Bulan Rajab #16: Fenomena Kontroversial Seputar Amaliah Rajab

 
Bulan Rajab #16: Fenomena Kontroversial Seputar Amaliah Rajab

Laduni.ID, Jakarta - Rajab sebagai bulan yang penuh berkah dan kelebihannya,kerap dan sering terlihat dalam mengkaji kelebihan bulan Rajab itu banyak polemic dan kontroversi pendapat yang sering di temui dalam turast klasik ulama.

Kesempatan kali ini kita mencoba untuk melihat perbedaan pendapat dan polemik dua orang ulama besar yaitu Ibnu Shalah ulama yang hidup pada tahun 557-643 H dan rival beliau juga ulama besar bernama syekh Izzudin bin Abdus salam, sosok ulama kesohor yang hidup tahun 577-660 H. Salah satu polemik yang kontras terihat di bulan Rajab yaitu seputaran tentang Shalat Raghaib. Ibadah Raghaib ini sudah sering dan biasa dikerjakan di Baitul Maqdis pada kamis pertama bulan Rajab.

Sosok ulama bernama Ibnu Shalah merupakan seorang muhadits kenamaan dan popular juga sahib dan pengarang karya monumental bernama kitab Muqaddimah Ibnu Shalah yang kitabnya hingga kini masih banyak di pelajari dan dikaji dibelahan dunia Islam termasuk nusantara, asia dan lainnya.

Dalam karya beliau tersebut meski beberapa kali dalam fatwanya mengenai beberapa ibadah menganggapnya sebagai bid’ah, namun di belakangannya beliau tidak membid’ahkannya bahkan memperbolehkannya khususnya tenatng shalat Raghaib tersebut.

Namun fatwa Ibnu Shalah itu sangat ditentang oleh Syekh ‘Izzzudin beliau merupakan ulama besar yang digelari sebagai Sulthanul ‘Ulama juga pengarang kitab termasyhur dengan nama “Qawa’idul Ahkam”, tradisi perang ilmiah itu pun terjadi untuk menjawab pernyataan Ibnu Shalah dengan mengarang kitab “At Targhib ‘an Shalat Raghaib Al Maudu’ah”.

Rupanya “perang”ilmiah tidak berhenti di situ, lantas Ibnu Shalah membalasnya dengan mengarang dan menulis sebuah kitab bernama “Ar Radd ‘ala Targhib”, “perang” kian “memanas” lantas syekh Izzudin pun membalas dan mengarang sebuah kitab balasan dengan judul “Tafnid Radd.”

Sungguh indah perang llmiah mereka tanpa mengorbankan jiwa dan bentrok fisik, hanya perang pemikiran. Lantas apakah kedua belajar kepada guru yang berbeda sehingga melahirkan dua pendapat yang berbeda?

Jawabannya tidak, beliau keduanya merupakan dua orang ini berguru dan mengaji pada masyaikh yang sama, kedua ulama besar ini adalah murid Syekh Fakhrudin ibn ‘Asakir seorang ulama yang hidup pada masa 550-620 Hijriah dan juga pengarang dan penyusun kitab “Tarikh Dimasyq” dan bahkan ulama besar ini juga menyusun sebuah kitab kecil yang mengupas tentang kelebihan dan keutamaan bulan Rajab berjudul “Fadlu Rajab(Kelebihan Bulan Rajab)
Dalam biografi mereka dan lintasan sejarah di sebutkan bahwa sebenarnya telah terjadi beberapa kali Syekh izzudin dan Ibnu Shalah berpolemik dan berbeda pendapat di antara keduanya.

Diantaranya mengenai persoalan bau mulut harum orang puasa yang termaktub dalam hadits, paling tidak jika kita melihat komentar Ad Darimi (742-808 H) dalam kitabnya “Hayatul Hayawan “yang berkata demikian saat mengomentari khilaf antara Ibnu Shalah dan Izzudin seputaran saat membahas bau mulut orang yang berpuasa.

Sebenarnya tradisi keilmuan dalam Islam terjadi kontroversi pendapat dan polemik orang-orang berilmu dan beradab memang “perang”ilmiah dengan penuh santun dan ta’lim mereka ajarkan untuk kita,perbedaan tidak harus di hadapi dengan “emosi”dan perlawanan fisik dan lainnya,namun perbedaan pendapat di jawab dengan ilmu lewat tulisan dan karya berupa kitabdi balas dengan kitab juga, polemik wacana dibalas wacana, risalah di balas risalah sama. Sungguh indah dan santun “perang” seperti ini. Lihatlahlah misalnya jika kita menghitung berapa banyak kitab yang ditulis saat terjadinya perbedaan pendapat dan kolemik kubu ulama Sakhawi beliau hdup pada tahun 831-902 Hijriah dengan kelompok dan pendukung Imam Suyuthi sosok ulama besar Imam Syafii yang hidup sekitar tahun 849-911 Hijariah.

Kita pun sangat mengharapkan berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama dan ahli ilmu dapat mengikuti tradisi pendahulu dengan “perang”ilmiah kitab di balas dengan kitab, minimal pendapat di tulis dalam bentuk karangan sehingga lebih menghidupkan ruhul dan semangat Islam yang sempat tenggelam. Semoga…

Helmi Abu Bakar ellangkawi, Wallahu Muwaffiq Ila ‘Aqwamit Thariq