Problematika Guru Asing dan Solusinya

 
Problematika Guru Asing dan Solusinya

LADUNI. ID, KOLOM- Tidak dapat dipungkiri, masih banyak kondisi di  lapang­an yang dihadapi bangsa kita di bidang pendidikan. Sebut saja misalnya perdebatan mengenai kekurangan dan kelebihan suplai guru, pengangkatan guru honorer yang masih terhambat birokrasi, pembayaran gaji dan tunjungan guru yang terlambat, serta korupsi dana pendidikan.

Mengidentifikasi masalah-masalah tersebut dalam jumlah besar tidak akan ada man­faat­nya. Memberikan jalan keluar dan tindakan nyata akan lebih ber­manfaat.

Kita harus mengapresiasi gerakan sosial dalam masyarakat yang sudah menjalankan tindakan-tindakan progresif dan ino­va­tif untuk membantu penyelesaian masalah tersebut.

Butet Manurung, misalnya, pada tahun 2003 sudah mendirikan orga­nisasi nonprofit bernama Sokola yang mengajak para relawan untuk tinggal dan mengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Ridwan Sururi berkeliling dari sekolah-sekolah dengan kuda yang membawa buku-buku yang dapat dipinjam untuk mem­pro­mosikan kebiasaan membaca.

Kegiatan ini oleh Ridwan diberi nama Kuda pustaka. 1000 guru.net menjadi wadah peng­hubung antara sekolah-seko­lah dengan para mahasiswa pascarjana yang sedang kuliah di luar negeri untuk mengada­kan telekonferensi. Selain itu, organisasi ini juga menerbitkan majalah pendidikan bulan bagi siswa.

Gerakan-gerakan so­sial ­ini ­ten­tunya perlu ditunjang dengan pro­gram-program pemerintah yang lebih berkualitas daripada sekedar mengimpor guru. Ada beberapa alternatif program yang dapat dilaksanakan.

Pertama, memfasilitasi sekolah mem­ba­ngun kemitraan dengan institusi di luar sekolah seba­gai tempat bagi siswa untuk menjalankan service learning. Service learning merupakan salah satu bentuk metode pembe­lajar­an berdasarkan pengalaman langsung.

Menurut Profesor Thomas Ehrlich dari Stanford Graduate School of Education, dengan melakukan service learning siswa da­pat mempraktikan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di sekolah ke dalam masyarakat dan sekaligus membantu masyarakat yang dilayani.

Service learning dapat dijadikan se­ba­gai model evaluasi keberhasilan pen­­didikan yang bertu­juan pada HOTS.

Kedua, pengembangan sistem take and give bagi penerima bea­siswa maupun penerima fasilitas pelatihan ke luar negeri. Se­lama ini, ketika penerima beasiswa dan fasilitas pelatihan luar negeri kembali dari mengikuti program pelatihan, mereka hanya diminta untuk memberikan laporan kegiatan selama berada di luar negeri. Sistem laporan seperti ini tidak segera di­rasakan sebagai bentuk transfer ilmu pengetahuan.

Transfer ilmu pengetahuan bisa segera dilakukan saat cendekiawan ini diminta menuntaskan kewajiban sejumlah jam melaksanakan pe­ngabdian kepada masyarakat.

Syarat peng­abdian kepada masyarakat tersebut harus dicantumkan sebagai salah satu syarat penerimaan beasiswa. Penerima beasiswa selama masih dalam masa studi sudah harus dimintai meren­ca­nakan bentuk transfer ilmu pengetahuan yang bisa dilakukan selama pengabdian masyarakat yang terjadwal.

Ketiga, revitalisasi penyelenggaran pelatihan tenaga kepen­didikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Program-program studi yang ada di LPTK perlu dievaluasi kembali dan ditentukan sesuai kebutuhan pengajar di wilayah operasional LPTK. 

Pembelajaran dengan pengalaman lang­sung juga perlu dilakukan dengan memberikan penugasan praktik lapangan dalam porsi yang lebih besar.

Program pendidikan LPTK su­dah saatnya dikembangkan se­perti program-program pelatihan vokasional. Para calon guru perlu diberi porsi lebih besar untuk mengalami langsung kon­disi pendampingan siswa dalam proses belajar di seko­lah-seko­lah maupun di lembaga pendidikan informal.

Oleh sebab itu mata kuliah berbasis praktikum ha­rus mendapat porsi yang lebih ba­nyak daripada seminar atau kuliah di dalam kampus.

Pengobatan terhadap kondisi pendidikan kita memerlukan resep yang tepat. Mengundang tenaga pendidik dan pelatih asing sama seperti memberikan resep yang keliru kepada pa­sien.

Kita memiliki sumber daya manusia yang sangat memadai untuk melakukan transfer ilmu pengetahuan baru. Sumber daya manusia tersebut berada di berbagai bidang keahlian dan ter­sebar di berbagai lembaga dan organisasi kemasya­rakatan.

Me­reka memang bukan guru-guru di sekolah, tetapi mereka akan siap dan dapat diandalkan untuk menjadi guru-guru di dalam kehidupan bermasyarakat. ***

***Dr. Hery Yanto The, S.Sos., M.M