66 Tahun Silam, Hari Duka Nahdliyin dan Rakyat Indonesia

 
66 Tahun Silam, Hari Duka Nahdliyin dan Rakyat Indonesia

LADUNI.ID, Jakarta - "KH. A. Wahid Hasyim bekas Menteri Agama telah meninggal dunia dalam suatu kecelakaan mobil di antara Cimahi dan Bandung. Jenazahnya sedang diusahakan untuk diangkut ke Jakarta dengan ambulance," demikian siaran radio pada 19 April 1953 itu mengumandangkan kabar duka ke seantero Nusantara.

Seperti tersambar petir di siang bolong. Jutaan rakyat, terutama warga Nahdliyin, berduka atas wafatnya sang pemimpin yang berusia relatif muda itu. Ratusan ucapan belasungkawa dan ribuan pentakziyah membanjiri rumah duka.

Dua buah ambulance mengantarkan jenazah Kiai Wahid beserta sang sopir, Argo Sucipto, dari Rumah Sakit Boromeus, Bandung menuju ke rumah duka di Taman Matraman, Jakarta. Ratusan tokoh politik, pejabat, ulama, utusan organisasi masyarakat hingga kedutaan asing berjubel untuk menghormat terakhir kalinya pahlawan bangsa itu.

Tak sampai di situ, keesokan harinya, kembali para pentakziyah memadati rumah duka. Mereka hendak turut mengantarkan jenazah ke bandara Kemayoran yang akan menerbangkannya ke Surabaya, sebelum dikebumikan di Jombang. Mengendarai mobil bermerek Buick bercat hitam penuh dengan karangan bunga, Kiai Wahid diantar ke bandara. Selain barisan polisi, juga turut mengawal barisan Pandu Ansor dangan puluhan mobil sepanjang jalan.

Setibanya di bandara, tak kalah ramainya. Ada ratusan orang yang memadati Lapangan Terbang Kemayoran. Dengan pesawat charter GJA, tepat pukul 08.00 jenazah diterbangkan ke Lapangan Terbang Perak, Surabaya. Di sana, puluhan pejabat, tokoh agama, dan keluarga telah menyambut.

Dengan ambulance milik Kodam Brawijaya, jenazah dibawa ke Tebuireng Jombang. Tak kurang dari 2 KM, panjang pengiring ambulance. Mulai dari polisi, keluarga, Pandu Ansor dan sejumlah masyarakat yang turut serta.

Sepanjang jalan ribuan orang berdiri untuk menghormat. Sempat beberapa kali, iring-iringan terpaksa berhenti. Ratusan orang memaksa untuk menahlili almarhum. Seperti halnya, saat tiba di depan Masjid Krian, Mojokerto. Seandainya tak ditolak, iring-iringan tersebut, bisa larut tiba di Jombang. Betapa tidak, hampir di setiap kecamatan yang dilewati ada permohonan untuk membacakan doa bagi almarhum. Betapa besar cinta rakyat pada pemimpinnya tersebut.

Pukul 02.00 siang, iring-iringan jenazah tiba di Pesantren Tebuireng Jombang. Tak kurang dari dua jam orang-orang melakukan salat jenazah di Masjid Tebuireng. Satu rombongan usai, digantikan rombongan yang lain. Begitu terus berulang dari ribuan pentakziyah yang datang dari antero Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Meski proses pemakaman telah berakhir pada pukul 05.00 sore, namun gelombang pentakziyah seolah tak mau berhenti. Ada ratusan mobil maupun truk yang silih datang. Ada yang dari Madura, Bali dan daerah lainnya.

"KH. A. Wahid Hasyim seorang yang berpengaruh, masih banyak cita-cita yang akan dikaryakannya, masih membumbung tinggi hikmah dan azamnya untuk memperbaiki nasib umat, masih muda usianya dan dalam keadaan sehat serta segar bugar, kini ia telah beralih ke alam baka untuk menghadap Robbu-l-Jalil," demikian Aboebakar Atjeh mengakhiri tulisannya saat menggambarkan wafatnya Kiai Wahid dalam biografinya yang tebal itu, Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim.


Tulisan ini ditulis oleh Ayung Notonegoro