Biografi KH. Moch Khozin, Pengasuh Pesantren Al-Hamdaniyah Sidoarjo

 
Biografi KH. Moch Khozin, Pengasuh Pesantren Al-Hamdaniyah Sidoarjo

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
1.3  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Mengembara Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru

3.    Penerus
3.1  Anak-anak
3.2 Murid

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Mengasuh Pesantren
4.2  Karier
4.3  Kisah

5.   Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Moch Khozin merupakan ulama yang berasal dari Mojosari, Kabupaten Mojokerto yang memiliki nama lengkap KH. Moch Khozin ibn kyai Khoiruddin ibn Ghazali ibn R. Musthofa (Mbah Jarot), beliau lahir pada tahun ± 1875 M.

1.2 Wafat
KH. Moch Khozin berpulang ke Rahmatullah pada tahun ±1955 M, beliau di makamkan di pemakaman keluarga pondok pesantren al-Hamdaniyah.

1.3 Riwayat Keluarga
Awal mulanya beliau hanya seorang santri di pondok pesantren Al-Hamdaniyah. KH. Moch Khozin didapuk sebagai kyai kharismatik yang tekun dalam belajar dan ber akhlaqul karimah. Karena mempunyai keistimewaan itulah beliau dijodohkan oleh KH. Ya‟qub dengan salah satu anaknya, Siti Fatimah. Pernikahan KH. Moch Khozin dan Siti Fatimah dikarunia seorang putra yang bernama Abbas.

Namun, pernikahan KH. Moch Khozin dengan Siti Fatimah tidak berjalan lama karena Siti Fatimah meninggal dunia. Sepeninggal Siti Fatimah putri KH.
Ya‟qub, KH. Moch Khozin diambil menantu kembali oleh KH. Abdurrohim. Yang mana KH. Ya‟qub dan KH. Abdurrohim merupakan saudara kandung dari ayahnya yang bernama KH. Khamdani, pendiri pesantren Al-Hamdaniyah.

Beliau dinikahkan dengan putrinya yang bernama Siti Maimunah. Atas pernikahan keduanya beliau dikaruniai enam orang anak, adapun putra putri KH. Moch Khozin dengan Siti Maimunah
yaitu :
1. Afifah
2. Sholhah
3. Siti Zubaidah
4. Kiai Basuni
5. Mushinah
6. Ruqoyyah
Semasa hidupnya KH. Moch Khozin adalah figur yang telaten duniawi. Terlepas dari hal itu, beliau juga senantiasa memfokuskan anaknya
agar senantiasa mematuhi orang tua, ulama, dan gurunya. Beliau juga selalu mengajarkan untuk selalu melafalkan al-Quran. Keistiqamahan beliau dalam melafalkan al-Quran telah menjadikannya sebagai wiridan keseharian. Hal ini lah yang cukup berpengaruh dalam membentuk kepribadian anak
turunnya.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu

KH. Moch Khozin semenjak belia telah dibimbing membaca serta menulis al-Quran, dan wawasan keagamaan oleh orangtuanya. Tidak hanya
itu, beliau juga dilatih bertanggung jawab atas segala persoalan yang dihadapi. Beliau juga sangat mementingkan sebuah kesederhanaan, hal itu
tercemin pada saat beliau mengasuh di pondok pesantren Al-Hamdaniyah.

Sebelum KH. Moch Khozin menetap dan menjadi santri dipondok pesantren Al-Hamdaniyah, beliau sering berpindah-pindah tempat dalam
menimba ilmu. Salah satunya yaitu di malang, pasuruan dan madura. Namun, pada tahun 1895 M. beliau menjadi santri di pesantren al-
Hamdaniyah. Sewaktu nyantri di pesantren al-Hamdaniyah beliau merupakan santri yang sangat tawadu‟ terhadap kyainya.

Konon ceritanya pada suatu malam kyainya yaitu KH. Ya‟qub sedang berjalan mengelilingi area pondok untuk melihat santri-santrinya yang sedang tidur. Namun, KH. Ya‟qub melihat suatu cahaya yang terpancar dari musholah, beliau mendengar ada suara santri nya yang masih mengaji kitab. Setelah keesokan harinya beliau bertanya pada santri lain, siapa yang tengah malam masih membaca kitab.

Kemudian para santri tersebut berkata bahwa KH. Moch Khozin lah yang semalam membaca kitab tersebut. Hal ini lah, yang menggugah hati KH. Ya‟qub untuk menikahkan putrinya dengan santri nya yaitu KH. Moch Khozin. Setelah menikah, KH. Moch Khozin bersama istrinya Siti Fatimah
berangkat ke Makkah sebagai kader pondok pesatren Al-Hamdaniyah. Beliau menimba ilmu di Makkah selama ± 10 tahun. Beliau merupakan kyai
yang ahli dalam bidang tafsir.

selama menempuh pendidikan di Makkah dan membawa istrinya. Siti Fatimah meninggal dunia dan dimakam kan di Mekkah. Kepergian Siti Fatimah meninggalkan luka yang sangat dalam bagi KH. Moch Khozin sehingga beliau kembali pulang ke Indonesia dan menetap di pondok pesantren Al-Hamdaniyah.

2.2 Guru-Guru:

  1. Kyai Khoiruddin
  2. KH. Ya‟qub

3. Penerus Perjuangan

3.1  Anak-anak

  1. KH. Abbas
  2. KH.Basuni

3.2 Murid
Syekh Kholil Bangkalan

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

4.1 Mengasuh Pesantren
Pada tahun 1927 M KH. Moch Khozin diangkat sebagai pengasuh pondok pesantren Al-Hamdaniyah pada periode ke tiga. Periode kepengasuhan KH. Moch Khozin menjadi puncak kejayaan. Karena banyak santri yang datang dari berbagai wilayah untuk menimba ilmu di pesantren Al-Hamdaniyah. Atas kesabaran dan keikhlasannya dalam membimbing para santri-santrinya, sehingga sewaktu telah kembali ke kampung halaman para santri dapat menebar manfaat dengan menegakkan pesantren di wilayahnya masing-masing.

KH. Moch Khozin termasuk salah satu tokoh yang mempunyai kontribusi besar terhadap penyiapan kader dan para pejuang untuk merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Kewajiban lain seorang kiai ialah selaku pemimpin di masyarakat, layaknya KH. Moch Khozin yang senantiasa menjalankan kewajibannya dengan sepenuh hati, tak pernah merasa enggan sewaktu melakukannya.

Bahkan diterapkan pula dalam memajukan pondok pesantrennya serta selalu mengedepankan kepentingan umum. Kemudian pada tahun 1927 M beliau mendirikan sebuah pondok pesantren yang terletak di desa Buduran, kecamatan Buduran, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Tujuan utama KH. Moch Khozin mendirikan pesantren baru yaitu untuk memajukan peribadatan, dakwah islamiyah dan pendidikan.

Pada mulanya beliau tidak berniat membangun sebuah pesantren, namun yang beliau inginkan hanyalah memberikan tempat bagi tempat tinggal buah hatinya dengan Siti Fatimah yaitu KH. Moh Abbas. Karena pada saat itu pesantren Al-Hamdaniyah telah banyak mengalami regenerasi. Dimana saat itu, KH Abbas baru datang setelah menimba Ilmu di Makkah selama sepuluh tahun.

Kehadiran KH. Abbas pada saat itu disambut dengan baik oleh masyarakat sekitar, sehingga KH. Moch Khozin memutuskan untuk mendirikan sebuah pesantren yang diperuntukkan untuk putra beliau yaitu KH. Abbas. Pondok pesantren tersebut berada tidak jauh dari pesantren Al-Hamdaniyah tepatnya ±300 meter sebelah barat pondok pesantren Al-Hamdaniyah.

Setelah pondok pesantren ini berdiri, pada mulanya KH. Moch Khozin sendiri yang akan menjadi pengasuhnya. Namun, karena pihak keluarga besar pesantren Al-Hamdaniyah masih membutuhkan beliau, maka diutuslah putra beliau yaitu KH. Abbas untuk menjadi pengasuh di pesantren ini. Sementara KH. Moch Khozin masih tetap menjadi pengasuh di pesantren Al-Hamdaniyah. Selain itu, nama pondok pesantren yang dibangun KH. Moch Khozin diperuntukkan kepada putranya KH. Abbas yaitu pondok pesantren Al-Khoziny yang namanya dinisbatkan kepada pendirinya yaitu KH. Moch Khozin

4.2 Karier
Pengasuh pesantren Al-Hamdaniyah

4.3 Kisah
Kisah Pertemuan Syekh Kholil Bangkalan menjadi Murid Beliau

KH. Moch Khozin juga merupakan intelektual muslim yang memiliki kedekatan dengan kyai Kholil Bangkalan dan kiai Hasyim Asy‟ari Jombang. Sikap tawaddu‟ yang dimiliki ketiga tokoh ini menciptakah sebuah kekompakkan tersediri. Yang mana KH. Moch Khozin, kiai Kholil dan KH. Hasyim Asy‟ari tidak segan-segan untuk saling bertukar ilmu sesuai dengan keahliaanya.

KH. Moch Khozin juga dikenal sebagai kyai yang ahli dalam kajian tafsir. Secara khusus, kyai Kholil sering tabarrukan mengaji kitab tafsif jalalain kepada KH. Moch Khozin. Pengajian ini bermula dari proses mimpi yang dialami kyai Kholil yang mendapat perintah langsung dari imam Syafi‟i untuk mengaji tafsir jalalain kepada KH. Moch Khozin.

Meskipun keduanya awalnya tidak pernah saling kenal. Namun, karena kiai Kholil meyakini bahwa mimpi yang dialami sebagai mimpi yang benar (ru’yah shadiqah). Lantas dicarilah sosok KH. Moch Khozin yang kelak akan dijadikan sebagai gurunya. Sejak saat itulah kiai Kholil mencari
KH. Khozin di desa Panji Buduran Sidoarjo.

Akhirnya, keduanya bertemu meskipun bukan pekerjaan yang mudah, apalagi bagi orang awam, sebab KH. Moch Khozin adalah sosok kiai Khumul, yang selalu menutup-nutupi segala kelebihannya dengan larut dalam aktivitas sebagaimana juga dilakukan masyarakat pada umumnya, dan tidak memakai surban kebesaran yang menjadi simbol kiai besar.

5. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs:
https://digilib.uinsa.ac.id

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya