Esensi Sosok Al-Fata Generasi Emas Penerus Bangsa dan Agama 

 
Esensi Sosok Al-Fata Generasi Emas Penerus Bangsa dan Agama 

LADUNI. ID, KOLOM- Pemuda (Al-Fata) merupakan aset terbesar agama dan bangsa ini. Hendaknya negeri ini harus mempersiapkan generasi penerus yang handal. Kita mengetahui bahwa esensi al-fata  (pemuda) itu terletak pada kekuatan keimanan dan ketakwaan kepada sang khalik.

Sosok pemuda yang berumur masih muda namun tingkah laku dan akhlaknya tidak mencerminkan sosok seperti yang digambarkan diatas, hakikatnya dia bukanlah seorang al-fata (pemuda). Intinya al-fatanya bukan standari­sasinya pada umur tetapi jati diri dan spritualisme yang dimiliki oleh sese­orang.

Dikisahkan dalam surat Ambia ayat 60 tentang keberanian sosok al-fata yang bernama Ibrahim dalam menghancurkan berhala yang dijadikan sebagai sesembahan pada waktu itu, ayat tersebut berbunyi:” Mereka ber­kata: “Kami telah mendengar ada se­orang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. (QS. Al-Ambiya: 60).

Mengomentari ayat ini Syekh Ibnu Kasir dalam tafsirnya “Ibnu Kasir” menyebutkan sebuah riwayat yang diceritakan oleh oleh Ibu Hatim bahwa Ibnu Abbas mengatakan bahwa tidak sesekali Allah mengutuskan seorang nabi melainkan masih berusia muda dan tidaklah seseorang dianugerahi ilmu melainkan dia selagi masih muda, setelah itu Ibnu Abbas membacakan ayat diatas.

Spesifiknya kata “fata” itu didalam Alquran baik dalam surat Al-Kahfi maupun dalam surat al-Ambiya diilustrasikan seorang pemuda yang berakhalak yang mulia. Menariknya dalam mengambarkan seorang pemu­da yang berakhlak tercela, Alquran melukiskan dengan kata “al-ghulam”.

Inipun terdapat juga dalam surat yang sama Al-Kahfi ayat 74, 80 ketika dikisahkan pengembaraan ilmu Nabi Musa bersama dengan Nabi Khaidir yang menceritakan seorang anak muda yang dibunuh oleh Nabi Khaidir karena dalam pandangan beliau anak tersebut berperangai buruk dan jika dibiarkan dapat menjerumus kedua orang tuanya ke dalam kesesatan.dan kekafiran,.

Dalam dunia tasawuf dan sufi futuwwah itu diinterpretasikan sebagai norma tingkah laku dan akhlakul karimah yang terpuji dalam meneladani para rasul dan nabi, sahabat, salafus salih dan khalaf serta para waliyullah dan ulama sebagai warisatul ambiya. Salah seorang murid Syekh Abdullah al-Kharqani Al-Hambali yang menga­rang kitab Manazil As-Sa’irin , di sana disebutkan:

"Inti futuwwah artinya engkau tidak melihat kelebihan pada dirimu dan engkau tidak merasa memiliki hak atas manusia". Jelas dari pemahaman diatas setiap orang yang meneladani jalan ini juga disebut al-fata yang secara harfiah (bahasa) bermakna pemuda yang tampan (budi pekertinya) dan gagah.

Suatu ketika Ja'far bin Muhammad ditanya sese­orang tentang konsep futuwwah terse­but. Namun beliau tidak langsung men­jawab, tetapi bertanya balik kepadanya:, "Apa pendapat kamu?". Sang penanya pun menjawab: "Jika engkau diberi, maka engkau bersyukur, dan jika tidak diberi, maka engkau bersabar." Kemu­dian Ja'far menam­bahkan, "Anjing pun di tempat kami juga bisa begitu." Orang itu bertanya, "Wahai anak keturunan Rasulullah, kalau begitu apa maknanya menurut kalian?" lantas Saidina Ja'far menjawab, "Jika kami diberi, makan kami lebih suka memberikannya kepada orang lain lagi, dan jika kami tidak diberi, maka kami bersyukur." (Syekh Ismail Abdullah al-Hawari, Kitab Manazil As-Sa’irin).

Beranjak dari pembahasan diatas, jelas bahwa peran dari pemuda itu sendiri sangat menentukan dan kunci keberhasilan dan kesuksesan dalam membentuk generasi Qur’ani yang diimpikan oleh segenap lapisan masyarakat.

Sosok generasi penerus bangsa Qur’ani memiliki andil yang besar dalam membawa perubahan dan pelopor dalam segala lini kehidupan terutama perubahan akhlak dan moral para pemuda dan masyarakat Indone­sia pada umumnya Indonesia.

Dengan akhlakul karimah yang berpedoman Alquran, generasi Qur’ani akan mengerti dan memahami bagaimana menyelesaikan problematika dan fenomena yang dialami oleh generasi muda lainnya.

Walhasil pembangunan spiritual dan pola pikir (mindset) generasi muda lebih diutamakan dari pembangunan sarana dan prasarana seperti jembatan, sektor industri, gedung pencakar langit, Sebuah pembangunan sarana dan prasarana negara yang maju dan modern, semua itu tidak berharga dan bernilai diban­dingkan dengan hancur dan sirnanya pembangunan moral dan spiritual para generasi penerus bangsa.

Semoga generasi muda Indonesia di era industri 4.0 ini mampu mentasbihkan diri men­jadi agent of change (agen perubahan). Terakhir kita sangat berharap peran dan andil pemuda itu mampu mewu­judkan persada ini menjadi sebuah negara impian yang bertitahkan emas “ Baldatun Tayyibatun Warabbul Ghafur…!!! Amin ya rabbil ‘alamin

 Helmi Abu Bakar Ellangkawi, Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga.