Presiden, Raja atau Sulthan Harus Orang Islam (Kajian An-Nisa' Ayat 59)

 
Presiden, Raja atau Sulthan Harus Orang Islam (Kajian An-Nisa' Ayat 59)

Presiden, Raja atau Sulthan mesti orang Islam (Kajian An-Nisa' Ayat 59)

Oleh: Abuya Prof.Dr.Muhibbuddin Waly 

بسم الله الرحمن الرحيم 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

" Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kalian. Maka jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka hendaklah kalian kembalikan sesuatu itu kepada Allah, dan kepada Rasul-Nya, jika kalian telah benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, itulah yang lebih baik dan sebaik-baiknya jalan." 

Firman Allah ini menunjukan kepada kita bahwa kita harus taat kepada Allah, yakni kitab sucinya, kepada Rasulullah, yakni sunnahnya, taat kepada Ulil Amri yang merupakan ijma' atau konsesus sebagai hukum ketiga, sedangkan dalil hukum yang keempat, yaitu al qiyas, adalah termasuk dalam syarat pemahaman; 

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Dalam masalah ini, yang menjadi fokus ialah kalimat " Ulil Amri ". Siapa yang dimaksud Ulil Amri itu. Menurut ulama hukum dan ulama tafsir, ialah: 

1. Para khalifah Rasulullah yang empat. 
2. Imam-imam mujtahid. 
3. Para pemutus hukum, misalnya qadhi, atau para majlis hukum yang setingkat dengan Mahkamah Agung. 
4. Pemerintah, apakah presiden, raja, atau sulthan yakni anggota pemerintahan yang menentukan perjalanan mekanisme kenegaraan atau kerajaan. 

Ulil Amri itu dalam hukum Islam sangat populer dengan istilah " al Imam " dari pada istilah lain, kecuali pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW. 

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin halaman 277 digambarkan, bahwa Al-Imamah atau suatu pemerintahan imamnya dapat diangkat melalui baiat ahlul halli wal 'aqdi, berupa para ulama anggota pemerintahan yang dianggap penting dan para pemimpin umat, di mana mereka mudah mengumpulkannya. Atau kepala Negara itu sah pengangkatannya dengan menggantikan kepala Negara sebelumnya, dimana "istikhlaf" itu telah diatur dalam undang-undang khusus. Atau kepala Negara dapat dianggap sah bila ia dapat menguasai Negara bersangkutan karena mempunyai "syaukah", yakni kekuatan mengatasi Negara, dapat mempersatukan umat atau bangsanya demi kepentingan umum, meskipun kepala Negara itu tidak memenuhi persyaratan. Karena itu barang siapa yang telah disebutkan para ahli hukum Islam sebagai kepala Negara (al-Imaamul a'dham), maka dia berhak menjadi kepala Negara. Dan jika tidak memenuhi syarat, maka dia dapat dianggap sebagai kepala Negara dengan kekuatan dan kemampuannya, maka berlakulah padanya seperti pada kepala Negara yang memenuhi syarat yang tidak akan jatuh dari kedudukan kepala Negara dengan sebab kefasikannya. Demikian pemahaman yang bercampur terjemahan bebas dari nash kitab Bughyatul Mustarsyidin oleh Baa 'Alwy. 

Di dalam Hasyiah Abdul Hamid Asy-Syarwani atas Tuhfah al-Muhtaj, dalam mensyarahkan Al-Minhaaj, juz 9 halaman 75 sebagai berikut: 

"Al Imam itu boleh dinamakan atau dipanggil dengan panggilan khalifah atau khalifah Rasulullah SAW atau dengan panggilan Amirul Mukminin" 

Meskipun yang bersangkutan itu fasik, yakni bukan orang yang bertakwa kepada Allah, tetapi dia jelas mukmin-muslim. Yang mula-mula dipanggil dengan Amirul Mukminin ialah "Umar bin Khattab ra." Imam atau kepala Negara itu, tidak boleh dipanggil dengan khalifatullah, karena dia hanya menggantikan orang yang bisa hilang dan bisa mati, sedangkan Allah Ta'ala Maha Suci dari yang demikian itu. 

Imam Nawawi dalam syarah Muslim mengatakan bahwa sesudah Nabi Adam As dan Nabi Daud As tidak ada seorang pun yang dapat dipanggil dengan khalifatullah. Diterima dari Abi Malikah bahwa seorang laki-laki telah memanggil Abu Bakar ra dengan panggilan: Wahai khalifah Allah. 

Abu Bakar menjawab: " Aku adalah khalifah Muhammad SAW dan aku rela dengan demikian."  

Kalau demikian, maka kepala Negara itu seseorang yang dapat melaksanakan kekhalifahan dan kenabian Rasulullah dalam menjaga agama dan politik keduniaan. Karena itu orang Islam yang tidak taat terhadap Al-Imam A'dham (kepala Negara) adalah bughah. 

Tapi, sungguhpun demikian, ada juga sebagian ahli hukum, meskipun dasarnya tidak begitu kuat, yang membolehkan memanggil kepala Negara dengan istilah Khalifatullah, sebab mereka berdasarkan surat 6, Al An'am, ayat 168 atau surat 10 Yunus, ayat 14 atau ayat 73, atau surat 35, Faathir ayat 39. Ayat-ayat itu mengambarkan, bahwa Allah menjadikan kalian khalifah-khalifahNya di permukaan bumi. 

Yang terpenting ada syarat Kepala Negara itu harus orang Islam, supaya dia dapat memelihara kepentingan Islam dan umat Islam. Meskipun syarat yang lain tidak ada dan ini diperbolehkan apabila yang bersangkutan mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memimpin Negara dan mempersatukan umat. Hal ini apabila kepala yang memenuhi syarat sudah meninggal, pensiun atau tidak mampu lagi, sehingga kepala Negara yang mempunyai kekuatan dapat menggantikannya. 

Tetapi apabila kepala Negara sebelumnya memenuhi syarat dan mampu, tetapi kalah oleh kepala Negara yang berkekuatan dan berkemampuan lebih, maka umat harus patuh dan taat pada yang kedua. 

Karena itu, para ulama Islam seperti yang disebutkan oleh "Tuhfah" dengan hasyiahnya diatas; 

" Boleh terjadi pada orang fasik atau 'awam dari pihak keagamaan, meskipun syarat-syarat selain Islam tidak ada padanya dan meskipun dia telah pernah maksiat kepada Allah. Karena yang penting adalah kedamaian, kesatuan umat, dan tidak timbul fitnah atau kekacauan di sana-sini."  

Sumber: Syeikh Muhammad Waly al-Khalidy, hal 196-199.