Deddy Corbuzier, Berislam dan Ber-NU

 
Deddy Corbuzier, Berislam dan Ber-NU

LADUNI.ID - Lelaki yang sepanjang karirnya tampil plontos, tanpa kumis, badan kekar, perut kotak-kotak, namanya Deddy Corbuzier. Seorang mentalis, mentor dari Mister Limbad yang sangar itu. Jumat (21-06-19) resmi mengucapkan dua kalimat Syahadat di Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta. Meski tampangnya sebegitu laki dan macho, Om Deddy sebenarnya memiliki pemikiran yang jernih dan punya komitmen tinggi terhadap sebuah keputusan. Hal ini seperti tampak dari pengakuannya ketika berbincang di program Net Tv, dalam acara Ini Talk Show, yang dipimpin oleh Sule dan Andre. Di acara ini, Om Deddy sempat mengabarkan tentang keputusannya untuk meninggalkan dunia mentalis, hal ini karena dialog panjang antara dirinya dan anaknya. Sebuah keputusan yang menurutku sedikit berat, mengingat, faktor utama dia menjadi terkenal sampai sekarang adalah karena karena penguasaannya dalam seni mentalis.

Di sisi lain, ada fenomena menarik di balik ceritera mu’allaf-nya Om Deddy. Salah satunya adalah proses syahadatnya ternyata didampingi oleh Gus Miftah, Ustadz nyentrik yang viral karena berdakwah di tempat-tempat hiburan dan night club. Gus Miftah adalah seorang da’i dengan background ekspresi berislam ala NU. Maka wajar saja, kalau selepas membaca syahadat, Om Deddy langsung bisa sowan dan salat berjemaah bersama KH. Ma’ruf Amin. Selain itu, dalam sebuah video yang beredar, KH. Said Aqil Siroj juga turut memberikan doa kepada Om Deddy.

Karena sowan kepada dua tokoh yang sangat dihormati di kalangan NU dan banyak dinyinyiri oleh kalangan di luarnya, akhirnya banyak yang menyayangkan kenapa Om Deddy harus menerima bimbingan Islam dari orang-orang tersebut. Banjirlah komentar Netizen yang berargumen dengan empati “sayang dibimbing oleh Kiai Liberal, PKI, Islam Nusantara dan bla..bla..bla..”.

Sebelumnya patut diketahui, bahwa Om Deddy bukan masuk NU, tapi masuk Islam. Hal ini karena keyakinan dan pemikirannya yang kuat dan konsekuen. Islam sendiri adalah sebuah agama yang universal, tak bisa dipecah-pecah ke dalam golongan-golongan yang dibuat seenaknya oleh para netizen. NU, Muhammadiyyah, Persis, Mathla’ul Anwar, atau ormas gurem seperti HTI dan anak-anaknya sebenarnya adalah wadah ekspresi beragama saja. Karena Islam tak pernah monolitik dalam pengaplikasian nilainya, maka wajar dan sah-sah saja seorang yang memutuskan diri untuk menjadi muslim untuk memilih mana jenis pemikiran, ekspresi dan pandangan keislamannya yang cocok dengan kadar rasionalitas mereka dalam memahami agama.

Om Deddy sendiri dikenal sebagai seorang host yang kritis, dan seorang yang mengakui rasionalitas dalam beragama. Hal ini tampak dari setiap kali wawancaranya dengan beberapa tokoh agama Islam, salah satunya adalah Gus Miftah yang pernah tampil di acaranya, Hitam Putih. Tanggapan-tanggapan terhadap isu-isu aktual yang di-upload di akun youtube-nya, juga menunjukkan bahwa Om Deddy memiliki pandangan yang terbuka terhadap segenap perbedaan, serta perspektif sosial yang kosmopolit terhadap segenap pemikiran. Dia mampu mendayung di antara jebakan pemikiran yang menampilkan perselingkuhan agama dan politik yang kerap tak menggembirakan.

Dan, di mana isu soal keragaman dan toleransi menjadi vital di negeri ini, Om Deddy mampu menunjukkan sikap toleransi yang tinggi terhadap mereka yang tidak satu agama dengannya. Sikap tawassuth (moderat) juga kerap kali timbul dari Om Deddy, ketika tokoh Islam banyak yang diundang untuk menghadiri program show-nya di televisi. Om Deddy tetap memposisikan diri sebagai seorang host yang kritis, profesional dan tentu saja kocak. Maka, pasca salat jemaah dengan KH. Ma’ruf Amin kemarin, dia mengeluarkan statement yang melegakan, bahwa dia tetap mencintai keragaman agama di negeri ini, meskipun hari ini dia telah berpindah agama.

Ucapan Om Deddy itu melegakan, sebab ada sebagian –barangkali banyak- orang yang setelah memutuskan untuk memeluk Islam, justru balik menjelekkan agama lamanya. Seperti seorang mantan pendeta yang kemudian memeluk Islam beberapa tahun lalu, dan hari ini seiring gelar Ustadz yang dia peroleh, dalam setiap ceramahnya dia justru menunjukkan sikap militansi –kalau bukan fanatisme- terhadap keberislaman yang dia hayati sendiri, untuk kemudian dijadikan sebagai alat untuk menyerang agama lamanya.

Signifikansi Dakwah Cinta ala NU

Hal lain yang tampak dari fakta mu’allaf-nya Om Deddy ini, adalah signifikansi dakwah ala NU yang terus berkomitmen dengan nilai-nilai kedamain dan kesejukan. NU memang adalah sebuah wadah yang mencoba untuk senantiasa mempertemukan antara Islam dan kehidupan secara proporsional. NU punya komitmen kebangsaan yang tinggi, perspektif toleransi yang kuat, serta keberislaman yang ramah lingkungan. Bagi NU, Islam adalah agama yang selaras dengan kemajuan dan kemashlahatan umat manusia secara umum, bukan hanya untuk satu golongan atau umat Islam saja.

Karakteristik dakwah NU yang seperti ini membuahkan paradigma beragama yang fleksibel (i’tidal) serta berimbang (tawassuth) ketika diperhadapkan dengan berbagai realita di luarnya. Maka wajar saja, kalau NU hari ini menjadi bulan-bulanan bagi sebagian gerakan keislaman yang anti-toleransi, anti keragaman, serta fanatisme buta terhadap Islam. Bagi mereka, NU hari ini adalah sarang liberal, diisi oleh PKI, LGBT dan ulama-ulama rezim. Namun, buktinya NU tetap kokoh dalam pendirian keislamannya, walau badai fitnah menerpa. Minimal ini terbukti dari keputusan Om Deddy untuk menjadi mu’allaf di bawah bimbingan para ulama NU.

Pemikiran serta perspektif Om Deddy tentang bagaimana seharusnya nilai agama dihayati di tengah kehidupan yang begitu dinamis dan komplit, bak gayung bersambut dengan gaya berislam yang ditampilkan oleh NU. Berislam dengan berkeyakinan penuh terhadap kebenaran Allah sebagai Tuhan, dan Muhammad sebagai Rasulullah, tidak lantas membuat seseorang itu merubah segala perspektifnya terkait kehidupan, sikap keterbukaan, moderasi dan selalu menjunjung perdamaian. Bahkan sejatinya akan semakin subur karena disirami nilai-nilai Islam yang penuh kasih sayang.

Demikian pula, Om Deddy tak perlu mengubah penampilannya -rambut plontos dengan badan kekar dan perut six pack- dengan celana cingkarang, jidat hitam, jenggot memburai. Karena, akan sangat menyeramkan. Bahkan, anak-anak NU justru harus mulai berminat untuk belajar hipnotis yang bisa berguna pada tiap hari jumat. Ketika ada khotib yang isi khutbahnya provokatif, bisa digunakan untuk menghipnotis agar semua jemaah tertidur lelap, asal jangan sampai mengeluar iler apalagi “mimpi basah” di masjid.

Oleh: M Hasanie Mubarok