Takbiratul Ihram dan Masalah Niat

 
Takbiratul Ihram dan Masalah Niat

LADUNI.ID - Pernah melihat orang yang takbiratul ihram berkali-kali? Orang yang takbiratul ihram waswas sehingga diulang berkali-kali itu sebenarnya salah paham. Dia kira bahwa niat dalam hati harus lengkap panjang seperti: "saya berniat shalat dhuhur empat rakaat, menghadap kiblat, menjadi makmum, wajib karena Allah Ta'ala". Dia kira niat panjang itu harus pas dimulai sewaktu awal takbir dan berhenti pas sewaktu akhir takbir. Akhirnya dia waswas apakah takbiratul ihramnya sudah sah atau belum? Memang sulit sekali kalau harus begitu.

Padahal sebetulnya sederhana saja. Niat yang wajib dalam shalat fardlu hanyalah: "Saya niat shalat fardlu dhuhur" atau "saya niat shalat wajib dhuhur". Adapun untuk shalat sunnah malah tak harus ada kata fardlu/wajib, sehingga cukup misalnya: "Saya niat shalat dhuha" atau "saya niat shalat tahajjud". Bila berjamaah maka ditambah dengan kata "menjadi imam/makmum". Kata-kata singkat ini cukup dibesitkan dalam hati sewaktu mulut kita mengucap "Allahu Akbar". Tak perlu berbarengan sama persis awal dan akhirnya, yang penting masih dianggap bareng antara besitan dalam hati dan ucapan takbir. Sesederhana dan semudah itu.

Untuk orang waswas, prakteknya cukup niat sederhana seperti di atas. InsyaAllah waswasnya sembuh sebab mustahil ada yang merasa sulit melakukan itu. Karena itu ada ulama yang mengatakan orang waswas itu gila sebab sudah jelas ia melakukan hal sederhana itu tetapi masih saja merasa belum melakukannya. Hehe..

Untuk yang merasa aman dari waswas, maka besitan niat di dalam hatinya bisa lebih panjang dengan menyebut jumlah rakaat, menghadap kiblat dan lillahi ta'ala seperti di atas meskipun tak harus pas petul awal dan akhirnya. Hmmm... Ini lebih sulit daripada cara sederhana di atas sebab lebih panjang. Untuk mempermudahnya maka ulama menyarankan untuk melafalkan rangkaian niat di mulut sebelum mengucap takbir. Tujuannya agar rangkaian itu mudah diulangi dalam hati ketika mulut sudah mengucap Allahu Akbar. Pelafalan secara verbal itu sendiri bukanlah niat sebab yang namanya niat itu adalah bisikan dalam hati bukan yang diucapkan di mulut.

Pelafalan niat sebelum takbir tak lebih dari upaya untuk memperlancar niat. Jadi, sebagian kecil tokoh ulama yang mengatakan bahwa pelafalan niat adalah bid'ah sebenarnya salah paham; Dikiranya niat yang di hati dipindah ke mulut, padahal tidak demikian. Pelafalan ini tak lebih dari upaya untuk fokus saja biar pikiran tak kemana-mana. Hukumnya sama dengan upaya lain yang dilakuka untuk kebaikan shalat seperti membersihkan tempat shalat, menundukkan pandangan, menyediakan sutrah dan seterusnya.

Pelafalan niat ini memakai bahasa apa? Apakah harus dengan bahasa arab menjadi "ushalli fardla ad-dhuhri......" atau semacamnya? Jawabannya: Karena maksud pelafalan verbal adalah membantu niat dalam hati yang akan dilakukan, maka seharusnya ia memakai bahasa yang dimengerti pengucapnya sebab kalau tak dimengerti maka sama sekali tak bisa membantu, malah justru mempersulit. Jadi kalau tak paham bahasa Arab maka sebaiknya memakai "Saya berniat shalat fardhu dhuhur... ", bukan "Ushalli fardla ad-Dhuhri...". Teorinya, ketika mulut mengucap suatu rangkaian kata dan telinga mendengarnya, maka mudah bagi hati untuk meniru rangkaian itu dalam bentuk besitan sesaat setelahnya. Kalau hafal rangkaian niat berbahasa arab "ushalli" itu dan paham betul artinya, maka jauh lebih mudah mengulanginya dalam hati dengan bahasa arab juga. Yang sulit dan menyusahkan ketika pelafalan "ushalli" dikira harus arab tapi niatan dalam hati dikira harus memakai bahasa sendiri biar paham artinya, ini nambah kerjaan namanya. Aturan tak tepat begini ini yang juga jadi biang waswas.

Mungkin ada yang bertanya: kenapa niat harus dibesitkan dalam hati sewaktu takbiratul Ihram? Bukankah ketika pergi ke masjid, berwudhu, menyiapkan tempat shalat dan lain-lain sudah jelas itu berniat untuk shalat?

Jawabannya karena dalam bahasa Arab sebagaimana dipahami oleh orang Quraisy, seperti Imam Syafi'i, yang namanya niat itu adalah besitan hati ketika awal mula melakukan suatu perbuatan. Ini adalah definisi resmi ala mazhab Syafi'iyah. Kalau belum melakukan perbuatan yang dimaksud berarti bukan niat tetapi baru rencana atau kehendak ('azm) yang bisa saja tak terealisasi.

Loh lantas kalau puasa bagaimana, bukankah saat niat di malam hari belum mulai melakukan puasa? Ya itu pengecualian sebab tak realistis untuk mewajibkan niat puasa persis saat fajar subuh dimulai.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Abdul Wahab AHmad

ASWAJA NU Center Jawa Timur