dengan garis bibir tidak jelas yang menunjukkan bahwa beliau mempunyai tingkat kesabaran yang luar biasa.

Kalau berjalan beliau melangkah dengan pelan tapi pasti dengan sorot mata mengarah kebawah. Terkadang beliau juga menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat situasi dan keadaan jamaah atau sekitarnya. Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum, beliau juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda yang membuat beliau dan tamunya tertawa.

Disamping itu beliau dikenal sangat dermawan. Hal ini dicontohkan pada saat menerima tamunya yang sowan dan tampak tidak punya ongkos untuk pulang lalu diberi ongkos oleh beliau. Pernah juga beliau memberi belanja kepada seorang pengamal yang tidak punya penghasilan. Ada pula seorang pengamal yang ingin tahu keramatnya beliau, ketika si tamu pamit pulang beliau memberikan jubahnya kepada si tamu tersebut.

Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya. Baju yang telah dipakai sekali tidak di pakai lagi untuk ke esokkan harinya (setiap hari pasti ganti baju), kebiasaan ini membuat beliau sering mencuci pakaiannya sendiri. Dalam masalah ini beliau pernah mengungkapkan rumah itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti rumah sakit.

 

KH. Muhammadun atau yang biasa dipanggil dengan KH. Ma’shum atau Mbah Ma’shum merupakan anak bungsu dari pasangan KH. Ahmad dan Qosimah. Mbah Ma’shum lahir sekitar tahun 1868. Dua saudara Mbah Ma’shum adalah sosok perempuan, yaitu, Nyai Zainab dan Nyai Malichah. Beliau adalah pendiri pondok pesantren Al Hidayah, Lasem, Rembang.

Sebelum mendirikan pesantren, KH. Ma’shum bermimpi bersalaman dengan Rasulullah Saw, dan setelah bangun tangannya masih berbau wangi. Di waktu lain, beliau kembali bermimpi bertemu nabi sedang membawa daftar sumbangan untuk pembangunan pesantren, dan berpesan kepada Mbah Ma’shum, “Mengajarlah … dan segala kebutuhanmu Insya Allah akan dipenuhi semuanya oleh Allah.”

Selama mengasuh, KH. Ma’shum banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santri-santrinya. Beliau juga selalu menanamkan sikap disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah itu lebih utama ketimbang seribu karomah. Dalam mengajar, beliau memiliki kebiasaan mengulang-ulang beberapa kitab yang beliau ajarkan. Jika sudah khatam, beliau ulangi dari awal lagi hingga berkali-kali khatam. Kitab-kitab yang sering beliau kaji di antaranya yaitu Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumiddin.

Ketika telah berusia lanjut, santri- santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama selain menuntut ilmu, yakni tabarrukan atau mengambil barokah spiritual dari beliau. Banyak di antara murid-murid beliau yang di kemudian hari menjadi Kyai-Kyai besar, di antaranya yaitu Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, dan lain-lain.

 

KH. Muhammad Ridwan atau yang kerap disapa dengan panggilan Kyai Ridwan lahir pada 1908, di Blitar. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Abdul Karim dan Nyai Hj Rokibah.

Kyai Ridwan memulai perjuangan sesungguhnya. Ada cerita menarik sebelum beliau merintis Pesantren Maftahul Ulum. Kiai Ridwan pernah mufarroqoh dari salah satu kiai kampung yang ada di sekitar desanya. Pasalnya, di masjid salah satu Kyai kampung tersebut hanya keturunan dan keluarganya yang boleh menjadi imam shalat.

Hal inilah yang menjadi titik awal Kyai Ridwan memutuskan untuk membangun Mushala Baiturrahman yang menjadi cikal bakal Pesantren Maftahul Ulum. ”Jarene Abah sopo wae sing taqwa kaliyan Allah, sing alim oleh ngaji lan ngimami (kata ayah, siapa saja yang memiliki ketaqwaan kepada Allah SWT, mengerti tentang agama boleh menjadi imam dan memberikan pengajian),”

Karena keteguhan prinsip dan keilmuan yang mempuni inilah, Kyai Ridwan sering diundang untuk ngaji di mana-mana. Hari-hari beliau hanya digunakan untuk mengurusi umat. Perjuangan tanpa pamrih membuatnya menjadi salah satu ulama yang disegani di Blitar dan sekitarnya. Materi pengajian dari Kyai Ridwan pun membuat pendengarnya merasa puas karena cara penyampaiannya mengikuti tingkat kemampuan jamaah.

Dalam berdakwah, Kyai Ridwan sangat menjunjung tinggi kearifan lokal di daerahnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil karya beliau yaitu Nahwu Jawan (Nahwu Jawa) dan beberapa syiir-syiir ketauhidan yang disesuaikan dengan bahasa dan nada yang mudah dipahami masyarakat setempat.

 

KH. Tolchah Mansoer lahir pada 10 September 1930 dikota Malang Jawa Timur. Beliau merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan KH. Mansoer dan Siti Nur Khatidjah.

KH. Tolchah Mansoer, sangat berperan terhadap lahirnya IPNU serta kiprahnya dan pengabdiannya kepada NU dan umat Islam. Semoga apa yang telah diperbuatnya menjadi amal jariyah yang hingga kini pahalanya terus mengalir kepada Sang Guru Besar. Tentu, layak bagi generasi penerus NU, apalagi rekan dan rekanita IPNU-IPPNU mejadikan beliau teladan.

Semangat KH. Tolchah Mansoer untuk belajar tidak pernah surut, walaupun telah menikah beliau tetap kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan studinya, hingga kemudian mampu menyelesaikan jenjang sarjana dan menjadi Sarjana Hukum pada tahun 1964.

Guru Besar Hukum ini pernah memegang jabatan di beberapa perguruan tinggi, diantaranya Pembantu Rektor IAIN Sunan Kalijaga, kemudian Dekan Fakultas Ushuluddin, Direktur Akademi Administrasi Niaga Negeri di Yogyakarta (1965-1967), Rektor Universitas Hasyim Asy’ari (1970-1983) merangkap Rektor Institut Agama Islam Imam Puro, Purworejo (1975-1983) dan Dekan Fakultas Hukum Islam UNU (Universitas Nahdlatul Ulama) Surakarta.

 

Mari kita sejenak mendoakan beliau, semoga apa yang beliau kerjakan menjadi amal baik yang tak akan pernah terputus dan Allah senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau.

Semoga kita sebagai murid, santri, dan muhibbin beliau mendapat keberkahan dari semua yang beliau tinggalkan.

Mari sejenak kita bacakan Tahlil untuk beliau:  Surat Yasin, Susunan Tahlil Singkat, dan Doa Arwah