Jepang Datang, Ulama Pesantren Menyusun Strategi Perlawanan

Laduni.ID, Jakarta – Di tengah bara Perang Dunia II, ketika tentara Jepang menggantikan kekuasaan Belanda di Tanah Air Nusantara pada 1942, banyak orang mencemaskan nasib umat Islam. Akan tetapi sejarah justru mencatat sesuatu yang tak terduga, dalam waktu yang singkat hanya 3,5 tahun pemerintahan militer Jepang memberi ruang baru bagi Islam di Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan dan organisasi sosial-keagamaan. Namun, di balik semua itu, ada manuver cerdas dari para ulama, termasuk KH. M. Hasyim Asy’ari dan putranya, KH. A.Wahid Hasyim, yang menjadikan kesempatan itu sebagai ladang perjuangan.
Jepang memang punya agenda sendiri. Mereka butuh simpati umat Islam untuk melanggengkan pendudukan dan memenangkan perang. Untuk itu, mereka mencabut beberapa kebijakan represif peninggalan Belanda di antaranya, larangan penggunaan bahasa Arab dihapuskan pada akhir 1942. Syaratnya, sekolah-sekolah Islam wajib mengajarkan bahasa Jepang dan menerima kurikulum baru. Namun bagi para ulama, ini adalah celah. Di balik syarat itu, pesantren dan madrasah bisa kembali beroperasi, bahkan dengan bantuan dana dan izin resmi dari pemerintah militer.
Langkah Jepang lainnya yang tampak “pro-Islam” adalah pembentukan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 22 November 1943. Di bawah legitimasi Gunseikan (pemerintah militer Jepang di Jawa), Masyumi diberi tugas mengorganisasikan pelatihan guru-guru agama desa. Ketua yang ditunjuk, Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Namun peran lapangan diserahkan kepada sang putra, Kyai Wahid Hasyim, tokoh muda yang sedang menanjak dan penuh energi.
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Support kami dengan berbelanja di sini:
Memuat Komentar ...