Biografi KH. Sholeh Darat

 
Biografi KH. Sholeh Darat
Sumber Gambar: Lukisan ilustrasi, foto asli belum ditemukan (Komunitas Pecinta kyai Sholeh Darat)

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru
2.3  Guru di Makkah
2.4  Sahabat Seperguruan

3.    Penerus
3.1  Murid-Murid

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Diculik Pulang oleh Mbah Hadi Girikusumo
4.2  Mendirikan Pesantren

5.    Teladan
5.1  Sosok Pemikir

6.    Karomah
7.    Karya-Karya

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Muhammad Shalih bin Umar As-Samarani  atau yang lebih akrab disapa dengan panggilan KH. Sholeh Darat lahir pada sekitar tahun 1820 M/1235 H. di Dukuh Kedung Jumbleng, Desa Ngroto Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.

Nama Darat yang dipakai oleh KH. Sholeh berawal dari kehidupannya yang tinggal di kawasan dekat pantai utara Semarang yakni, tempat berlabuhnya (mendarat) orang-orang dari luar Jawa. Kini, nama Darat tetap lestari dan dijadikan prasasti nama kampung, Nipah Darat dan Darat Tirto. Saat ini kampung Darat masuk dalam wilayah Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.

1.2 Riyawat Keluarga
Selama hidupnya, KH. Sholeh Darat pernah menikah tiga kali. Pernikahannya yang pertama adalah ketika beliau masih berada di Makkah. Tidak diketahui siapa nama istrinya. Dari pernikahannya yang pertama ini, beliau dikarunia seorang anak yang diberi nama Ibrahim.

Tatkala KH. Sholeh Darat pulang ke Jawa, istrinya telah meninggal dunia dan Ibrahim tidak ikut serta ke Jawa. Ibrahim ini tidak mempunyai keturunan. Untuk mengenang anaknya (Ibrahim) yang pertama ini, KH. Sholeh Darat menggunakan nama Abu Ibrahim dalam halaman sampul kitab tafsirnya, Faidh Al-Rahman.

Pernikahannya yang kedua dengan Nyai Sofiyah, putri KH. Murtadho teman karib ayahnya, Kyai Umar, setelah beliau kembali ke Semarang. Dari pernikahannya ini, dikarunia dua orang putra, yakni:

  1. Kyai Yahya,
  2. Kyai Khalil.

Dari kedua putranya ini, telah melahirkan beberapa anak dan keturunan yang bisa dijumpai hingga kini.

Sedangkan pernikahannya yang ketiga dengan Nyai Aminah, putri Bupati Bulus, Purworejo, keturunan Arab. Dari pernikahannya ini, beliau dikaruniai anak. Salah satu keturunannya adalah Nyai Siti Zahrah. Nyai Siti Zahrah dijodohkan dengan KH. Dahlan santri KH. Sholeh Darat dari Tremas, Pacitan.

Dari pernikahannya ini melahirkan dua orang anak, masing masing Kyai Rahmad dan Aisyah. KH. Dahlan meninggal di Makkah, kemudian Siti Zahrah dijodohkan dengan KH. Amir, juga santri sendiri asal Pekalongan. Pernikahannya yang kedua Siti Zahrah tidak melahirkan keturunan.

1.3 Wafat
KH. Saleh Darat wafat di Semarang pada hari Jum’at Wage, 28 Ramadan 1321 H atau pada 18 Desember 1903 M. dalam usia 83 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang. Setelah beliau wafat, setiap tanggal 10 Syawal, masyarakat dari berbagai penjuru kota berziarah untuk menghadiri haul beliau. Ziarah Makam KH. Sholeh Darat, Mahagurunya para Ulama.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
KH. Sholeh Darat merupakan sosok ulama yang memiliki andil besar dalam penyebaran Islam di Pantai Utara jawa Khususnnya di Semarang. Ayahnya yaitu KH. Umar, adalah ulama terkemuka yang dipercaya Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa melawan Belanda di wilayah pesisir utara Jawa.

Setelah mendapat bekal ilmu agama dari ayahnya, Kyai Sholeh kecil mulai mengembara, belajar dari satu ulama ke ulama lain. Tercatat KH. Syahid Waturaja (belajar kitab fiqih, seperti Fath Al-Qarib, Fath Al Mu’in, Minhaj Al-Qawim, dan Syarb Al-Khatib).Berlanjut kepada KH. Ahmad Bafaqih Balawi demi mengkritisi kajian Jauharah At-Tauhid buah karya Syekh Ibrahim Al-Laqani dan Minhaj Al-Abidin karya Al-Ghazali.

Masih di kota lumpia, Semarang, Kitab Masa’il As-Sittin karya Abu Al-Abbas Ahmad Al-Misri, sebuah depiksi tentang ajaran dasar Islam populer di Jawa sekitar abad ke-19 dicernanya dengan tuntas dari Syekh Abdul Ghani.

Tak pernah puas, haus ilmu, itulah sifat setiap ulama. Demikian pula beliau, nyantri kepada KH. Syada’ dan KH. Murtadla pun dijalaninya yang kemudian menjadikannya sebagai menantu. Setelah menikah, KH. Sholeh Darat merantau ke Makkah, di tanah haram, Beliau berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain: Syekh Muhammad Al-Muqri, Syekh Muhammad ibn Sulaiman Hasbullah Al-Makki, Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Umar (ayah),
  2. KH. M. Syahid,
  3. KH. Raden Muhammad Shaleh bin Asnawi, Kudus,
  4. KH. Ishak Damaran, Semarang,
  5. KH. Abu Abdillah Muhammad bin Hadi Buquni, seorang Mufti di Semarang,
  6. KH. Ahmad Bafaqih Ba’alawi, Semarang,
  7. Syekh Abdul Ghani Bima,
  8. Mbah Ahmad (Muhammad) Alim Bulus Gebang Purworejo,
  9. KH. Syada’ dan KH. Murtadla.

2.3 Guru di Makkah

  1. Syekh Muhammad Al-Muqri,
  2. Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Makki,
  3. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
  4. Syekh Ahmad Nahrawi.

2.4 Sahabat Seperguruan
Semasa belajar di Makkah, KH. Sholeh Darat banyak beriteraksi dengan ulama-ulama Indonesia yang belajar di sana. Di antara para ulama yang sezaman dengannya adalah:

  1. Syekh Nawawi Al-Bantani,
  2. Syekh Ahmad Khatib,
    Beliau seorang ulama asal Minangkabau. Lahir pada 6 Dzulhijjah 1276 (26 Mei 1860 M) dan wafat di Makkah pada 9 Jumadil Awwal (1916 M). Dalam sejarahnya, dua tokoh pendiri NU dan Muhamadiyyah KH. Hasyim As’ari dan KH. Ahmad Dahlan pernah menjadi murid Syekh Ahmad Khatib. Tercatat ada sekitar 49 karya yang pernah ditulisnya. Di antaranya kiitab Al-Nafahat dan Al-Jawahir fi A’mal Al-Jaibiyyat.
  1. KH. Mahfuzh At-Termasi,
    Beliau adalah kakak dari KH. Dimyati. Selama di Makkah, beliau juga berguru kepada KH. Ahmad Zaini Dahlan. beliau wafat tahun 1338 H (1918 M).
  1. KH. Khalil Bangkalan, Madura.
    Beliau adalah salah seorang teman dekat KH. Sholeh Darat. Namanya cukup terkenal di kalangan para Kyai pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Beliau belajar di Makkah sekitar pada tahun 1860 dan wafat pada tahun 1923 M.

3. Penerus

3.1 Murid-Murid
Salah satu muridnya yang terkenal tetapi bukan dari kalangan ulama adalah Raden Ajeng Kartini. Karena R.A. Kartini inilah KH. Sholeh Darat menjadi pelopor penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Jawa. Menurut catatan cucu KH. Sholeh Darat, R.A. Kartini pernah punya pengalaman tidak menyenangkan saat mempelajari Islam. Guru ngajinya memarahinya karena bertanya tentang arti sebuah ayat Al-Qur’an.

Kemudian ketika berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak, R.A. Kartini menyempatkan diri mengikuti pengajian yang diberikan oleh KH. Sholeh Darat.

Saat itu beliau sedang mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. R.A. Kartini menjadi amat tertarik dengan KH. Sholeh Darat. Dalam sebuah pertemuan R.A. Kartini meminta agar Al-Qur’an diterjemahkan karena menurutnya tidak ada gunanya membaca kitab suci yang tidak diketahui artinya.

Tetapi pada waktu itu penjajah Belanda secara resmi melarang orang menerjemahkan Al-Qur’an. KH. Sholeh Darat melanggar larangan ini. Beliau menerjemahkan Al-Qur’an dengan ditulis dalam huruf arab gundul (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah Belanda.

Kitab tafsir dan terjemahan Al-Qur’an ini diberi nama Kitab Faid Ar-Rahman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang.

Berkat kedalaman ilmu yang dimiliki oleh KH. Sholeh Darat, beliau telah berhasil mencetak murid-muridnya menjadi tokoh, ulama, kyai, dan para pendiri pondok pesantren. Murid-murid beliau diantaranya:

  1. KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU)
  2. KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah),
  3. KH. R. Ahmad Dahlan Tremas, seorang Ahli Falak (w. 1329 H)
  4. KH. Amir Pekalongan (w. 1357 H) yang juga menantu Kiai Shaleh Darat
  5. KH. Idris (nama aslinya Slamet) Solo
  6. KH. Sya’ban bin Hasan Semarang yang menulis artikel “Qabul al-‘Ataya ‘an Jawabi ma Shadara li Syaikh Abi Yahya, untuk mengoreksi salah satu dari salah satu bagian dari kitab Majmu’at al-Syari’ah karya Kiai Shaleh Darat.
  7. KH. Abdul Hamid Kendal
  8. KH. Tahir, penerus pondok pesantren Mangkang Wetan, Semarang
  9. KH. Sahli kauman Semarang
  10. KH. Dimyati Tremas
  11. KH. Chalil Rembang
  12. KH. Munawir Krapyak Yogyakarta
  13. KH. Dalhar Watucongol Muntilan Magelang
  14. KH. Yasin Rembang
  15. KH. Ridwan Ibnu Mujahid Semarang
  16. KH. Abdus Shamad Surakarta
  17. KH. Yasir Areng Rembang
  18. R.A. Kartini Jepara.

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

4.1 Diculik Pulang oleh Mbah Hadi Girikusumo
Ketinggian ilmu KH. Sholeh Darat tidak hanya bisa dilihat dari karya-karya monumental dan keberhasilan para santrinya menjadi para kyai besar tetapi juga bisa dilihat dari pengakuan penguasa Makkah saat KH. Sholeh Darat Darat bermukim di Makkah.

Beliau dipilih menjadi salah seorang pengajar di Makkah. Di sinilah KH. Sholeh Darat bertemu dengan Mbah Hadi Girikusumo pendiri pondok pesantren Ki Ageng Girikusumo, Mranggen, Demak, Jawa Tengah. beliau merupakan figur yang sangat berperan dalam menghadirkan KH. Sholeh Darat ke bumi Semarang.

Melihat kehebatan KH. Sholeh Darat, Mbah Hadi Girikusumo merasa terpanggil untuk mengajaknya pulang bersama-sama ke tanah air untuk mengembangkan islam dan mengajar umat Islam di Jawa yang masih awam. 

Namun karena KH. Sholeh Darat sudah diikat oleh penguasa Makkah untuk menjadi pengajar di Makkah, sehingga ajakan pulang itu ditolak. Namun Mbah Hadi nekat, KH. Sholeh Darat diculik, di ajak pulang. Agar tidak ketahuan, saat mau naik kapal untuk pulang ke Jawa, KH. Sholeh Darat dimasukkan ke dalam peti bersama barang bawaannya. Namun di tengah jalan ketahuan, jika Mbah Hadi menculik salah seorang ulama di Masjid Makkah. Akhirnya pada saat kapal merapat di pelabuhan Singapura, Mbah Hadi ditangkap.

Jika ingin bebas maka harus mengganti dengan sejumlah uang sebagai denda. Para murid Mbah Hadi yang berada di Singapura mengetahui bila gurunya sedang menghadapi masalah besar, akhirnya membantu menyelesaikan masalah tersebut dengan mengumpulkan dana iuran untuk menebus kesalahan Mbah Hadi dan menebus uang ganti kepada penguasa Makkah atas kepergian KH. Sholeh Darat. Akhirnya, Mbah Hadi dan KH. Sholeh Darat berhasil melanjutkan perjalanan dan berhasil mendarat ke Jawa.

Mbah Hadi langsung kembali ke Girikusumo, sedangkan KH. Sholeh Darat menetap di Semarang, mendirikan pesantren dan mencetak kader-kader pelanjut perjuangan Islam.

4.2 Mendirikan Pesantren
Perjalanan dakwah KH. Sholeh Darat diawali sebagai guru yang diperbantukan di pesantren Salatiyang yang terletak di Desa Maron, Kecamatan Loano, Purworejo. Pesantren ini didirikan sekitar abad 18 oleh tiga orang sufi, masing-masing KH. Ahmad (Muhammad) Alim, KH. Muhammad Alim (putra Mbah KH. Ahmad Alim), dan KH. Zain al Alim (Muhammad Zein, juga putra Mbah KH. Ahmad Alim).

Dalam perkembangan selanjutnya pesantren ini dipercayakan kepada KH. Zain al Alim. Sementara Mbah KH. Ahmad (Muhammad) Alim mengasuh sebuah pesantren, belakangan bernama Al-Iman, di desa Bulus, Kecamatan Gebang.

Adapun KH. Muhammad Alim (putra Mbah KH. Ahmad Alim) mengembangkan pesantrennya juga di Desa Maron, yang kini dikenal dengan pesantren Al-Anwar. Jadi kedudukan KH. Sholeh Darat adalah sebagai pengajar yang membantu KH. Zain al Alim (Muhammad Zein).

Pesantren Salatiyang sendiri lebih menfokuskan pada bidang penghafalan Al-Qur’an, di samping mengajar kitab kuning. Di sinilah besar kemungkinannya, KH. Sholeh Darat diperbantukan untuk mengajar kitab kuning, seperti fiqih, tafsir dan nahwu Sharaf, kepada para santri yang sedang menghafal Al-Qur’an.

Di antara santri jebolan Salatiyang adalah KH. Baihaqi (Magelang). KH. Ma’aif, Wonosobo, KH. Muttaqin, Lampung Tengah, KH. Hidayat (Ciamis), KH. Fathulah (Indramayu), dan lain sebagainya.

Tidak diketahui berapa lama KH. Sholeh Darat mengajar di Pesantren Salatiyang. Sejarah hanya mencatat, bahwa pada sekitar 1870-an KH. Sholeh Darat mendirikan sebuah pesantren baru di Darat, Semarang.

Hitungan angka ini didasarkan pada kitabnya, Al-Hikam, Yang ditulis rampung dengan menggunakan Bahasa Arab Pegon pada tahun 1289 H/1871 M. Pesantren Darat merupakan pesanten tertua kedua di Semarang setelah pesantren Dondong, Mangkang Wetan, Semarang yang didirikan oleh KH. Syada’ dan KH. Darda’, dua mantan prajurit Diponegoro. Di pesantren ini pula KH. Sholeh Darat pernah menimba ilmu sebelum pergi ke Makkah.

Selama mengasuh pesantren, KH. Sholeh Darat dikenal kurang begitu memperhatikan kelembagaan pesantren. Karena faktor inilah, pesantren Darat hilang tanpa bekas sepeninggalan KH. Sholeh Darat, pada 1903 M. konon bersamaan meninggalnya KH. Sholeh Darat, salah seorang santri seniornya, KH. Idris dari Solo, telah memboyong sejumlah santri dari Pesantren Darat ini ke Solo. KH. Idris inilah yang kemudian menghidupkan kembali pondok Pesantren Jamsaren, yang pernah didirikan oleh KH. Jamsari.

Ada versi lain yang menyebutkan bahwa pesantren yang didirikan oleh KH. Sholeh Darat bukanlah pesantren dalam arti sebenarnya, di mana ada bangunan fisik yang mendukung. Pesantren Darat hanyalah majelis pengajian dengan kajian bermutu yang diikuti oleh para santri kalong.

Ini mungkin terjadi, mengingat kedekatan pesantren Darat dengan pesantren Mangkang, dimana KH. Sholeh Darat pernah belajar di sana, bisa mempengaruhi tingkat ketawadlu’an kyai senior.

5. Teladan

5.1 Sosok Pemikir
KH. Sholeh Darat dikenal sebagai pemikir di bidang ilmu kalam. Beliau adalah pendukung paham teologi Asy’ariyah dan Maturidiyah. Pembelaannya terhadap paham ini jelas kelihatan dalam bukunya, Tarjamah Sabil Al-’Abid ‘Ala Jauhar At-Tauhid. Dalam buku ini, beliau mengemukakan penafsirannya terhadap sabda Rasulullah SAW mengenai terpecahnya umat Islam menjadi 73 golongan sepeninggal beliau, dan hanya satu golongan yang selamat.

Menurut KH. Sholeh Darat, yang dimaksud Nabi Muhammad SAW dengan golongan yang selamat adalah mereka yang berkelakuan seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan pokok-pokok kepercayaan Ahlussunah Wal jamaah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.

KH. Sholeh Darat juga selalu menekankan kepada para muridnya untuk giat menuntut ilmu. Beliau berkata “Inti sari Al-Qur’an adalah dorongan kepada umat manusia agar mempergunakan akalnya untuk memenuhi tuntutan hidupnya di dunia dan akhirat”.

Dalam Kitab tarjamah Sabil Al-‘Abid ‘Ala Jauharah Al-Tauhid, KH. Sholeh Darat menasehati bahwa, orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan sama sekali dalam keimanannya, akan jatuh pada paham dan pemahaman yang sesat.

Misalnya, paham kebatinan menegaskan bahwa amal yang diterima oleh Allah Ta ’Ala adalah amaliyah hati yang dipararelkan dengan paham manunggaling kawulo Gusti-nya Syekh Siti Jenar dan berakhir tragis pada perilaku taklid buta. Iman orang taklid tidak sah menurut ulama muhaqqiqin, demikian tegasnya.

Lebih jauh diperingatkan juga, agar masyarakat awam tak terpesona oleh kelakuan orang yang mengaku memiliki ilmu hakekat tapi meninggalkan amalan-amalan syariat lainnya, seperti shalat dan amalan fardhu lainnya. Kemaksiatan berbungkus kebaikan tetap saja namanya kebatilan, demikian inti petuah religius beliau.

Sebagai ulama yang berpikiran maju, beliau senantiasa menekankan perlunya ikhtiar dan kerja keras, setelah itu baru bertawakal, menyerahkan semuanya pada Allah SWT. Beliau sangat sedih jika ada orang yang tidak mau bekerja keras karena memandang segala nasibnya telah ditakdirkan oleh Allah SWT. Beliau juga tidak setuju dengan teori kebebasan manusia yang menempatkan manusia sebagai pencipta hakiki atas segala perbuatan. Tradisi berpikir kritis dan mengajarkan ilmu agama ini terus dikembangkan hingga akhir hayatnya.

6. Karomah
Sebagai Waliyullah KH. Sholeh Darat juga dikenal memiliki karamah. Makamnya pun menjadi tujuan ziarah banyak orang. Salah seorang wali terkenal yang suka mengunjungi makamnya adalah Gus Miek (KH. Hamim Jazuli).

Dikisahkan bahwa suatu ketika KH. Shaleh Darat sedang berjalan kaki menuju Semarang. Kemudian lewatlah tentara Belanda berkendara mobil. Begitu mobil mereka menyalip KH. Sholeh, tiba-tiba mogok. Mobil itu baru bisa berjalan lagi setelah tentara Belanda memberi tumpangan kepada KH. Sholeh Darat.

Di lain waktu, karena mengetahui pengaruh KH. Sholeh Darat yang besar, pemerintah Belanda mencoba menyogok KH. Sholeh Darat. Maka diutuslah seseorang untuk menghadiahkann banyak uang kepada KH. Sholeh, dengan harapan KH. Sholeh Darat mau berkompromi dengan penjajah Belanda.

Mengetahui hal ini KH. Sholeh Darat marah, dan tiba-tiba beliau mengubah bongkahan batu menjadi emas di hadapan utusan Belanda itu. Namun kemudian KH. Sholeh Darat menyesal telah memperlihatkan karomahnya di depan orang. Beliau dikabarkan banyak menangis jika mengingat kejadian ini hingga akhir hayatnya.

7. Karya-Karya
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya tulis besar. Tidak sedikt dari karya-karya mereka yang ditulis dengan bahasa Arab. Setelah KH. Ahmad Rifa’i dari Kalisalak (1786-1875 M) yang banyak menulis kitab yang berbahasa Jawa, tampaknya KH. Sholeh Darat adalah satu-satunya kyai akhir abad ke-19 yang karya tulis keagamaanya berbahasa Jawa.

Adapun karya-karya KH. Sholeh Darat yang sebagiannya merupakan terjemahan, berjumlah kurang lebih dari 13 buah, yaitu:

  1. Majmu’at Syari’at Al-Kafiyat li Al-Awam. Kitab ini khusus membahas persoalan fiqih yang ditulis dengan bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon.
  2. Munjiyat Metik Sangking Ihya’ Ulum Al-Din Al-Ghazali. Sebuah kitab yang merupakan petikan dari kitab Ihya’ Ulum Al-Din juz 3 dan 4.
  3. Al-Hikam karya Ahmad bin Athailah. Kitab ini merupakan terjemahan dalam bahasa Jawa.
  4. Lathaif Al-Thaharah. Kitab ini berisi tentang hakikat dan rahasia shalatpuasa dan keutamaan bulan muharram, Rajab dan Sya’ban. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa.
  5. Manasik Al-Haj. Kitab ini berisi tuntunan atau tatacara ibadah haji.
  6. Pasolatan. Kitab ini berisi hal-hal yang berhubungan dengan shalat (tuntunan shalat) lima waktu, kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa dengan Huruf Arab pegon.
  7. Sabillu ‘Abid terjemahan Jauhar Al-Tauhid, karya Ibrahim Laqqani. Kitab ini merupakan terjemahan berbahasa Jawa.
  8. Minhaj Al-Atkiya’. Kitab ini berisi tuntunan bagi orang orang yang bertaqwa atau cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
  9. Al-Mursyid al-Wajiz. Kitab ini berisi tentang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu Tajwid.
  10. Hadis Al-Mi’raj
  11. Syarh Maulid Al-Burdah
  12. Faidh Al-Rahman. Kitab ini ditulis pada 5 Rajab 1309 H/1891M. kitab ini diterbitkan di Singapura.
  13. Asnar Al-Shalah

Hampir semua karya KH. Sholeh Darat ditulis dalam bahasa Jawa dan menggunakan huruf Arab (Pegon atau Jawi), hanya sebahagian kecil yang ditulis dalam bahasa Arab. Dari 13 kitab karya KH. Sholeh Darat berhasil dikumpulkan.

Sebagian kitab tersebut dicetak di Bombay (India) dan Singapura. Hingga kini, keturunan KH. Sholeh Darat terus melakukan pencarian dan penelusuran kitab-kitab tersebut ke masing-masing keluarga keturunan KH. Sholeh Darat di Jepara, Kendal, bahkan sampai ke negara-negara Timur Tengah.

Sebelumnya artikel ini dibuat pada tanggal 23 April 2021, dan diedit kembali dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 18 Desember 2023

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya