Hingga Kini Tradisi Basapa Masih Terus Dilaksanakan Masyarakat Minangkabau

 
Hingga Kini Tradisi Basapa Masih Terus Dilaksanakan Masyarakat Minangkabau

Sebagaimana kesulitan menentukan kapan awal pertama kali Islam masuk ke Nusantara, begitu pula yang terjadi dengan daerah Minangkabau. Secara umum sebagaimana diyakini oleh para sarjana Barat bahwa Islam masuk ke Nusantara abad ke-13 masehi. Sementara di Minangkabau agama lslam mulai berpengaruh pada abad ke-14 yang dibawa oleh para mubaligh dan pedagang.

Dengan masuknya agama lslam ke Minangkabau, hal tersebut memberikan pengaruh besar kepada masyarakat Minangkabau sehingga Islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari adat Minangkabau. Sejarahwan, Taufik Abdullah, bahkan pernah mengatakan bahwa, “Minangkabau merupakan salah satu daerah yang mengalami proses lslamisasi yang sangat dalam dan agama lslam telah menyatu dengan kehidupan masyarakat.

Begitu kuatnya pengaruh Islam ke dalam kehidupan masyarakat Minang sehingga dikenal suatu pepatah yang sangat populer bahwa di Minang “Adat basandi sarak, sarak basandi Kitabulla” yang mengandung pengertian bahwa setiap orang Minang adalah penganut Islam, dan jika tidak lslam berarti hilanglah keminangannya, karena adatnya yang bersendikan Kitabullah (Al Qur’an).

Sebagaimana pola umum yang berlaku tentang masuknya Islam ke Nusantara dengan jalan damai (peaceful penetration) yang mengakibatkan terjadinya proses harmonisasi antara adat istiadat dan ajaran Islam, masyarakat Nusantara pada umumnya dapat menerima ajaran Islam karena dianggap tidak bertentangan dengan hukum adat yang mereka miliki. Walaupun pada sedikit kasus ditemukan ketegangan antara ajaran Islam dan adat lokal yang masih dijalani masyarakat seperti kebiasaan berjudi. Ketegangan ini melahirkan konflik antara penganut ajaran lslam yang taat dan kelompok masyarakat yang masih ingin mempertahankan tradisi tersebut, yang kemudian di Minangkabau dikenal dengan nama Perang Paderi. Di beberapa daerah di Nusantara, ketegangan seperti ini juga bisa ditemukan, walau tetap diakui oleh para ahli bahwa Islam di Nusantara pada umumnya disebarkan dengan jalan damai.

Namun tetap tidak dapat dihindari bahwa pertemuan ajaran Islam dengan budaya lokal melahirkan suatu bentuk wujud adaptasi dan adopsi, terlebih dengan kuatnya pengaruh aspek esoterik ajaran Islam yaitu tasawuf yang ikut secara massif berpartisipasi di dalam penyebaran Islam di Nusantara. Salah satu bentuk adaptasi dan adopsi ajaran Islam dan budaya lokal ini di dalam tradisi orang Minang adalah basapa.

Ucapan orang Minang dengan istilah basapa sebenarnya berasal dari kata bersafar yang tidak lain adalah gabungan antara kata ber dan kata Safar. Kata Safar merupakan bulan kedua dalam penanggalan tahun Hijriyah. Pada bulan Safar sebagian umat Islam berziarah ke komplek makam Syekh Burhanuddin yang terletak di Ulakan, Pariaman, pada hari Rabu setelah tanggal 10 pada bulan Safar. Tradisi berziarah ke makam Syekh Burhanuddin pada bulan Safar ini yang dikenal dengan nama bersafar yang dalam ucapan lidah orang Minang kemudian menjadi basapa. Menurut Fathurahman, penentuan acara basapa setelah tanggal 10 Safar berkaitan dengan hari yang diyakini sebagai tanggal wafatnya Syekh Burhanuddin Ulakan, yaitu 10 Safar 1111 H/1691 M.

Syekh Burhanuddin dikenal sebagai penyebar tarekat Syattariyah di Minangkabau. Namun meskipun Syekh Burhanuddin Ulakan adalah tokoh ulama tarekat Syattariyyah, tetapi dalam acara basapa ini, mereka yang hadir tidak saja berasal dari penganut tarekat Syattariyyah, melainkan juga masyarakat Muslim pada umumnya. Ritual basapa ini dilakukan untuk menghormati Syekh Burhanuddin yang dianggap telah berjasa dalam penyebaran tarekat Syattariyyah khususnya, dan Islam pada umumnya.

Dengan demikian tradisi basapa terkait erat dengan Syekh Burhanuddin penyebar tarekat Syattariyah di Minangkabau yang juga merupakan murid dari Syekh Abdurrauf Singkel. Berdasarkan sumber-sumber yang ada dilaporkan bahwa Burhanuddin dilahirkan di Padang Panjang pada abad ke-17 M yang memiliki nama kecil Pono. Setelah belajar Islam kepada seorang ulama terkenal di Lubuk Alung, Tuanku Madinah, maka atas saran gurunya tersebut Burhanuddin kecil diminta meneruskan menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh, seorang mursyid tarekat Syattariyah di Nusantara. Setelah belajar selama 13 tahun, Burhanuddin kembali ke Minangkabau, berlabuh di Pariaman.

Dalam berguru kepada Syekh Abdurrauf, Burhanuddin alias Pono mengalami ujian-ujian bagi ketinggian dan kebersihan ruhaninya, diceritakan: 

Pada suatu hari Syekh Abdul Rauf memakan sirihnya, tiba-tiba tempat kapur sirihnya jatuh ke dalam kakus yang mana kakus itu sangat dalam, yang telah dipakai bertahuntahun. Tuan Syekh berkata: “Siapa di antara murid-muridku yang sudi membersihkan kakus untuk mengambil tempat kapur sirihku yang jatuh ke dalamnya?” Murid-murid yang banyak merasa keberatan, lantas Pono berkata bahwa ia sanggup mengambilnya dan mulailah Pono bekerja membersihkan sumur hingga tempat kapur sirih itu didapatnya, sehingga bertambah yakinlah Syekh Abdul Rauf. Selanjutya Syekh Abdul Rauf berdoa dan berkata, tanganmu akan dicium oleh Raja, penghulu, orang-orang besar dan muridmuridmu tidak akan putus-putusnya sampai akhir zaman dan ilmu kamu akan memberkati dunia ini.

Dalam cerita lain disebutkan saat Syekh Burhanuddin menyelesaikan studinya: 

Setelah ujian tersebut dilaluinya, dan ilmu yang diberikan oleh Syekh Abdul Rauf sudah semuanya dipahami, maka Syekh Abdul Rauf merasa bahwa Pono sudah benar-benar mantap keimanannya sehingga digantilah nama Pono menjadi Burhanuddin yang berarti penyuluh agama, dan diberi gelar Syekh. Nama ini. diberikan pada saat Syekh Burhanuddin akan kembali ke Minangkabau dan beliau juga memberikan sebuah buku tuhfah dan empat lembar jubah, ikat pinggang dan sebuah kopiah dari negeri Yaman. Semua pemberian ini melambangkan tanda kebesaran dengan ilmu yang sudah penuh di dalam hati. Syekh Burhanuddin diminta kembali ke Minangkabau untuk megamalkan dan mengembangkan semua ilmu yang telah diperolehnya selama berguru di Aceh. Mulai saat itu resmilah Syekh Burhanuddin diangkat sebagai kalifah Syekh Abdul Rauf untuk daerah Minangkabau.

Sekembalinya Syekh Burhanuddin ke Minangkabau, bersama sahabatsahabatnya mereka menyebarkan Islam dengan menekankan bahwa ajaran Islam tidak bertentangan dengan adat istiadat Minangkabau. Kesepakatan ini dibuat dengan menemui Yang Dipertuan Agung Raja Pagaruyung yang kemudian melahirkan keputusan Marapalam. Sejak itu Syekh Burhanuddin secara leluasa menyebarkan Islam di ranah Minang yang sejak saat itu lahirlah pepatah: “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah, Syara’ mangato, Adat nan mamakaikan, Syara’ mandaki, Adat manurun.” Sebagai balas budi atas jerih payah Syekh Burhanuddin di dalam penyebaran Islam ini, para pengikutnya kemudian menghormatinya dengan melakukan tradisi basapa.

Dalam praktiknya, pelaksanaan tradisi basapa dilakukan dua kali yang dikenal dengan istilah sapa gadang (Safar besar) dan sapa ketek (Safar kecil). Sapa gadang adalah upacara basapa pertama yang dilakukan setelah tanggal 10 bulan Safar yang diikuti oleh peziarah dalam jumlah yang besar yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Barat serta provinsi lainnya seperti Riau dan Jambi. Sementara sapa ketek adalah tradisi basapa yang dilakukan seminggu setelah sapa gadang dilakukan untuk menampung peziarah dari daerah Padang Pariaman dan masyarakat perantau dari Padang Pariaman, sekaligus menujuh hari dari hari wafatnya sang Syekh. Dalam kenyataannya pada sapa ketek peziarah yang datang juga berasal dari luar daerah Padang Pariaman.

Dalam aktivitas berziarah atau basapa ini banyak peziarah yang melakukan aktivitasaktivitas yang berhubungan dengan ajaran agama lslam seperti: pertama, ziarah dan berdoa; kedua, shalat, baik shalat wajib maupun sunnat; dan ketiga, dzikir.

Namun ada juga praktik-praktik yang masih dipengaruhi dari kepercayaan dan budaya lokal seperti mengambil pasir makam Syekh Burhanuddin, mengambil air sumur di komplek makam dengan tujuan-tujuan tertentu, meletakkan ramuan obat-obatan dan kemenyan di atas makam, mengambil air di kimo (kulit-kulit kerang besar), mengambil air batu ampa (batu pipih berwarna hitam yang terus disirami air pada saat basapa), membawa dan meletakkan hewan peliharaan seperti ayam dan kambing, atau meletakkan sesajen. Pada tahun-tahun sebelumnya bahkan, makam Syekh Burhanuddin yang ditutupi dengan kain tirai makam diambil oleh sebagian peziarah dengan jalan disobek sebahagiannya untuk tujuan-tujuan tertentu.

Dalam praktiknya basapa dapat dilakukan secara individual ataupun berkelompok: untuk yang melakukannya secara individual, tempat pelaksanaan dilakukan di lapangan di sekeliling makam dan di dalam masjid Syekh Burhanuddin. Sedang untuk yang melakukannya secara berkelompok, tempat pelaksanaan basapa di lapangan di dalam kompleks makam yang diberi dengan tanda tertentu ataupun yang tidak diberi tanda serta surau-surau yang ada di sekeliling makam. Peziarah lain ada yang memanfaatkan rumahrumah penduduk dan daerah terbuka untuk melaksanakan basapa. 

Tujuan utama para peziarah umumnya selain untuk melakukan ziarah ke makam Syekh Burhanuddin, juga untuk menunaikan atau melepas nazar, memperoleh kesehatan dan ketenangan.

Tradisi basapa dilaksanakan dimulai pada malam hari setelah shalat Maghrib sampai shalat Subuh besok paginya, baik pada basapa gadang maupun ketek. Ritual keagamaan yang dilaksanakan mulai dari shalat wajib, shalat sunnah, dzikir, berzanji, shalawat Nabi, dan pengajian agama dilaksanakan sesudah shalat Isya. Sementara aktivitas-aktivitas “tambahan” lain yang mengikuti ritual agama seperti mengambil pasir kubur, mengambil air sumur dan air kimo, mengambil air batu ampa dilakukan sesudah shalat Maghrib dan sebelum shalat Isya. Dengan masuknya waktu shalat Subuh besok harinya berakhirlah tradisi basapa. [Ismail Yahya]

Sumber Bacaan : 

Adri Febrianto, Sinkretisme dalam Upacara Basapa di Makam Syekh Burhanuddin, Laporan Penelitian, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang, 2000 Oman Fathurahman https://oman.uinjkt.ac.id /2007/03/ritual-basapa-di-minangkabau.html

 

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)