Memilih Dai dan Ustadz Secara Bijak

 
Memilih Dai dan Ustadz Secara Bijak

LADUNI.ID, Jakarta - Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2019 terkait status non-Muslim dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara menimbulkan kontroversi. Sejumlah dai populer yang selama ini bersuara keras terkait dengan isu-isu tertentu menyampaikan ketidaksepakatannya atas keputusan tersebut dengan berbagai argumentasi. Salah satunya, mereka membahas asal kata kafir dalam bahasa Arab. Sayangnya, hal ini menjadi blunder ketika hal ini menunjukkan keterbatasan kapasitas ilmu agama yang mereka miliki. Ada yang salah dalam memaknai proses perubahan kata tersebut yang dipelajari dalam ilmu sharaf. Ada pula yang tidak tahu bentuk jamak dan tunggal dari kata kafir. Padahal, kemampuan berbahasa Arab yang baik merupakan dasar memahami pengetahuan Islam yang lain.

Kejadian seperti ini sebenarnya hanya pengulangan atas kesalahan-kesalahan yang sesungguhnya sangat sederhana jika mempelajari ilmu agama dengan baik. Ada mualaf yang kemudian menjadi ustadz muda yang mengatakan, Rasulullah sendiri yang menuliskan kalimat tauhid di bendera, ada ustadzah yang keliru menuliskan ayat Al-Qur’an ketika sedang ceramah di televisi. Seorang ustadzah yang bacaan Al-Qur’annya tidak lancar sangat getol berceramah di berbagai tempat yang isinya banyak mengaitkan dengan situasi politik saat ini. Ada pula yang membahas pesta seks di surga di hadapan jamaah perempuan. Jika dirunut lagi, kesalahan-kesalahan yang dibuat bisa panjang.

Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana bisa orang-orang yang belum mumpuni menjadi rujukan masyarakat dalam beragama? Bahkan dengan percaya diri, orang-orang tersebut menyalah-nyalahkan, bahkan memaki-maki, orang-orang yang puluhan tahun tekun belajar agama di pusat-pusat pengajaran Islam di pesantren atau universitas ternama jika pendapatnya tidak sama dengan yang mereka yakini.

Di era media sosial di mana setiap orang bisa mengekspresikan pendapatnya lewat tulisan, foto atau video, kemampuan retorika atau pembuatan konten yang menarik kadang lebih penting dibandingkan dengan kapasitas keilmuan. Inilah salah satu pangkal dari persoalan ketika para dai yang yang hanya memiliki ilmu agama yang pas-pasan, tetapi mampu menyampaikannya dengan menarik sehingga akhirnya mereka memperoleh popularitas. Kebijakan di televisi yang didasarkan pada rating juga menggunakan indikator yang sama, yaitu faktor kemenarikan para dainya. Namun, ketika dihadapkan pada persoalan agama yang rumit, terbukti kemampuan mereka kurang memadai.

Para dai yang ilmunya cukup lumayan pun tetap dituntut untuk terus mengembangkan dan memperbaharui pengetahuannya. Popularitas membuat mereka sibuk dengan undangan ceramah ke sana kemari. Dalam satu hari, mereka bisa berceramah di tiga tempat yang berbeda. Hal ini membuat mereka lelah secara fisik dan mental. Sementara itu, teknologi menyebabkan ceramah bisa didengarkan dari mana saja. Akibatnya, pengulangan-pengulangan tema yang sama dengan diksi yang sama menjadi tidak menarik. Hanya dai yang benar-benar kreatif dan mumpuni yang mampu terus bertahan menghadapi tuntutan jamaah akan kebaruan dan kesegaran dakwahnya.

Bagi banyak orang, apa yang disampaikan oleh para dai sesungguhnya bukan pengetahuan baru karena hal tersebut sudah sering mereka dengar. Ketika ceramah terkait dengan Maulid Nabi, maka yang disampaikan berputar tentang kelahiran Rasulullah. Saat Isra Mi’raj, maka tema utama adalah perjalanan Nabi ke Sidratul Muntaha. Para pendengar sesungguhnya ingin mengingat kembali atau bahkan sekadar ingin mendengarkan uraian materi agama dengan cara yang segar. Karena itu, dai-dai yang menyampaikan ceramah dengan cara serius kurang laku di publik. Para ahli ilmu agama bergelar profesor dan doktor yang mengajar di berbagai perguruan tinggi Islam kalah populer dengan dai-dai muda tapi mampu mengemas ceramahnya dengan menarik.

Bukan hanya itu, kadang masyarakat ingin mendengarkan ceramah dari dai yang sesuai dengan pandangan politiknya. Saat terjadi polarisasi politik akibat pemilihan presiden, maka dai-dai tertentu menunjukkan keberpihakannya kepada calon tertentu sehingga pihak yang berseberangan secara politik tidak mengundangnya. Dai model begini umumnya dalam ceramahnya mengkritisi pihak lawan politiknya.

Suatu kebenaran yang disampaikan secara kontemplatif dan komprehensif bisa saja kalah dengan informasi biasa-biasa saja tetapi menarik. Bahkan hoaks yang secara terus-menerus diproduksi dan dijejelkan ke publik melalui media sosial dengan beragam teknik bisa lebih dipercaya karena kurangnya sikap kritis. Apalagi ditambah dengan kecenderungan publik yang hanya membaca judulnya atau yang dibuat dengan nada provokatif.

Tak mudah memang berada dalam belantara informasi yang tak terbatas dan terus-menerus diperbaharui dengan beragam isu yang datang silih berganti. Bagi publik yang ingin mendapatkan ilmu dari pengajian, mereka dapat mengecek latar belakang para dai di internet. Di mana mereka belajar agama, bagaimana orientasi ideologi keislamannya, afiliasi organisasinya, termasuk kemungkinan kontroversi yang pernah dibuatnya. Jejak digital kini sangat mudah ditelusuri. Jangan sampai kita tertipu penampilan tetapi isinya kosong.

Inilah PR besar bagi para pegiat dakwah Islam moderat. Jangan sampai ranah dakwah dikuasai oleh kelompok tekstual dan konservatif yang memandang agama hanya secara hitam putih, yang menjunjung tinggi penampilan ketimbang substansi. Pengetahuan agama yang mumpuni tak cukup untuk membuat publik mendengarkan kebenaran yang mereka sampaikan. Kemampuan untuk mengemas dakwah dengan cara yang menarik sesuai dengan target yang mereka tuju sangat penting agar pesan-pesan yang mereka sampaikan di dengar oleh publik.

Berdakwah, tak cukup dengan belajar ilmu agama, tetapi juga belajar ilmu psikologi publik, komunikasi massa, retorika, karakter media sosial, dan lainnya. Bakat-bakat yang ada, perlu diasah agar mereka mampu tampil di depan publik dengan baik. Dan Itu semua tak bisa diserahkan sebagai tanggung jawab pribadi dai. Ada tanggung jawab lembaga-lembaga dakwah untuk turun terlibat mengemas dakwah di berbagai ruang publik menjadi menarik.


Artikel ini ditulis oleh Achmad Mukafi Niam. Sumber: NU Online