Robohnya Ramadhan Kami

 
Robohnya Ramadhan Kami

LADUNI.ID - Ramadhan kali ini tercoreng oleh aksi kerusuhan dan kekerasan massa yang memicu jatuhnya korban jiwa. Spiritualitas Ramadhan sebagai bulan penuh berkah dan ampunan Tuhan yang semestinya memancarkan aura kekhusyukan dan kekhidmatan beribadah ternyata tidak mampu meredam anarki dan amuk massa dari sejumlah pihak yang menolak hasil pemilu.

Akibatnya, sakralitas Ramadhan dikotori oleh profanitas hasrat politik-kekuasaan yang telah menempatkan ideologi menang-kalah sebagai persoalan hidup-mati.

Persoalannya, mekanisme hukum yang tersedia untuk menyelesaikan sengketa pemilu telanjur dianggap oleh pihak tertentu sebagai bagian dari political gimmick semata. Akibatnya, wacana people power untuk mengembalikan kedaulatan rakyat dipercaya sebagai satu- satunya jalan menumbangkan kebatilan dan kezaliman penguasa.

Namun, apa pun alasannya, anarkisme dan kerusuhan massa yang dapat mengganggu ketertiban umum harus ditindak tegas dalam bingkai penegakan hukum (law enforcement) yang adil, beradab, dan manusiawi.

Agitasi dan provokasi

Awalnya adalah ketidakdewasaan sejumlah elite dalam menyikapi hasil kontestasi politik. Patut disayangkan, sejumlah elite justru menjadi pemantik—secara langsung ataupun tidak langsung—bagi meletusnya aksi kerusuhan. Alih-alih menyuarakan keteduhan dan kedamaian, sejumlah elite justru memperkeruh suasana dengan serangkaian lontaran- lontaran kalimat yang provokatif dan agitatif melalui media sosial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kematangan dan kedewasaan berdemokrasi di kalangan elite kita masih jauh panggang dari api.
Kedewasaan bersikap para elite semestinya terefleksikan dalam kesadaran dan keberterimaan mereka atas demokrasi sebagai the only game in town. Elite politik yang dewasa tentu saja memahami sepenuhnya adagium ini dengan segala integritas dan konsekuensinya. Mereka semestinya menerima sepenuhnya prinsip-prinsip berdemokrasi yang sehat, seperti fair play, taat asas, penegakan hukum, keadilan, dan semacamnya.

Konsekuensinya, pengakuan atas kemenangan dan kekalahan dalam kontestasi politik merupakan sebuah kelumrahan belaka. Selain itu, peranti demokrasi harus dimanfaatkan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa kontestasi politik.

Persoalannya, sebagian elite politik kita telah gagal memaknai dan mentransformasi trilogi nilai demokrasi—sebagaimana digagas Amartya Sen—sebagai nilai instrumental, nilai intrinsik, dan nilai konstruktif. Sebagian besar elite kita baru berhenti pada nilai instrumental demokrasi; demokrasi sebagai alat untuk meraih tujuan (baca: kekuasaan).

Sementara dua nilai demokrasi lainnya, nilai intrinsik dan nilai konstruktif, masih menggantung di angan-angan. Oleh karena itu, kita perlu merevitalisasi kembali makna dan fungsi demokrasi dalam kerangka trilogi nilai yang utuh dan saling terkait satu sama lain.

Dalam konteks ini, para elite perlu menyadari bahwa pernyataan sikap dan tindakan mereka merupakan investasi jangka panjang yang berimplikasi serius dalam proses demokrasi.

Pilihan diksi yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip berdemokrasi hanya akan menstimulasi dan menginspirasi bagi lahirnya penolakan-penolakan atas proses demokrasi di kalangan akar rumput. Kata pepatah Jawa, sapa nandur bakal ngunduh (siapa menanam bakal memanen). Inilah saatnya para elite menyadari kesalahannya atas serangkaian pernyataan yang membentuk opini publik—dan telah dilontarkan sejak lama—bahwa pelanggaran dan kecurangan pemilu bersifat masif, terstruktur, dan sistematis.

Jebakan eksoterisme

Yang patut disayangkan, aksi penolakan atas hasil pemilu yang berujung pada anarki dan kerusuhan terjadi saat sebagian besar mereka yang terlibat sedang menjalankan ibadah puasa. Terlebih lagi, massa semakin beringas menghadapi aparat keamanan ketika argumentasi jihad melawan kebatilan sengaja diembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Di sini terlihat jelas betapa nalar agama dengan mudahnya diseret ke dalam pusaran kontestasi politik-kekuasaan. Pertanyaannya: quo vadis spiritualitas Ramadhan?

Inilah akibatnya jika Ramadhan masih dipahami sebatas urusan fiqh-eksoteris semata: halal-haram, sah-batal, syarat- rukun, dan berbagai dimensi legal-simbolik lain. Pesan-pesan spiritual Ramadhan tidak mampu ditransformasikan menjadi kebajikan publik (civic virtues) yang mengatur kehidupan bersama atas dasar prinsip keadilan, toleransi, taat hukum, harmoni, kedamaian, empati sosial, dan semacamnya. Kebanyakan dari mereka masih memaknai serangkaian ibadah Ramadhan sebatas sebagai ritual offering yang dipersembahkan untuk Tuhan.

Padahal, Tuhan tidak membutuhkan apa pun dari persembahan manusia; manusialah yang membutuhkan Tuhan. Mereka alpa bahwa target utama restorasi Ramadhan adalah si pelaku itu sendiri. Jika dilakukan secara benar dan sepenuh jiwa, Ramadhan menjadi madrasah utama dalam menenggelamkan segala bentuk keakuan (selfish gene) yang menegasikan sang liyan sekaligus menumbuhkan sifat-sifat altruistik, produktif dan konstruktif yang ada dalam setiap pribadi pelakunya. Di sinilah ibadah Ramadhan memiliki fungsi detoksifikasi eksistensial sekaligus peremajaan nilai-nilai kebajikan bersama.

Esoterisme Ramadhan

Jika diderivasi secara benar, ibadah Ramadhan memiliki nilai-nilai esoteris dalam rangka membentuk karakter pribadi yang saleh secara individual dan publik-sosial sekaligus. Menahan lapar, dahaga, dan tidak berhubungan seks di siang hari menyiratkan ketaatan mutlak atas perintah atau aturan Tuhan.

Menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa bermakna mendisiplinkan diri untuk tidak melakukan berbagai bentuk pelanggaran. Puasa juga mengajarkan fair play melalui dispensasi pembatalan puasa atas alasan-alasan yang dibenarkan secara syar’i dengan tetap menggantinya di lain hari.

Meminjam Frithjof Schuon dalam karyanya, Esoterism as Principle and
as Way (1981), di dalam setiap ibadah terkandung dimensi esoteris yang berfungsi memperkaya, mengasah, dan mengultivasi jiwa pelakunya. Dengan Ramadhan semestinya aspek kemanusiaan umat Islam semakin matang, dewasa, dan sempurna. Kekayaan jiwa menjadi klimaks sekaligus episentrum dari segala bentuk peribadatan manusia.

Puncak dari menifestasi kekayaan jiwa ini tecermin dari profil takwa (muttaqin) sebagai tujuan puasa yang didefinisikan oleh Fazlur Rahman (1981) sebagai terkondisinya jiwa manusia dari berbagai karakter jahat yang dapat merusak atau membahayakan diri serta lingkungannya.

Meski demikian, dengan esoterisme Ramadhan bukan berarti eksoterisme menjadi tidak penting; keduanya harus menjadi satu tarikan napas yang sama. Jika eksoterisme laksana baju yang menutupi aurat tubuh manusia, esoterisme berperan menanamkan kesejatian manusia dalam pengertiannya yang paripurna (insan kamil).

Pembentukan kesejatian manusia berlangsung secara simultan, baik di tingkat individual maupun publik-sosial. Hanya dengan cara demikian, pancaran keindahan Ramadhan akan tercipta dan hasrat untuk melakukan kerusakan serta kejahatan kemanusiaan dapat dicegah dengan sendirinya.

Oleh: Masdar Hilmy

Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Tulisan ini juga dimuat di harian Kompas 25 Mei 2019

 

 

Tags