Literasi dalam Perspektif Hari Anak Nasional

 
Literasi dalam Perspektif  Hari Anak Nasional

LADUNI.ID, KOLOM- Setiap tanggal 23 Juli, kita mem­­pe­ri­ngati Hari Anak Nasional (HAN). HAN dite­tapkan tahun 1986 melalui Kepres No 44 Tahun 1984. HAN 2019 tahun ini me­ngangkat tema “Peran Keluarga da­lam Perlindungan Anak”. 

Tema ini diangkat untuk menegaskan pentingnya kualitas pengasuhan dan keluarga dalam upaya perlindungan dan menciptakan lingkungan berkualitas bagi tumbuh kembang anak.

HAN diperingati untuk mendorong se­mua pihak peduli terhadap peng­hor­matan, penghargaan, dan keterja­minan hak-hak anak. Di sini, keluarga atau orang tua diharapkan menjalankan peran sebagai lembaga pertama dan utama dalam memberikan perlindungan kepada anak. 

Keluarga Indonesia mesti menjadi wadah bagi anak-anak tumbuh dan berkembang menjadi generasi sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia, dan cinta tanah air.

Terkait tanggung jawab orang tua terhadap hak anak, salah satu hal mendasar yang mesti dipenuhi adalah kebutuhan akan kecakapan literasi. 

Literasi adalah bekal bagi setiap individu untuk mengarungi kehidupan. Berbekal literasi yang kuat, anak tak sekadar ber­pe­ngetahuan luas, namun juga me­miliki penalaran yang baik, pemikiran kritis dan terbuka, cerdas, juga bijak.

Di tengah globalisasi informasi dengan segala kompleksitas dan peru­ba­han yang serba cepat sekarang, pemi­kiran kritis menjadi kebutuhan mendasar yang mesti dimiliki seseorang. 

Dalam buku Berpikir Kristis; Kecakapan Hidup di Era Digital (2018), Kasdin Sihotang, mengatakan, seseorang yang mampu mempertahankan eksistensinya di era digital adalah mereka yang mampu memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk, di antara sekian kenyataan yang dihadapkan di hadapan­nya. Kemampuan tersebut hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki pemikiran kritis.

Pemikiran kritis tak bisa dimiliki begitu saja. Ia dibentuk dari tradisi li­terasi atau kebiasaan bernalar yang terus diasah. Literasi, khususnya mem­baca, membuat orang bisa memandang dan mencerna dengan baik apa saja yang dihadapinya.

Menurut Tilaar (1999), membaca ada­lah proses memberi arti kepada dunia. Budaya literasi merupakan upaya mem­ba­ngun kebiasaan berpikir lewat akti­vitas membaca dan menulis hingga men­cip­takan karya. Dari kebiasaan-kebia­sa­an tersebut, konstruksi dan pola pemi­ki­ran seseorang akan diasah dan dibentuk.

Pada gilirannya, literasi yang kuat membuat orang sanggup memecahkan berbagai persoalan atau tantangan hidupnya, juga sanggup hidup harmonis dengan sesama. 

Ketika setiap individu memiliki kemampuan literasi yang kuat, terciptalah masyarakat pembelajar (learning society), suatu modal berharga menciptakan kehidupan beradab dan berkualitas. Bisa dikatakan, literasi merupakan modal membangun perada­ban bangsa.

 Di siniah, peringatan Hari Anak Nasional bisa dimaknai salah satunya sebagai momentum meng­giat­kan literasi bagi anak-anak kita demi ter­ciptanya generasi yang unggul, cerdas, kritis, survive menghadapi tantangan zaman, dan bisa mengantarkan bangsa ini menuju kemajuan dan peradaban yang lebih baik.

*** Al-Mahfud. S, Penulis Esai dari Pati