Ahwal Ulama dan Keputusan Hukum Agama

 
Ahwal Ulama dan Keputusan Hukum Agama

LADUNI.ID - Sedikit kronologi kenapa Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi) menyatakan tidak sah berwudhu dengan air musta'mal. Sedangkan Imam asy-Syafi'i (Madzhab Syafi'i) menyatakan sah berwudhu dengan air musta'mal jika air tersebut mencapai 2 qullah/lebih dan tidak berubah sifat-sifatnya.

Galibnya jaman itu di samping masjid ada tempat "kedung/jeding"nya untuk mandi, mencuci ataupun bersuci. Suatu malam Imam Abu Hanifah mendapati sepasang muda-mudi tukang zina menggunakan kedung itu untuk mandi. Ia melihat dosa-dosa zina terus menetes hingga memenuhi air dalam kedung. Karena air tidak mengalir, sehingga noda dan dosa zina itu masih terus melekat dalam air. Kejadian serupa beberapa kali terjadi.

Imam Abu Hanifah yang diberi kemampuan mukasyafah oleh Allah bergumam, "Mana mungkin air tersebut bisa mensucikan sedangkan noda-noda dosa hambaNya telah tercampur dan tak dapat dipisahkan lagi?" Waktu itu Imam Abu Hanifah melihat dosa-dosa manusia dalam beragam bentuk. Ada yang menyerupai babi, celeng, anjing, tikus, dst. tergantung kadar dosa yang dilakukan. Sejak itu lalu Imam Abu Hanifah memohon agar Allah mencabut "mukasyafah" dari dalam dirinya.

Sehingga dalam Madzhab Hanafi, terhadap air musta'mal tidak sah dipakai untuk bersuci (menghilangkan hadats kecil ataupun besar), maksimal hanya bisa digunakan untuk menghilangkan najis. Sedangkan Madzhab Syafi'i memilih air musta'mal dapat dipakai bersuci jika melebihi dua qullah, dan paling disukai jika bersuci di air yang mengalir.

Demikian secuil gambaran dari "Ahwal Ulama", tingkah laku atau kebiasaan yang terjadi pada ulama. Ulama sebagai pewarisnya para nabi pasti mengalami mukasyafah, meski mungkin hanya dalam hitungan detik. Tidak mudah dan tidak asal-asalan seorang ulama merumuskan dan menentukan keputusan-keputusan hukum waqi'iyyah.

Oleh: Sya'rony as-Samfury