Mengingat Kembali 9 Pedoman Politik Warga NU

 
Mengingat Kembali 9 Pedoman Politik Warga NU
Sumber Gambar: pilar.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Setiap menjelang Pemilu, kontestasi politik semakin ramai dibahasa di dalam berbagai forum. Para politikus yang mencalonkan diri untuk menjadi perwakilan rakyat atau menjadi pemimpin negeri semakin massif melakukan kampanye yang dimaksudkan untuk menarik minat masyarakt memilih dirinya. Lembaga survey juga mulai gencar melakukan simulasi riset penggalangan suara terkait elektabilitas para calon pemimpin, khususnya untuk calon presiden dan wakil presiden.

Keadaan tersebut tidak bisa dibendung karena memang Indonesia merupakan negara demokrasi yang tidak boleh membungkam kegiatan politik yang dilakukan oleh warga negara secara legal. Tetapi, bagaimanapun itu berlangsung, kegiatan politik juga tidak dibiarkan menabrak peraturan-peraturan konstitusional, misalnya melakukan black campaign terhadap lawan politik, praktik money politic yang dimaksudkan untuk membeli suara rakyat, dll.

Adalah fakta, bahwa sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama menjadi salah satu sasaran utama para calon pemimpin untuk mendekatinya. Para calon pemimpin sering kali tampak memobilisasi warga Ormas, khususnya NU untuk kepentingan memperoleh suara pemilih yang signifikan. Tetapi perlu dicatat bahwa secara struktural di dalam kepengurusan NU ada penegasan tidak diperbolehkan untuk terlibat aktif dalam kegiatan politik dan mendukung calon pemimpin atau calon presiden tertentu. Meski demikian, bukan berarti secara pribadi pengurus NU maupun warganya tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik tersebut. Hal ini merupakan hak yang tidak bisa dihalangi, namun secara tegas tidak boleh menggunakan atribut kepengurusan NU dalam mengikuti kegiatkan kampanye.

Dengan demikian keterlibatan warga NU dengan partai politik yang ada adalah bersifat individual, tidak atas nama organisasi, karena NU ditegaskan kembali sebagai organisasi sosial keagamaan yang mengurusi masalah sosial, pendidikan dan dakwah dengan tetap tidak mengabaikan politik kebangsaan. Namun demikian, NU tetap menghimbau warganya agar tetap melakukan politik secara benar dan bertanggung jawab dan dengan cita-cita menegakkan akhlaqul karimah dan dijalankan dengan proses yang selalu berpegang pada prinsip akhlaqul karimah.

Jika ditelaah kembali lika-liku perjalanan NU, maka akan didapati banyak fakta yang mengungkapkan bahwa NU memegang teguh pada komitmen politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik. Praktik politik yang demikian ini sebagaimana digagas oleh KH. M. Sahal Mahfudz dengan nama politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) Nahdlatul Ulama. Praktik politik ini demi menjaga Khittah NU 1926 yang telah menjadi kesepakatan bersama dalam Munas NU 1983 di Situbondo, Jawa Timur.

Bagi Kyai Sahal Mahfudz, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siyasah safilah) adalah porsi  partai politik bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, harus bersih dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah), yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.

Tetapi, sekali lagi bahwa Nahdlatul Ulama tidak pernah menghalangi warganya untuk menggunakan hak berpolitiknya. Hal ini disebabkan satu kesadaran bahwa warga Nahdliyin telah berikrar untuk mengintegrasikan perjuangannya dalam perjuangan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sehingga tidak bisa abai sama sekali dalam pergulatan politik Indonesia.

Sebagai usaha untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan diarahkan untuk lebih memantapkan perwujudan Demokrasi Pancasila, Nahdlatul Ulama merasa perlu memberikan pedoman kepada warga Nahdlatul Ulama yang menggunakan hak-hak politiknya, untuk tetap ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung jawab. Semua itu dimaksudkan agar dapat ikut serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional serta membangun mekanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama.

Dalam rangka itu, kemudian terbentuklah sembilan pedoman berpolitik warga NU yang merupakan hasil dari Muktamar ke-28 NU, pada 25-28 November 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta.

Berikut 9 butir pedoman politik warga NU:

1. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama mengendung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

2. Poilitik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur lahir batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

3. Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

4. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya berketuhanan yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

6. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.

7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dengan dalih apa pun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu dengan yang lainnya, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

9. Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Pedoman ini tetap menjadi acuan yang tidak boleh diabaikan sampai saat ini dan seterusnya. Karena itu, setiap warga NU perlu memahami dengan baik bagaimana harus bersikap dalam dunia politik sesuai dengan sembilan  pedoman tersebut, khususnya para pengurus dalam jajaran struktural NU.

Meski terkadang dinamika politik menyebabkan ada sebagian pengurus dalam struktural yang tampak “tak acuh” dengan pedoman tersebut, bukan berarti hal itu menyebabkan indikasi pedoman NU tidak perlu dipakai. Lebih tepatnya, sebagian orang yang tidak komitmen dalam menjalankan sembilan pedoman di atas, adalah para oknum yang tidak bertanggungjawab. Mungkin memang karena kekhilafan atau justru karena ketidakpedulian.

Mari kita tetap berdoa yang terbaik bagi Nahdlatul Ulama, bagi bangsa dan negara Indonesia, demi kebaikan dan kemaslahatan kita semua. Dan semoga Allah SWT selalu memberikan anugerah kepada kita, sosok pemimpin yang sholeh, penuh kasih sayang dan mempunyai rasa peduli. Amin. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Ahmad Syahroni