Meugang dalam Titah Raja Aceh

 
Meugang dalam Titah Raja Aceh

LADUNI.ID, SEJARAH- Pada tiga hari menjelang puasa bulan Ramadhan, Raja Aceh memberi titah kepada sekalian Uleebalang dan petinggi negeri, menyembelih kerbau dan sapi, dagingnya dibagikan kepada penduduk sebagai bekal menghadapi puasa.

Ketiga hari ini disebut sebagai hari makmeugang atau hari meugang puasa. Hingga kini tradisi ini masih dipertahankan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hal yang sama juga akan dilakukan raja pada hari terakhir puasa atau sehari menjelang hari raya idul fitri.

Pemotongan hewan secara massal untuk rakyat pada akhir Ramadhan ini disebut sebagai meugang uroe raya pitrah (meuganghari raya Idul Fitri). Begitu juga pada penyambutan hari raya Idul Adha, pemotongan hewan sehari sebelum hari raya ini dinamai meugang uroe raya keureubeuen(hari raya qurban).

Aturan tentang kewajiban Uleebalang dan petinggi negeri Aceh untuk menyembelih hewan bagi penduduk pada hari meugang, diatur dalam qanun Aceh. Salah satu manuskripnya dengan judul Adat Aceh, disimpan di Manuscript India Office Library dalam Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal – Land en Volkenkunde, Jilid XXIV. s- Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1958.

Tradisi meugang ini pula yang harga daging sapi dan kerbau di Aceh malah. Termahal di Indonesia, malah di dunia. Tadi pagi, Senin, 14 Mei 2018, menjelang dua hari Ramadhan, harga daging di Tapaktuan, Aceh Selatan mencapai Rp 200 ribu per kilogram. Sementara di Banda Aceh masih berkisar antara Rp 130 ribu hingga Rp 140 ribu. Padahal secara nasional harga daging resmi hanya sekitar Rp 85 ribu hingga Rp 102 ribu saja.

Secara ekonomi, tradisi meugang di Aceh, membuat pedagang daging sapi dan kerbau memperoleh keuntungan yang melimpah. Malah di beberapa daerah di Aceh, untuk memenuhi kebutuhan daging meugang, harus didatangkan sapi dari luar daerah.

Semaraknya hari meugang ini pula yang kemudian oleh sebagian orang diplesetkan dari kata makmeugang menjadi makmur gang. Hari di mana para pedagang daging di gang-gang pasar memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.

Kembali ke sejarah, bagi Raja Aceh dalam Qanun Aceh dijelaskan bahwa, meugangsebelum bulan puasa diniatkan sebagai wujud rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan, bulan penuh berkah, rahmat, magfirah dan ampunan. Sementara meugang sehari sebelum hari raya Idul Fitri dilaksanakan sebagai wujud perayaan setelah sebulan melaksanakan ibadah puasa.

 Begitu juga dengan meugang sehari sebelum hari raya Idul Adha, dilaksanakan sebagai ungkapan terima kasih atas masih adanya kesempatan untuk berkurban di hari raya raya.

Selain itu, dalam setiap perayaan meugang, yang dilaksanakan tiga kali dalam setahun, menjadi momentum bagi Raja Aceh bersama para Uleebalang dan petinggi negeri untuk bersedekah kepada rakyatnya, menyatuni anak yatim dan fakir miskin, agar memiliki bekal makanan menyambut puasa Ramadhan.

Seiring perkembangan zaman, kini momentum meugang juga sering dijadikan sebagai ajang kampanye para politisi. Apa lagi menjelang pemilihan umum, baik pemilu legislatif, maupun pemilihan kepala daerah.

Bila dulu meugang dilakukan oleh raja dan petinggi negeri untuk menyantuni rakyatnya, kini berbalik menjadi momen “jual kecap” untuk merebut kekuasaan.

**Iskandar Norman, dikutip steemitnya.