Rocky Gerung Itu Gimmick!

 
Rocky Gerung Itu Gimmick!

LADUNI.ID, Jakarta - Saya sangat beruntung ketika lulus dari IPB (yang kecepeten itu), sambil meneruskan kuliah di UI. Sempat beberapa saat bekerja langsung di bawah Dr. Rhenald Kasali, yang pada waktu itu masih sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Usahawan Indonesia (MUI). Sebuah majalah alternatif di bawah Fakultas Ekonomi UI, yang beredar secara terbatas. Sebenarnya ini majalah yang tanggung, akademis sama sekali tidak, tapi populer juga bukan.

Saat itu sebagai reporter pemula, saya berkesempatan mengenal banyak sekali nama besar, yang tentu saja di masa itu sangat super sibuk. Maklumlah mereka adalah para "economist" yang pegang kendali di banyak sektor. Dari sini pula, saya tahu bahwa banyak tulisan yang dibikin "atas nama" mereka, yang sebenarnya adalah tulisan ulang para wartawan (seperti saya).

Hasil wawancara mendalam, walau juga tidak mendalam-dalam amat. Pola ini kemudian diadaptasi oleh banyak media untuk menaikkan oplah, terutama grupnya Jawa Pos. Diawali dan diperkuat setelah Ramadhan Pohan Full keluar dari MUI, sehingga koran ini seolah mampu menghadirkan penulis-penulis besar di media mereka. Bukti bahawa diperlukan bentuk manipulatif yang terpaksa dilakukan demi membangun reputasi (halah!).

Kembali pada Rhenald Kasali, saya bersaksi bahwa ia adalah guru yang sangat baik. Dari pribadi seperti dia, kita sangat banyak bisa belajar. Saya tak bisa menemukan orang yang bisa merubah ilmu marketing, dari angka-angka yang menjemukan menjadi adu strategi yang terlihat sedemikian sexy dan menarik di tangan beliau.

Ia bisa melihat "marketing" dalam perspektif yang nyaris tanpa batas. Di mana daripadanya bisa diaplikasi dalam nyaris semua sisi dan bidang kehidupan. Dalam konteks inilah, ia bisa menelanjangi habis Rocky Gerung secara lebih jernih, bersih, akademis, sekaligus praktis. Nyaris tanpa perlawanan dan perdebatan yang tidak perlu.

Sialnya, saya juga mengenal Rocky Gerung pada saat yang nyaris bersamaan pada awal 1990-an. Sial yang lain lagi, baru belakangan ketika namanya mulai naik daun. Saya baru tahu bahwa dia tidak pernah lulus S1-nya dari Jurusan Filsafat FS-UI. Kok bisa? Rumit!

Ia mula-mula aktif dalam pendidikan demokrasi.Orang yang sangat antusias memberi perspektif filsafat dalam gerakan demokrasi dan pemberdayaan rakyat. Artikulasi setiap katanya sangat kuat, sehingga saya pikir dengan darah Menado-nya, ia adalah laki-laki yang sangat pandai memikat wanita. Tapi demikian lah "kutukan" pria mempesona seperti dirinya. Ia justru kesulitan memilih jodoh, sehingga dalam banyak kesempatan ia memiliki pandangan yang absurd tetapi saya pikir puitis.

Apa yang dikatakannya sebagai "wanita itu indah sebagai fiksi dan berbahaya sebagai fakta". Ia tampak berkuasa terhadapnya, tetapi sama sekali tak berdaya di hadapannya".  Dari panggung ke panggung, ia menebar mula-mula banyak quote, aporisma, dan permainan kata-kata yang sesungguhnya sama sekali tidak filosofis, bahkan  cenderung sangat pop sejenis anak alay.

Perannya sebagai penggerak pendidikan demokrasi jadi ambyar, ketika reformasi datang. Di masa reformasi, demokrasi jatuh harga sedemikian rupa. Ia bisa menjadi sabun mandi, sebotol kecap, secangkir kopi, atau bahkan sebungkus mie instan.

Semua orang berbicara bebas, tanpa kendali dan terutama tanpa informasi, data, dan ilmu pengetahuan. Salah satu dosa terbesar reformasi adalah demokrasi berjalan nyaris tanpa panduan. Semua boleh, kecuali kemudian yang dianggap tidak boleh.

Mustinya, setelah kedua figur ini duduk di meja yang sama, perdebatan tentang Rocky Gerung sudah selesai! Saya tahu RG menggunakan dasar pemikiran Harry G. Frankfrut, seorang filsuf Amerika, Professor dari Princeton University. Dari bukunya berjudul "On Bullshit", sebuah buku tipis sekira 80 halaman. Buku ini berisi tentang seni berbohong.

Frankfurt menyebut bahwa omong kosong (bualan, kibulan) adalah ucapan yang dimaksudkan untuk membujuk tanpa memperhatikan kebenaran. Daripadanya muncul dua pendekatan: Pertama, The Liars (Pembohong). Kedua, The Bullshitters (Si Penipu). Si Pembohong (The Liars) ketika menyampaikan, masih peduli akan kebenaran dan Ia berusaha menyembunyikannya. Sedangkan Si Penipu (The Bullshitters) tidak peduli jika apa yang Ia katakan itu benar atau salah, hanya peduli apakah pendengar mereka bisa dibujuk atau tidak.

Artinya, apa yang ia sebuat sebagai beda antara bohong dan ngibul itu sama sekali bukanlah ide orisinal dirinya. Ia bisa berselancar sedemikian rupa, yang sesungguhnya ia lebih suka ditempatkan sebagai artis (baca: pelakon, aktor) daripada seorang pemikir. Ia sedang menjalankan peran sebagai seorang antagonis, oposisi yang tentu saja punya segmen pasar tersendiri. Ia adalah produk sebuah pendekatan marketing dalam politik.

Dalam konteks ini saya pikir Rhenald Khasali telah menelanjanginya dalam konteks yang paling tepat. Ia sesungguhnya tidak banyak buku yang dibacanya secara mendalam (apalagi teks aslinya). Ia mudah diduga pelaku bayaran, karena itu wajar ia membela siapa yang bayar. Bukan yang benar!

Pada masa saya remaja, ketika pertama kali sebuah produk makanan kemasan untuk anak-anak mulai diperkenalkan bernama Chiki Balls. Untuk mempromosikannya, diiming-imingi hadiah jam tangan di dalamnya. Apa yang kemudian dalam ilmu marketing disebut gimmick. Tentu tidak disetiap kemasan ada, kadang hanya sticker, kadang hanya koin plastik. Intinya konsumen diracuni, dirayu, digoda dengan tambahan produk. Karena produsennya sadar produk utamanya miskin manfaat, nyaris tanpa gizi, dan banyak micin.

Ia tak bisa dianggap sebagai hadiah atau berkah, namun sesungguhnya tak lebih gimmick. Intertaint, hiburan paling murah yang sesungguhnya tak bermakna apa-apa. Ia dinantikan, hanya karena kita suka kejutan dan sensasi. Tapi sesungguhnya tak memberi pelajaran dan manfaat apa-apa. Ia simbol demokrasi masa kini yang dihadirkan, hanya untuk berbicara tentang hal yang indah dan tampak enak didengar.

Tapi sangat jauh dari hal yang jujur, baik dan benar, apalagi jika ukurannya berguna dan bermakna. Ia dianggap sebagai oposisi pemikiran, padahal sedang membicarakan rating, kreatifitas pasar, dan popularitas pribadi.

Rocky Gerung itu gimmick, ia tak (banyak) bermanfaat tapi diperlukan oleh zamannya!


Pengalaman oleh Andi SM