Ketika Kaum Khawarij Menguji Kecerdasan Ali bin Abi Thalib

 
Ketika Kaum Khawarij Menguji Kecerdasan Ali bin Abi Thalib
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sejarah Islam mencatat, awal mula perpecahan dalam pasukan Khalifah Ali bin Abi Thalib usai perang Shiffin adalah lantaran ada sebagian pengikut Ali yang tidak sepakat dengan sikap Ali yang menerima usulan tahkim atau arbitrase. Hal itu membuat kelompok tersebut memutuskan untuk meninggalkan barisan pasukan Ali, yang kemudian mereka dikenal dengan sebutan Kaum Khawarij.

Tidak hanya sampai di situ, setelah memutuskan keluar dari barisan pengikuti Khalifah Ali, Kaum Khawarij juga mulai mengkritisi dan memupuk rasa benci kepada Khalifah Ali.

Dalam Kitab Al-Mawa’idh Al-‘Ushfuriyyah karya Syaikh Muhammad bin Abi Bakar, dijelaskan tentang orang-orang Khawarij yang mempertanyakan tentang kredibilitas Hadis yang menjelaskan bahwa Sahabat Ali adalah sosok yang pintar dan cerdas, sehingga disebut sebagai pintu gerbang kota ilmu oleh Nabi Muhammad SAW.

Hadis yang dimaksud tersebut sebagaimana berikut ini:

أ‌َنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ وَعَلِيٌ بَابُهَا فَمَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَاليَأْتِ الْباَبَ

“Aku adalah kota ilmu, sementara Ali adalah pintu gerbangnya, maka barangsiapa yang hendak memasuki kota tersebut maka ia harus melalui pintunya.” (HR. Hakim)

Usai mendengar Hadis di atas, sepuluh orang dari pembesar Kaum Khawarij bersepakat untuk menguji Sahabat Ali dalam rangka membuktikan kebenaran dari isi Hadis Nabi Muhammad itu.

Satu di antara mereka berkata kepada yang lain, “Kita harus bertanya pada Ali dengan sebuah pertanyaan yang sama, lalu kita bisa melihat bagaimana jawabannya nanti. Jika Ali menjawab pertanyaan masing-masing dari kita dengan jawaban yang berbeda maka kita tahu bahwa memanglah Ali adalah orang yang pintar dan cerdas sebagaimana sabda Nabi Muhammad dalam Hadis itu.”

Akhirnya, hari yang disepakati pun tiba. Satu orang dari sepuluh pembesar Kaum Khawarij itu datang kepada Sahabat Ali dan bertanya, “Wahai Ali, menurutmu mana yang mulia di antara ilmu atau harta?” 

Ali pun menjawab dengan enteng, “Ilmu-lah yang mulia dari pada harta.” 

“Mengapa?” tanya orang Khawarij itu lagi.

“Oh jelas, ilmu adalah warisan para nabi, sementara harta adalah warisan Qorun, Syaddad, Fir’aun dan teman-temannya,” jelas Khalifah Ali dengan tegas.

Setelah mendengar hal itu, lalu orang Khawarij itu pulang dengan membawa jawaban yang telah dikatakan Ali.

Kemudian giliran orang kedua datang kepada Khalifah Ali dengan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan orang pertama sebelumnya.

“Manakah yang lebih utama, ilmu, ataukah harta?”

Khalifah Ali kemudian menjawabnya dengan jawaban yang sama juga, “Ilmu-lah yang lebih utama.”

Tetapi beliau memberikan argumentasi yang berbeda ketika ditanya soal alasannya.

“Karena jika kamu punya ilmu, maka ilmu-lah yang akan menjagamu, sementara jika kamu memiliki harta, maka kamu-lah yang harus menjaganya,” jelas Khalifah Ali dengan tenang.

Setelah itu, datanglah orang ketiga sampai kesepuluh. Mereka silih berganti terus berdatangan kepada Khalifah Ali, pada hari yang berbeda-beda. Namun mereka semua membawa pertanyaan yang sama, yaitu, “Manakah yang paling utama, ilmu atau harta”. Dan Khalifah Ali konsisten menjawabnya dengan poin yang sama, yakni lebih mulia ilmu dari pada harta. Hanya saja Ali menawarkan argumentasi yang selalu berbeda yang membuat kesepuluh orang dari Kaum Khawarij itu tercengang dan mau tidak mau harus mempercayai bahwa memanglah Sahabat Ali adalah orang yang pintar, cerdas dan pantas mendapatkan gelar “Babul ‘Ilmi” atau “pintu gerbangnya kota ilmu”. Sedangkan Rasulullah SAW adalah “Madinatul ‘Ilmi” atau “kotanya ilmu”. Wallahu ‘Alam bis Showab. []


Penulis: Ahmad Syahroni

Editor: Hakim