Hukum Bercumbu dengan Istri yang Sedang Haid

 
Hukum Bercumbu dengan Istri yang Sedang Haid
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam kehidupan rumah tangga, antara suami dan istri secara resmi halal melakukan hubungan badan atau bersetubuh. Bahkan dalam konteks ini keduanya mendapatkan pahala. Namun demikian, ada momen tertentu yang bisa menghalangi keduanya dalam melakukan hubungan badan antara suami dan istri, bahkan bisa sampai ketentuan hukum haram. Seperti saat dalam keadaan berpuasa Ramadhan atau ketika istri sedang dalam keadaan haid.

Tetapi, ketika hubungan badan suami istri yang halal ini terhalang oleh satu keadaan tertentu, maka ada satu solusi yang bisa menjadi alternatif agar tidak terjerembab di dalam perbuatan yang diharamkan seperti melakukan zina dengan orang lain.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa berhubungan intim antara suami dan istri merupakan kebutuhan yang tidak bisa dipungkiri. Karena itu, ketika seharusnya satu hubungan saumi istri yang sebelumnya telah resmi itu dianjurkan, tapi dalam momen tertentu justru haram, maka dalam kondisi ini diperbolehkanlah satu aktivitas seksual hanya sebatas untuk kepuasan tanpa adanya hubungan langsung kelamin suami dan istri. Dalam bahasa fikih aktivitas ini disebut istimta’.

Perlu dicatat terlebih dahulu bahwa ketika istri sedang haid, haram melakukan hubungan seksual secara langsung memasukkan dzakar (penis) ke dalam farji (vagina) istrinya. Tetapi, dalam kondisi ini, suami bisa memilih alternatif melakukan istimta’ atau bercumbu rayu dengan istri tanpa memasukkan dzakar ke dalam farji istri. Meski diperbolehkan, harus diperhatikan pula koridor atau batasannya.

Mencumbu istri di sekitar antara pusar dan lutut selain farji istri yang sedang haid, dalam pandangan ulama, terdapat khilaf terkait hukumnya. Ada ulama yang berpandangan membolehkan dan ada pula yang mengharamkan.

Istimta’ dengan anggota tubuh istri yang sedang haid antara pusar dan lutut (baina suroh wa rukbah) adalah boleh asal tidak sampai melakukan jima’ (hubungan seksual dengan memasukkan dzakar ke dalam farji). Keterangan ini bisa dilihat di dalam Kitab Al-Iqna karya Imam Mawardi:

وَيَحَرُمُ بِالْحَيْضِ ثَمَانِيَةُ أَشْيَاءَ اَلصَّلَاةُ وَالصِّيَامُ وَالْإِعْتِكَافُ وَالطَّوَافُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ وَحَمْلُ الْمُصْحَفِ وَدُخُوْلُ الْمَسْجِدِ وَوَطْءُ الزَّوْجِ وَلَا تَحْرُمُ مُؤَاكَلَةُ الْحَائِضِ وَلَا الْإِسْتِمْتَاعُ بِمَا دُوْنَ الْفَرْجِ مِنْهَا

Artinya: "Diharamkan melakukan delapan hal ini sebab sedang dalam keadaan haid, yakni sholat, puasa, i’tikaf, thawaf, membaca Al-Quran, membawa Mushaf, masuk masjid dan bersenggama. Tetapi tidak haram makan bersama seorang wanita yang sedang haid, dan tidak haram pula bercumbu rayu menikmati anggota badan istrinya, selain farji." (Al-Iqna fil Fiqh As-Syafi'I, hlm. 27-28).

Dalam keterangan lain, menurut ‘ibaroh (uraian) yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi di dalam Kitab Roudlatut Tholibin, juz 1 hlm. 136 ditegaskan terdapat tiga pendapat, dan yang paling diunggulkan oleh beliau adalah pendapat yang menyatakan tentang keharamannya.

اَلضَّرْبُ الثَّانِي اَلْاِسْتِمْتَاعُ بِغَيْرِ الْجِمَاعِ وَهُوَ نَوْعَانِ: أَحَدُهُمَا اَلْاِسْتِمْتَاعُ بِمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَالْأَصَحُّ اَلْمَنْصُوْصُ أَنَّهُ حَرَامٌ وَالثَّانِي لَا يَحْرُمُ وَالثَّالِثُ إِنْ أَمِنَ عَلَى نَفْسِهِ اَلتَّعَدِّي إِلَى الْفَرْجِ لِوَرِعٍ أَوْ لِقِلَّةِ شَهْوَةٍ لَمْ يَحْرُمْ وَإِلَّا حَرُمَ وَحَكَى الْقاَضِي قَوْلًا قَدِيْمًا، اَلنَّوْعُ الثَّانِي مَا فَوْقَ السُّرَّةِ وَتَحْتَ الرُّكْبَةِ وَهُوَ جَائِزٌ أَصَابَهُ دَمُّ الْحَيْضِ أَمْ لَمْ يُصِبْهُ وَفِي وَجْهٍ شَاذٍ يَحْرُمُ الْاِسْتَمْتَاعُ بِالْمَوْضِعِ الْمُتَلَطَّخِ بِالدَّمِ

Artinya: “Ismtimta’ (cumbu rayu) tanpa melakukan jima’ atau hubungan badan (memasukkan dzakar ke dalam farji) itu terdapat dua macam ketentuan. Yakni, istimta’ di antara (bagian tubuh) pusar (istri) dan lututnya. Dalam hal ini, pendapat pertama yang paling diunggulkan, yakni sebagaimana terdapat di dalam nash yaitu diharamkan. Sedangkan, pendapat yang kedua itu tidak haram dan pendapat yang ketiga adalah, jika seseorang itu yakin tidak melewati batas sampai ke farji karena bisa menjaganya atau karena lemah syahwat, maka tidak haram, tetapi jika kemungkin itu tidak ada, maka hukumnya menjadi haram. Sedangkan ketentuan yang kedua adalah istimta’ dengan bagian tubuh di atas pusar dan di bawah lutut. Dalam kententuan ini, hukum istimta’ adalah diperbolehkan, baik bagian tubuh tersebut bersih dari darah haid ataupun terkena darah haid. Tetapi ada pendapat yang syadz (jarang dipakai) mengatakan bahwa haram hukumnya melakukan istimta’ dengan bagian tubuh yang terkena cipratan darah haid.”

Jadi bisa dipahami bahwa dalam konteks ini, istimta’ atau cumbu rayu yang cenderung diharamkan saat istri sedang haid itu adalah menikmati bagian tubuh antara pusar sampai lutut. Sedangkan, kalau tidak di bagian ini tentu diperbolehkan dan tidak menjadi suatu masalah.

Keterangan akhir ini sebagaimana terdapat di dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berikut ini:

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ بَكَّارٍ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ - يَعْنِى ابْنَ مُحَمَّدٍ - حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا الْعَلاَءُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ حَرَامِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَحِلُّ لِى مِنَ امْرَأَتِى وَهِىَ حَائِضٌ، قَالَ لَكَ مَا فَوْقَ الإِزَارِ وَذَكَرَ مُؤَاكَلَةَ الْحَائِضِ أَيْضًا

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Harun bin Muhammad bin Bakar, telah menceritakan kepada kami Marwan, yakni Ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-Haisam bin Humaid, telah menceritakan kepada kami 'Ala bin Al-Haris, dari Haram ibn Hakim, dari pamannya, bahwasanya dia bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam tentang apa yang dihalalkan bagi saya terhadap istri saya yang sedang haid. Beliau menjawab: “Kamu boleh melakukan apa yang di atas sarung (kain). Dan mengatakan pula boleh makan bersama perempuan yang sedang haid.”  (HR. Abu Dawud).

Semoga bermanfaat. Wallaahu 'Alamu bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 07 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim