Tradisi Keumaweuh #6: Mengintip Keumaweuh  Pidie Jaya

 
Tradisi Keumaweuh #6: Mengintip Keumaweuh  Pidie Jaya

 

LADUNI.ID,BUDAYA-Adat mengantar nasi (mee bu) dilakukan saat pengantin wanita (dara baro) diketahui sudah hamil. Kabar kehamilan tersebut segera disampaikan kepada keluarga mempelai pria (linto baro). Mendapat kabar gembira itu, maka ibu linto baro selaku mertua (mak tuan) pada suatu waktu akan mengunjungi dara baro yang hamil tersebut bers

ama sanak keluarganya. Dalam kunjungan tersebut, rombongan mak tuan membawakan nasi bungkus berbentuk piramida (bu kulah) yang dibungkus daun pisang.

Biasanya upacara mengantar nasi ini dilakukan pada saat usia kehamilan dara baro sudah tujuh bulan. Bersama bu kulah turut dibawakan lauk pauk yang terdiri dari ikan, daging, ayam panggang, dan burung panggang. Nasi dan lauknya itu dimasukkan dalam baki (talam) ditutup dengan tudung kemudian dibungkus. Adat membawa makanan ini sering juga disebut mee gaténg.

Pada dasar keumaweh di wilayah hampir sama walaupunada sedikit perbedaannya dalam bentuk penyajiannya. Hal ini juga di rasakan sendiri dan telah di praktekkan oleh masyarakat Pidie Jaya yang merupakan dulunya masih sekabupaten dnegan Pidie. Namun dalam banyak tradisi juga ada perbedaannya walaupun di Pidie “keumaweh” itu sangat terasa dan dilakukan dalamdurasi beberapa kali mulai seorang isteri sudah berumur kandungannya di bawah 5 bulan dan menjelang tujuh bulan.

Di daerah Pidie jaya “Keumaweh” hanya sekali saaat bayi telah berumur tujuh bulan. Namun bentuk hidangan yang di bawakan juga hampir sama dengan didaerah lainnya walaupun ada perbedaan. Uniknya di Pijay (Pidie Jaya) dikenal adanya “me gateng” nama lain “Keumaweh” basah dan mentah. Dalam tradisi masyarakat Pidie Jaya, “Me Bu gateng” mentah itu hanya membawa makanan ala kadar dengan hidangan atau tabak yang tidak terlalu istimewa,namun lebih berorientasi menggantinya dengan memasukkan cincin untuk istri yang mengandung oleh Ibu sang suami. Kadar “mentah” itu bervariasi minimalnya setengah mayam, maksimalnya tergantung kemampuan dan kesanggupan pihak orang tua suami tersebut.

Sedangkan sang calon ayah sudah duluan di peusijuek oleh orang tua istri dalam hal ini oleh ibunya atau yang di wakilkan oleh ibu si isteri tersebut. Peusijuek di samping adanya penyerahan amplop berupa uang atau sedekah semampu orang tua istri juga ada seperngakat pakaian atau kain sarung yang di bungkus dalam kado. Suami harus memberi tahu kepada orang tuanya bahwa dia telah di peusijuek di tempat kediaman istrinya.

Masyarakat Aceh memiliki adat istiadat yang mengatur siklus kehidupan, mulai dari adat semasa kelahiran, kanak-kanak, dewasa, tua, sampai kematian. Di setiap tingkatan usia itu adat istiadat yang berlaku berbeda-beda. Salah satunya tentang mé gaténg atau mè bu kulah kepada ibu hamil. Biasanya dilakukan pada kelahiran pertama.

Tradisi di dua daerah tersebut juga masih terdapat bervariasi, tergantung kebijakan pemuka adat dan gampong. Ilustrasi diatas bisa jadi berbeda walaupun dalam satu kabupaten dan kecamatan sekalipun. Tentu saja disitulah peran pemuka adat dan ureung tuha gampong dalam mengambil kebijakan.

***Helmi Abu Bakar el-Langkawi, Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Pemerhati Budaya