Mendatangkan Guru Asing, Pentingkah?

 
Mendatangkan Guru Asing, Pentingkah?

LADUNI. ID, KOLOM-BEBERAPA pekan terakhir masyarakat sempat menang­gapi secara negatif pernyataan Men­teri Koordinator Bidang Pem­ba­ngunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani da­lam aca­ra Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (9/5/2019) mengenai rencana pemerintah untuk mendatangkan guru-guru asing ke Indonesia.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Ikatan Guru In­do­nesia (IGI) menolak rencana terse­but ­dengan alasan men­datangkan gu­ru asing bukan cara yang tepat untuk mening­katkan kualitas pendidi­kan (Pikiran Rakyat Online, 10/5/2019). 

Warganet juga berharap pemerintah dapat mengeva­lua­si kem­bali kebijakan ini dan menentukan prioritas yang lebih tepat (Rakyat Merdeka Online, 11/5/2019).

Tanggapan negatif masyarakat kemudian dijawab oleh pemerintah melalui pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muha­djir Effendy (14/5/2019) bahwa guru-guru asing yang diundang akan berperan sebagai pemberi pelatihan (training of trainers/ToT) dan bukan untuk mengajar di seko­lah-sekolah.

Mendatangkan tenaga pengajar ahli tersebut dinilai oleh pe­­merintah akan meningkatkan efisiensi pembiayaan pelatihan sumberdaya manusia Indonesia tanpa harus mengirim mereka ke luar negeri. Pernyataan ini justru sangat kontradiktif dengan program pemerintah lainnya. Baru-baru ini, peme­rintah mengi­rim 1.200 guru ke luar negeri (Republika Online, 27/2/2019).

Pemerintah juga masih menargetkan akan mengirim 7.000 gu­ru untuk pelatihan ke luar negeri (Tribun News Online, 9/4/2019). 

Rencana dan program yang dilaksanakan oleh peme­rin­tah sama sekali tidak mengefisiensikan biaya dan belum memberikan jalan keluar yang tepat sasaran terhadap rendah­nya kualitas pendidikan di Indonesia.

Fakta di lapangan menunjukkan ada banyak masalah di bi­dang pendidikan yang memerlukan pena­nganan lebih men­de­sak daripada mendatangkan tenaga kerja ahli luar negeri ke In­donesia untuk me­laksanakan ToT. 

Pertama, gedung sekolah yang rusak dan ambruk tiba-tiba masih terjadi di berbagai wila­yah Indonesia. Dalam laporan Detik Online (2/5/2019)  ditun­jukkan retaknya dinding dan lan­tai serta jebolnya eter­nit ge­dung SD Jabungan di Semarang.

Akcaya News (27/04/2019) juga melaporkan runtuhnya bangunan SMPN 22 di Pontianak. Kedua berita tersebut hanya porsi kecil dari masih banyaknya gedung-gedung sekolah di berbagai pelosok tanah air dengan kondisi yang sama. 

Kondisi gedung sekolah yang rusak dan kualitas bangunan yang buruk dapat menjadi ancaman bagi keselamatan warga sekolah.

Kedua, metode belajar dan eva­luasi berorientasi higher order thinking and skills (HOTS) yang gencar digaungkan masih sebatas retorika. HOTS tidak akan terukur secara objektif jika standar pencapaian prestasi belajar hanya didasarkan pada nilau Ujian Sekolah dan Ujian Nasional. Ketiga, sumber daya ma­nusia Indonesia yang berkualitas unggul belum diapre­siasi dan diberdayakan secara maksimal. 

Saat sekarang saja jum­lah alumni beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ­per 31 Januari 2019 menurut Menteri Keuangan Sri Mul­yani mencapai 7.108 orang.

Selain LPDP, di Kementerian Agama ada program beasiswa 5000 doktor. Masih banyak lagi beasiswa-beasiswa lain yang juga menghasilkan tenaga-tenaga ahli. Dari penerima beasiswa tersebut tidak sedikit yang tamatan luar negeri. 

Alumni beasis­wa ini merupakan agen sosial yang dapat diaktifkan untuk menjadi inspirator bagi guru dan siswa. Keterampilan yang me­­­re­ka miliki akan setara dengan kualitas guru-guru dan te­na­ga ahli yang rencananya akan didatangkan dari luar negeri.

***Dr. Hery Yanto The, S.Sos., M.M