Hijrah, Artis, dan Syar'i yang Kekinian

 
Hijrah, Artis, dan Syar'i yang Kekinian

Oleh RIFQIEL ASYIQ

LADUNI.ID, Jakarta - Hijrah bukan trend yang kemudian akhirnya dikomoditi. Jangan sampai gejala ini dimaknai oleh sebagian kita sebagai sebuah panggung besar yang esensinya berubah menjadi sebuah hijrah ekonomi.

Emang ada?

Lihat saja di sekliling kita. Banyak sekali trend-trend baru selebrasi kostum hijrah bertebaran, dari mulai hijab syar'i, gamis syar'i, mukenah syar'i dan lain-lain. Hijab syar'i dan sejenisnya bukan berarti menjadi sebuah konsensus dikatakan sebagai jalan syar'i. Hijab syar'i ya hijab bukan produk syar'i.

Untuk melabelinya sebagai syar'i butuh proses penafsiran panjang kali lebar kali tinggi. Alangkah lebih eloknya jika terang-terangan bahwa istilah syar'i adalah bahasa marketing. Tapi, sekali lagi bahwa konsensus marketing ini dibangun dengan bumbu narasi agama yang bagi kalangan umum ini menjadi sebuah kesepekatan secara eksklusif bahwa dengan menggunakan embel-embel syar'i mereka sedang berhijrah, sedang menuju surga.

Puncaknya: "Ukhti, semoga antum mendapat hidayah menggunakan pakaian yang syar'i sesuai syariat islam."

Sekilas ini baik, padahal misorientasi!

Diakui atau tidak, kurang lebih lima tahun belakangan ini tradisi nusantara digerus secara masif dengan budaya arabisme. Ya arabisme, bukan islamisme.

Islam berkembang dengan mengikuti tradisi lokalitas, bahkan beberapa terkesan menyalahi narasi nash secara tekstualis. Namun sadarilah, bahwa berbicara tafsir bukanlah membahas terjemah nash secara teks book thinking. Tapi, kontekstualisasinya tidak begitu. Misal ayat ini:

 ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك الكافرون

Terjemah bebasnya; "Menggunakan hukum Pancasila dan UUD adalah kafir."

Apa iya mau kita di Indonesia ini dianggap kafir? Nyatanya tidak sesederhana itu.

Kembali ke Hijrah

Ketika hijrah dimaknai proses menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya pasti kita semua sepakat. Hijrah hari ini dimaknai sebagai selebrasi kostum, menggunakan bahasa Arab dasar, dan ikut kajian liqo.

Sampai di situ menurut saya masih aman, sialnya adalah karena idiom hijrah ini di-rolemodeli oleh para artis sehingga settingan dakwah terutama di daerah urban macam Jakarta juga didominasi oleh mereka.

Jika artisnya sekelas alm. Uje, UYM dan sejenisnya yang memang punya latar belakang pendidikan agama yang bersambung sanadnya saya rasa baik, tapi sekelas artis cetakan Liqo kemudian diberi panggung saya rasa ini masih jauh dari harapan standar prioritas. Alih-alih sedang berdakwah yang mengharuskan mempunyai standar disiplin ilmu, yang terjadi adalah justru audiensnya jauh lebih alim.

Tidak sepenuhnya salah memang, tapi mari kita berpikir jernih bahwa dalam peperangan akan tumbang jika senapan yang dibawa hanya hitungan jari. Sampai di sini, jadi apa substansi hijrah dan dakwahnya?

Tetap mempertahankan popularitas keartisannya? Atau agar ekonomi dapur tetap menyala?

Yang tidak kalah menghawatirkan lagi adalah para founding trend hijrah didominasi kalangan wahabiyyun yang banyak menolak tradisi-tradisi baik di Indonesia yang telah mengakar ratusan tahun.

Bid'ah, sesat, kafir adalah bahasa market dakwah yang ampuh kemudian diekspansikan dengan embel-embel: "Semua amalan tertolak dan terancam neraka selama tidak ada di al-Qur'an dan Hadits."

Survey enteng-entengan, di PTN/PTS besar di Indonesia nama Prof. Dr. KH. Habib Muhammad Quraish Shihab, MA dengan Magnum Opusnya Tafsir al Misbah dan al-Lubab namanya kalah populer dengan sekelas Ustad Felix Siau.

Mengapa?

Opini yang muncul, "Pak Quraish sesat karena tidak mewajibakn anaknya berhijab. Mudah-mudah segera mendapat hidayah. "

Allah… Sesak dada saya.

(Rifqiel Asyiq, Kajen, Juni 2019)