Biografi KH. Muhammad As’ad, Pendiri Pesantren As’adiyah, Sulawesi Selatan

 
Biografi KH. Muhammad As’ad, Pendiri Pesantren As’adiyah, Sulawesi Selatan
Sumber Gambar: As'adiyah, Ilustrasi Ladun.ID

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Penerus
3.1  Murid-Murid

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Pulang ke Indonesia
4.2  Mendirikan Pesantren
4.3  Mendirikan Masjid

5.    Pesan-Pesan
6.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
KH. Muhammad As’ad lahir pada tanggal 6 Mei 1907/12 Rabiul Akhir 1326 H di Makkah, beliau adalah keturunan asli suku Bugis. Ayahnya Syekh Abdul Rasyid merupakan ulama Bugis yang bermukim di Makkah dengan Siti Saleha binti Haji Abdul Rahman yang bergelar Guru Terru Al-Bugisy.

1.2 Wafat
KH. Muhammad As'ad berpulang ke rahmatullah pada hari Senin, 12 rabiul akhir 1372 H atau 28 Desember 1952 M dalam usia 45 tahun.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Tumbuh di lingkungan yang sarat akan ilmu agama membuat beliau berkembang menjadi sosok yang memiliki ilmu agama yang mendalam. Tidak tanggung-tanggung, di usia yang baru menginjak 14 tahun, beliau sudah hafal Al-Qur’an. Bahkan saat usia 17 tahun beliau sudah dipercaya untuk menjadi imam shalat tarawih di Masjidil Haram.

Disela-sela kesibukan belajar ilmu secara formal di Madrasah Al-Falah, beliau juga banyak berguru secara halaqah (mangaji tudang) di Masjidil Haram bersama ulama-ulama dari berbagai Negara. Di antaranya adalah Umar bin Hamdān, Sa’id Al-Yamāni, Hasyīm Nāzirin, Hasan Al-Yamāni.

KH. Muhammad As’ad telah mampu menghafal beberapa matan kitab antara lain Sullam Al-Manthiq, Manzhûmah Ibn Syahniah, dan Al-Nuhbah Al-Azhariyah yang dipelajari dari gurunya Syekh Ambo Wellang, seorang ulama bugis yang bermukim di Makkah. Beliau pernah berguru pada tahun 1343 H. (1924 M), kepada seorang ulama besar Al-Allâmah Al-Syekh Abbâs Abdul Al-Jabbâr, dan pada tahun 1344 H. (1925 M), KH. Muhammad As’ad melanjutkan pelajarannya pada seorang ulama besar yaitu Syekh Mallawa (ulama Bugis).

Pada usia 18 tahun, KH. Muhammad As’ad memperdalam beberapa kitab dan juga memperoleh pengajaran dari Syekh Jamal Al-Makkî. Sebelum menyempatkan diri belajar pada seorang ulama besar di Madinah, KH. Muhammad As’ad masih sempat belajar pada seorang ulama besar, Syekh Abrâr untuk mendalami ilmu manthiq. Tidak hanya itu, semangat keilmuan beliau dan kecintaannya terhadap ulama mengantanya hijrah dari Makkah ke Madinah untuk berguru langsung ke salah satu ulama yang otoritatif dalam Hadis, yaitu Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi (1873-1933).

Sebelum KH. Muhammad As’ad pulang ke Indonesia (Sengkang-Wajo), beliau berguru langsung pada seorang ahli hadis, Syekh Ahmad Sanusi (Qadhi Medinah dan Pemimpin Tarekat Sanusiyah), dan sempat menjadi sekretaris pribadi gurunya selama beberapa waktu. Syekh Ahmad Sanusi termasuk ulama senior bermazhab syafiiyyah dan pemimpin tarekat Sanusiyyah. KH. Muhammad As’ad belajar selama 7 tahun dan menamatkan pendidikan formalnya di Madrasah Al-Falah (Makkah).

2.2 Guru-Guru

  1. Syekh Abdul Rasyid (ayah)
  2. Syekh Umar bin Hamdān,
  3. Syekh Sa’id Al-Yamāni,
  4. Syekh Hasyīm Nāzirin,
  5. Syekh Hasan Al-Yamāni.
  6. Syekh Ambo Wellang,
  7. Syekh Abbâs Abdul Al-Jabbâr,
  8. Syekh Mallawa (ulama Bugis),
  9. Syekh Jamal Al-Makkî,
  10. Syekh Abrar,
  11. Sayyid Ahmad Al-Syarif Al-Sanusi,
  12. Syekh Ahmad Sanusi,

3. Penerus
3.1 Murid-Murid

  1. KH. Abdurrahman Ambo Dalle (Pendiri Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad),
  2. KH. Daud Ismail (Pendiri Pondok Pesantren Yasrib).

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Al-Muallim Al-Awwal (pengajar yang pertama). Begitulah gelar yang diberikan kepada K.H. Muhammad As’ad karena beliau merupakan pencetus pendidikan madrasah pertama kali di Sulawesi Selatan (Sulsel).

4.1 Pulang ke Indonesia
Mendengar aduan dari jemaah haji asal Kerajaan Wajo (sekarang Kab. Wajo) akan banyaknya penyimpangan dalam beragama yang dilakukan oleh masyarakat Wajo, menggerakkan hati KH Muhammad As’ad untuk kembali ke tanah leluhurnya.

Meskipun beliau lahir dan tumbuh di Makkah, hal itu tidak membuat beliau lupa akan jati dirinya sebagai manusia berdarah Bugis.

Mengawali pengabdiannya di Wajo, tepatnya di Sengkang, tahun 1928 beliau memulai pengabdiannya dengan membuka pendidikan tradisional berupa pengajian kitab kuning di rumahnya.

4.2 Mendirikan Pesantren
Awalnya hanya diikuti oleh masyarakat sekitar, namun seiring berjalannya waktu, jumlah santri yang ikut mengaji pun bertambah banyak. Tidak hanya dari sekitar Sengkang, tapi dari luar Sulawesi juga datang untuk menimba ilmu. Hal ini menjadikan Sengkang saat itu sebagai ka’batul ilmi (pusat ilmu).

Karena santri yang makin banyak, akhirnya pengajian dipindahkan ke Masjid Jami yang lokasinya tidak jauh dari kediaman beliau. Banyaknya santri dengan tingkatan umur dan dasar pengetahuan yang berbeda-beda, membuat beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan formal bentuk madrasah dengan nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Wajo pada tahun 1930.

Dari MAI Wajo atau yang kini dikenal dengan Pondok Pesantren As’adiyah inilah lahir ulama-ulama besar di Sulawesi Selatan. Di antaranya KH. Abdurrahman Ambo Dalle, pendiri Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad dan KH.Daud Ismail, Pendiri Pondok Pesantren Yasrib.

Kini Pondok Pesantren As’adiyah memiliki 500 cabang yang tersebar di bumi Nusantara. Nama As’adiyah digunakan untuk mengabadikan nama beliau. KH. Muhammad As’ad menerima tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya atas jasa-jasanya dalam pengembangan pendidikan dan dakwah di Sulawesi Selatan.

Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AGH. Muhammad As'ad juga membuka suatu lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang. Pada tahun 1350 H (1931 M), atas prakarsa Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang. Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan Al-Madrasah Al-Arabiyyah Al-Islamiyyah (MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah.

Kepemimpinan Pengurus Pusat Pesantren As'adiyah dilanjutkan oleh AGH. Daud Ismail, AGH. Muhammad Yunus Martan, AGH. Hamzah Badawi, AGH. Abdul Malik Muhammad, AG. Prof. Dr. H. Abd. Rahman Musa, AG. Prof. Drs. HM. Rafii Yunus Martan, MA, Ph.D, AG. Drs. H.Muhammad Sagena, dan AG. Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA.

4.3 Mendirikan Masjid
La Oddangpero (Arung Matoa Wajo ke- 44) penguasa lokal ketika itu, atau Andi Oddang (Petta Arung Matoa Wajo), pada tahun 1348 H (1929 M) meminta nasihat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu:

  1. AGH. Muhammad As’ad,
  2. Haji Donggala,
  3. La Baderu,
  4. La Tajang,
  5. Asten Pensiun,
  6. Guru Maudu,

Maka dicapailah kesepakatan bahwa masjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H (1929 M) dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349 H (1930 M). Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AGH. Muhammad As'ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian kitab kuning, pendidikan dan dakwah Islam.

5. Pesan-Pesan

  1. Penghafal Al-Qur'an, mementingkan tadarus Al-Qur'an, dan pelajar hendaklah mementingkan Muthala'ah
  2. Jangan kakimu meliwatkan tikarmu (jangan berlebih-lebihan dalam segala hal).
  3. Kalau engkau mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan mendapat gaji, janganlah karena gaji itu engkau mengerjakan pekerjaan, akan tetapi pekerjaan itu adalah tugas langsung dari Allah SWT.
  4. Janganlah kitab dijadikan sebagai guru, harus belajar melalui perantaraan guru (talagqin).

5. Referensi

  1. As’adiyah Pusat,
  2. Laduni.ID https://www.laduni.id/post/read/66967/mengenal-kh-muhammad-asad-pencetus-pendidikan-pesantren-di-sulsel.
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya