Perbedaan Pandangan Kyai NU, Primadona Berita Sekitar Pilpres

 
Perbedaan Pandangan Kyai NU, Primadona Berita Sekitar Pilpres

LADUNI.ID - Sikap berbeda kerap ditunjukkan oleh para Ulama dan santri NU mengenai berbagai aspek sosial di Nusantara sesuai zamannya, sejak berdirinya di tahun 1926.

Perbedaan pendapat itu bukannya tanpa sebab, yang dimaknai para ulama NU sebagai sebuah keniscayaan pada setiap kehidupan di muka bumi atas kehendak Allah SWT. 

banyak sekali contoh perbedaan pandangan dalam Islam terlebih pada masa awal perkembangan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang keagamaan maupun umum yang terjadi. Ini muncul karena perbedaan sisi pandang dalam memahami Qur'an dan Hadits bahkan di kalangan Sahabat Nabi dan Salafussolih sendiri. Banyak riwayat menerangkan redaksi Hadits yang berbeda dari Rasulullah Saw, yang disampaikan oleh beliau kepada para sahabatnya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan intelektual masing-masing sahabat yang tidak semuanya sama. 

Literasi-literasi tentang perbedaan itu semakin banyak didapat pada masa awal penyebaran Islam pasca Khulafaur Rasyidin dengan munculnya para Imam Madzhab, yang 4 diantaranya dinyatakan oleh jumhur ulama sebagai Ahlussunah wal Jama'ah, serta munculnya pula berbagai poros pemikiran ulama-ulama pasca 3 abad sepeninggal Rasulullah hingga saat ini. 

Inti dari semua ini adalah, beda dalam cara berpikir dan bersikap sesuai apa yang diyakini merupakan hal yang sangat wajar selama masih  dalam koridor keislaman yang disepakati bersama tanpa mengecilkan atau merendahkan pihak lain, apalagi hingga taraf mengkafirkan sesama saudara muslim sendiri.

Nahdlatul Ulama dengan segala riwayat perkembangannya yang sarat dengan dinamika keorganisasian, sangat matang dalam mengelola perbedaan-perbedaan tersebut. Banyak kegiatan internal yang mengakomodir setiap perbedaan pandangan yang malah melahirkan kekuatan baru dan mengokohkan keyakinan setiap warganya akan karomah NU yang diberi Allah SWT melalui para ulama-ulama pendirinya, khususnya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari, sehingga NU bisa sebesar ini dan menjadi aset yang sangat  berharga untuk bangsa.

Bahtsul Masa'il, sebuah kegiatan khas Nahdliyin yang dilembagakan dalam organisasi sebagai Lembaga Bahtsul Masa'il (LBM) merupakan bukti bahwa NU tidak pernah alergi terhadap perbedaan. Justru menjadikannya sebuah energi untuk dapat melatih menyatukan pandangan dengan jalur musyawarah dan diskusi sehingga bermanfaat bagi warganya dan masyarakat luas dimanapun berada.

Dalam konteks Pilpres saat ini, dinamika perbedaan pandangan dan sikap dalam tubuh NU baik di tingkat struktural maupun kultural yang oleh warga Nahdliyin asli (bukan abal abal) dianggap hal biasa, menjadi hal luar biasa dan dijadikan komoditas politik oleh sebagian khalayak. Cara memahami perbedaan pada masyarakat umum bisa jadi sangat berbeda dengan NU, khususnya masyarakat muslim yang baru mengenal tentang Islam dan belajar dari sumber-sumber yang kurang akurat dan teruji keabsahannya.

Perbedaan itu akan selamanya ada, tidak hanya setiap 5 tahun masa Pilpres saja. Lebih penting lagi bila setiap individu memiliki kedewasaan untuk melihat setiap perbedaan sebagai sumber inspirasi dan koreksi dalam membangun bangsa dan negara bersama-sama. Mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia adalah sebuah keragaman, maka perilaku keberagaman akan selalu menjadi makanan sehari-hari setiap warganya. Untuk dapat hidup bersama dengan tentram di negeri ini sudah selayaknya kita menerimanya, atau jika memang tidak bisa, maka silahkan meninggalkan negeri ini, mudah kan?

(dad)