Murid Ro'isul Abdal (18): Imam Syafii dan Soal Ittifaqul Ummah

 
Murid Ro'isul Abdal (18): Imam Syafii dan Soal Ittifaqul Ummah

LADUNI.ID - Diceritakan di dalam kitab Thobaqôt asy-Syâfi`iyah al-Kubrô yang dikarang oleh Imam Tajuddin as-Subki (versi Daru Ihya’il Kutub al-Arobiyah, II: 243-245), ketika membahas tokoh bernama Muhammad bin Aqil al-Firyabi, terdapat kisah pertemuan Syaikh laki-laki dengan Imam Syafi`i. Pertemuan itu berkaitan dengan ujian dari Syaikh itu kepada Imam Syafi`i tentang dalil berhujjah yang digunakannya, tentang ittifaqul ummah, yang kemudian disebut ijma di dalam kitab ar-Risâlah-nya.

Cerita itu dikisahkan dengan mengutip Imam Baihaqi dalam kitab al-Madkhol, dari riwayat Imam al-Muzani atau ar-Robi’ (yang sebagian penuturan saya ringkas). Suatu hari kami di sisi Imam asy-Syafi`i rodhiyallohu `anhu, antara waktu Dhuhur dan Ashar. Datanglah seorang laki-laki (dengan menyebutkan ciri-cirinya) dan duduk, lalu dia berkata setelah memberi salam, “Saya akan bertanya?” Imam Syafi`i berkata: “Bertanyalah?”

Laki-laki itu bertanya: “Apakah hujjah dalam agama Alloh itu?”

Imam Syafi`i: “Kitabulloh.”

Laki-laki itu bertanya lagi: “Lalu apa?”

Imam Syafi`i menjawab: “Dan Sunnahnya Rosululloh shollahu `alaihi wasallam.”

Laki-laki itu bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”

Imam Syafi`i menjawab: “Ittifaqul Ummah.”

Laki-laki itu kemudian berkata: “Dari mana engkau mengatakan Ittifaqul Ummah?”

Imam Syafi`i menjawab: “Dari kitab Alloh.”

Laki-laki itu kemudian berkata: “Di mana Kitab Alloh yang menyebutkan itu?”

Imam Syafi`i kemudian merenung sesaat.

Laki-laki itu kemudian berkata: “Saya menangguhkan/menunggu untukmu 3 hari 3 malam, apabila engkau datang dengan hujjah dari Kitab Alloh soal al-ittifaq tadi, dan bila engkau tidak menemukan, bertaubatlah kepada Alloh Swt.”

Berubahlah warna (rona muka) Imam Syafi`i, kemudian orang itu pergi dan tidak keluarlah Imam Syafii selama 3 hari. Maka keluarlah ketika sudah 3 hari itu kepada kami (Imam Robi' dan al-Muzani), yaitu antara Dhuhur dan Ashar. Tidak lama kemudian laki-laki yang menguji itu juga datang, memberi salam dan duduk.

Laki-laki itu berkata: “Hajatku?”

Imam Syafi`i berkata: “Iya. Saya berlindung kepada Alloh dari syaithon yang terkutuk, dengan menyebut Nama Alloh yang mengasihi dan menyayangi, berfirman Alloh dalam surat an-Nisa’ [4]: 115: “Dan barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Laki-laki itu kemudian berkata: “Shodaqta,” kemudian berdiri dan pergi.

Imam al-Firyabi kemudian berkata, bahwa Imam al-Muzani atau ar-Robi berkata bahwa Imam Syafi`i berkata: “Tatkala laki-laki itu pergi, saya membaca Al-Qur’an setiap hari tiga kali, sampai saya berhenti di situ (maksutnya di ayat itu).”

Imam Tajuddin as-Subki menyebutkan bahwa Syaikh laki-laki di sini fayumkinu adalah Hidhir alaihissalam... Sanad dari cerita ini menurut Imam Tajuddin as-Subki adalah shohîh lâ ghubaro `alaihi, benar dan tidak ada keraguan.

Cerita itu juga diketangahkan oleh Syaikh Mahfudz at-Termasi dalam kitab `Inâyatul Muftaqir (hlm. 86). Menurut catatan kaki dalam Kitab Inâyatul Muftaqir disebutkan pula, cerita ini juga dimuat dalam Imam adz-Dzahabi dalam Siyâru A’lamin Nubalâ’ (X: 83), dan Ibnu Asakir dalam Tarîkh Damsyiq (XV: 363).

Dalam kitab Siyâru A’lâmin Nubalâ’, memang disebutkanm cerita itu, dan laki-laki itu disebut dengan Syaikh, dan tidak ada perbedaan yang mencolok kecuali redaksi kecil, seperti, ketika bertanya syaikh itu, dalam kutipan Inâyatul Muftaqir menggunakan kata “Aisy al-Hujjah…”, tetapi dalam Siyâru A’lâmin Nubala’ menggunakan dengan redaksi “Mâ al-Hujjah…”; dan hanya menyebutkan ta`awudz dan tidak ada Basmalah sebelum mengutip ayat surat an-Nisa [4]: 115.

Apa yang dikemukakan Imam Syafi`i tentang ittifâqul ummah, adalah apa yang kemudian dikemukakan juga di dalam kitab ar-Risâlah, yang merupakan kitab pertama yang membahasa soal Ushul Fiqh. Dalam kitab ar-Risâlah itu Imam Syafi`i mengemukakan: “Kami menerima kesepakatan umat dan mengikuti otoritas mereka meskipun ada kemungkinan tidak diketahui oleh sebagian yang lainnya. Kami meyakini bahwa umat tidak akan bersepakat atas suatu kesalahan.”

Imam Syafi`i ketika ditanya, apa maksud perintah Nabi supaya mengikuti mayoritas yang banyak (di antara kaum muslimin). Imam Syafi`i menjawab: “…Orang yang mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh jamaah kaum muslimin berarti dia telah menyatu dengan mereka, dan orang yang mengatakan sesuatu yang berbeda berarti ia keluar dari mereka. Maka kesalahan tidak ada lain datang dari perpecahan; tetapi pada jama'ah sebagai keseluruhan tidak mungkin terjadi kesalahan mengenai arti Al-Qur’an, sunnah, dan qiyas.”

Sedangkan cerita, pertemuan dengan Syaikh laki-laki yang cerita itu menurut Imam Tajuddin as-Subki, benar dan tidak bohong, adalah Nabi Hidhir, dan sedang menguji dasar-dasar Hujjah Imam Syafi`I, adalah cocok dengan kisah yang diungkapkan oleh Abu Abdurrahman as-Sulami di dalam karangannya (pada hlm. 29), yang disebut atau dikutip oleh Syaikh Mahfudz Termas tentang tokoh Bilal al-Khowash, yang ketika beliau bersama Nabi Hidhir dalam perjalanan, dia bertanya kepada Nabi Hidhir: “Apa yang engkau katakan tentang Imam asy-Syafi`i?” Nabi Hidhir berkata: “Minal Abdal” (Inâyatul Muftaqir, hlm. 77)

Akan tetapi menurut Al-Hujwiri yang mengemukakan mimpi seorang Syaikh sufi tentang Imam Syafi`i, dikatakan begini: “Seorang syaikh meriwayatkan bahwa suatu malam dia mimpi bertemu Rosulullah dan berkata kepadanya: “Wahai Rasululloh, sebuah hadits telah sampai kepada saya dari engkau, bahwa Alloh memberi bumi ini dengan autâdan wa auliyâ’an fil ardhi. Rosul bersabda, bahwa periwayat hadits tersebut memberikan periwayatannya dengan benar, dan sebagai jawaban terhadap permintaan seorang syaikh sufi agar dia bisa melihat salah satu dari orang-orang itu, Rasululloh bersabda: “Muhammad bin Idris salah satunya (al-Hujwiri, Kasyful Mahjûb, versi Maktabah al-Iskandariyah, 1974, hlm. 310).

Kisah yang pertama dalam cerita Bilal al-Khowash disebut bahwa Imam Syafi`i adalah Abdal; dan dalam kisah al-Hujwiri, Imam Syafi`i disebut termasuk Autad. Ini tidak bertentangan apabila difahami, dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan sebelumnya tentang Abdal dalam tulisan yang telah lalu, bahwa Abdal itu bisa saja menggantikan posisi Autad manakala salah satu di antara mereka telah meninggal.

Dengan melihat posisi Imam Syafi`i yang dituturkan para guru sufi yang demikian itu, yaitu sebagai Abdal, dan sebagian menyebutnya Autad, maka dapatlah difahami kenapa Imam Syafi`i menyebutkan dalam Diwan-nya, menyerukan untuk mengkompromikan fiqh dengan tasawuf.

“Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawuf, jangan jadi salah satunya, sungguh dengan haqq Alloh aku menasehatimu.Jika kamu menjadi ahli fiqh saja maka hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya takwa. Dan jika kamu menjadi yang kedua saja (ahli tasawuf), maka sungguh dia teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan menjadi baik” (Diwan Imam asy-Syafi`i, hlm. 69).

Pandangan tasawuf Imam Syafi`i juga pernah diriwayatkan oleh Yunus bin Abdul A’la berkata; dan juga diriwayatkan dari al-Husain bin Bahr, seperti diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi (Manâqibusy Syâfi`î lil Baihâqî, versi Darut Turots, Kairo, 1970, jilid II: 207), banyak yang dipakai kaum salafi-wahhabi untuk melawan tasawuf, begini:

“Jika ada seseorang yang bertasawuf di pagi hari maka sebelum datang zhuhur aku sudah mendapatinya dia telah menjadi ahmaq (dungu)” (Manâqib asy-Syâfi`i lil Baihâqî, II: 207).

Makna peranyataan ini dijelaskan oleh Imam al-Baihaqi, begini: “Sesungguhnya yang dimaksud Imam asy-Syafi`i (dengan kata-kata itu) adalah orang yang masuk dalam kalangan sufi yang hanya nama saja sementara dia tidak faham intinya, dia hanya mementingkan catatan tanpa mendalami hakekatnya, hanya duduk, dan tidak mau berusaha, ia menyerahkan urusan hidup dirinya ke tangan orang-orang Islam, dan dia sendiri tidak peduli dengan orang-orang Islam tersebut, dan tidak pernah menyibukkan diri dengan mencari ilmu dan ibadah.”

Menurut Imam al-Baihaqi, makna itu sesuai riwayat dari Imam asy-Syafi`i, yang dikabarkan Abu Abdurrahman as-Sulami, yang berkata:

“Aku telah mendengar Abu Abdullah ar-Rozi berkata: aku mendengar Ibrohim bin Maulid berkata dalam meriwayatkan perkataan Imam asy-Syafi`i: “Seseorang tidak akan menjadi sufi hingga terkumpul dalam dirinya 4 perkara: pemalas, tukang makan, tukang tidur, dan banyak berlebihan.” Sesungguhanya yang ingin dicela Imam Syafi`i adalah siapa dari mereka memiliki sifat ini. Adapun yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Alloh, dan menggunakan adab syariah dalam muamalahnya kepada Alloh `azza wa jalla dan beribadah, serta muamalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah diceritakan beliau bergaul dengan mereka dan mengambil dari ilmu mereka.

Lalu dikutip satu riwayat dari Ayyub bin Sulaiman dari Muhammad bin Muhammad bin Idris, mengatakan bahwa ayahku berkata: “Aku telah bersahabat dengan para sufi 10 tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali 2 huruf ini: “Waktu adalah pedang (al-waqtu kassaif), waminal ishmah an lâ taqdiro” (Manâqibusy Syâfi`î lil Baihâqî, II: 278).

Oleh karena itu, para pengikut Imam Syafi`i, selalu berupaya untuk mengkompromikan antara praktik tasawuf dengan fiqh, tidak dipisahkan. Dan puncaknya, dilakukan oleh Imam al-Ghozali. Wallohu a’lam.

Oleh: Nur Kholik Ridwan

Anggota PP RMINU