Biografi Imam Syahrastani

 
Biografi Imam Syahrastani

Daftar Isi Profil Imam Syahrastani

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Pendidikan
  4. Guru-Guru
  5. Mazhab Fikihnya
  6. Relasi dengan Penguasa
  7. Teladan
  8. Gelar
  9. Karya-Karya

Kelahiran

Abu al-Fath Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad asy-Syahrastani atau yang lebih akrab disapa dengan panggilan Imam Asy-Syahrastani lahir pada tahun 469 H, ada yang menyebutkan tahun 476 H, dan ada yang menyebut juga 479 H, di di kota Syahrastan.

Wafat

Asy-Syahrastani wafat pada tahun 548 H di kota Syahrastan.

Pendidikan

Asy-Syahrastani telah menuntut ilmu sejak masih kecil, adapun ilmu yang pertama kali ia pelajari adalah ilmu syari'at, seperti al-Qur'an, tafsir,hadis, fikih. Adapun yang paling pertama adalah al-Qur'an dan tafsirnya, kemudian pada usia lima belas tahun ia mempelajari hadis dari Abu al-Hasan al-Madini, di Naisabur, yang letaknya diluar Syahrastan.

Asy-Syahrastani adalah seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama asli Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i lahir di kota Syahrastan provinsi Khurasan di Persia tahun 474 H/1076 M dan meninggal tahun 548 H/1153 M. Beliau menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama’ di zamannya, seperti Ahmad al-Khawafi, Abu al-Qosim al-Anshari dan lain-lain. Sejak kecil beliau gemar belajar dan mengadakan penelitian, terlebih lagi didukung oleh kedewasaannya. Dalam menyimpulkan suatu pendapat beliau selalu moderat dan tidak emosional, pendapatnya selalu disertai dengan argumentasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang menguasai masalah yang ditelitinya.

Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.

Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya.

Guru-Guru

  1. Asy-Syahrastani memiliki banyak guru, diantaranya:
  2. Abu al-Qasim al-Anshari, dalam ilmu tafsir dan ilmu kalam
  3. Abu al-Hasan al-Madini, dalam ilmu hadis
  4. Abu al-Muzhaffar al-Khawafi, dalam ilmu fikih
  5. Abu Nashr al-Qusyairi, dalam ilmu fikih, ushul fikih dan ilmu kalam
  6. Ahmad al-Khawafi: Ulama yang mengajari Asy-Syahrastani ilmu fikih

Mazhab Fikihnya

Asy-Syahrastani bermazhab fikih syafi'i, karena guru-gurunya merupakan orang-orang ta'ashub (yang sangat kuat berpegang teguh) terhadap mazhab syafi'i, as-Subki telah memasukkan asy-Syahrastani didalam kitabnya Thabaqat asy-Syafi'iyyah al-Kubra, dan juga al-Isnawi telah memasukkannya didalam kitabnya Thabaqat asy-Syafi'iyyah.

Relasi dengan Penguasa

Asy-Syahrastani diterima oleh para sultan, penguasa, menteri dan pembesar. Ia dekat dengan Sultan Sanjar bin Mulkasyah, dan juga dekat dengan Menteri Abu al-Qasim Mahmud bin al-Muzhaffar al-Marwazi.

Teladan

Imam Asy-Syahrastani dikenal dengan sebagai pribadi yang lemah lembut, memiliki sifat yang baik, baik dalam pergaulan, beradab dalam berdialog, baik dalam berbicara dan menulis, dapat dilihat dari karya-karyanya. Diceritakan ketika ia berdialog dan berdebat, maka ia tidak berperilaku buruk terhadap lawannya, meskipun ia mengkritisi pemikirian lawannya, ia tetap menjawabnya dengan cara yang baik dan dengan cara yang dapat diterima.

Gelar

Keilmuannya yang tinggi diantara para ulama menjadikannya memiliki banyak gelar, antara lain:

  1. Al-Faqih, ahli fikih
  2. Al-Mutakallim, ahli ilmu kalam
  3. Al-Ushuli, ahli ushul fiqh
  4. Al-Muhaddits, ahli hadis
  5. Al-Mufassir, ahli tafsir
  6. Ar-Riyadhi, ahli matematika
  7. Al-Failusuf, ahli filsafat
  8. Shahibu at-Tashanif, penulis yang produktif
  9. Al-'Allamah, gelar ini diberikan oleh ‎al-Hafidz adz-Dzahabi

Karya-Karya

Asy-Syahrastani terkenal sebagai pribadi yang produktif dalam menulis, ia menulis dalam berbagai bidang keilmuan, seperti tafsir, fikih, ilmu kalam, filsafat, sejarah, perbandingan firqah dan perbandingan agama. Karya tulisnya mencapai dua puluh buah, diantaranya:

  1. Al-Milal wa an-Nihal, merupakan kitabnya yang paling terkenal.
  2. Nihayatu al-Iqdam fi Ilmi Kalam, kitab yang membahas tentang larangan terlalu menggeluti ilmu kalam dan filsafat.
  3. Mushara'ah al-Falasifah, bantahan terhadap filsafat.
  4. Majlis fi al-khalaq wa al-amr, dalam bahasa Persia.
  5. Bahts fi al-Jauhar al-Fard, penelitian filsafat.
  6. Syubuhat Aristhu wa Baraqls wa Ibnu Sina, bantahan terhadap filsafat.

Pemikirannya dalam al-Milal wa an-Nihal

Kitab al-Milal wa an-Nihal salah satu karya Asy-Syahrastani yang sangat terkenal. Kitab ini banyhak dikaji oleh generasi selanjutnya bahkan menjadi rujukan bagi para peneliti kajian agama dan kepercayaan. Secara umum kitab tersebut membahas lima pembahasan yang penting untuk diketahui. Kelima pembahasan tersebut tercantum dalam mukadimah.

Pmebahasan pertama, ragam dan kategorisasi penduduk dunia. Menurut Al Syahrastani, kategorisasi penduduk dunia bisa dilakukan berdasarkan letak geografi ataupun suku bangsa, seperti suku Arab dan non-Arab (ajam), seperti Romawi dan India. Sementara itu, kriteria yang digunakan sebagai acuan pengelompokan dalam kitab ini adalah agama dan keyakinan. Kelompok yang dikategorikan berdasarkan agama secara mutlak, misalnya Muslim, Nasrani, dan Yahudi. Menurut Al-Syahrastani, dari masing-masing penganut agama tersebut, lantas muncul cabang-cabang sekte. Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani 72 kelompok, dan Muslim terbagi 73 bagian. Dari tiap-tiap umat beragama itu, hanya satu kelompok yang akan selamat karena menjalankan ajaran agamanya secara lurus. Hal ini disampaikan Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya yang menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah sebanyak 73 golongan dan yang selamat satu, yaitu Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Pembahasan kedua, Al-Syahrastani menyebutkan lima kaidah yang merupakan poros perdebatan dan polemik di kalangan sekte-sekte Islam. Kaidah pertama tentang konsep sifat dan tauhid yang mencakup polemik sifat-sifat wajib, jaiz (boleh), dan mustahil bagi Allah. Terkait ini, golongan yang berselisih pandang ialah Asy'ariyah, Karamiyah, Mujassimah, dan Mu'tazilah. Kaidah kedua, qadha dan qadar yang mencakup perselisihan perihal posisi kehendak dan tindakan manusia dikaitkan dengan takdir dan ketetapan Tuhan. Kelompok yang sering memperdebatkan masalah ini adalah Qadariyah, Najjariyah, Jabariyah, Asy'ariyah, dan Karamiyah. Kaidah ketiga, polemik tentang janji, ancaman, asma Allah, dan hukum. Polemik yang mencuat dari kaidah ini di antaranya adalah masalah iman, tobat, dan pengharapan (irja). Terdapat perbedaan antara kaum Murjiah, Wai'diyah, Mutazilah, Asya'ariyah, dan Karamiyah. Kaidah keempat, rasionalitas dan wahyu, lalu risalah serta imamah (kepemimpinan). Contoh permasalahan yang terindikasikan dari kaidah terakhir ini adalah persoalan terkait logika mana yang dipakai untuk menentukan baik dan buruk sebuah perkara, apakah logika akal atau wahyu. Perdebatan ini muncul di kelompok Khawarij, Mu'tazilah, Karamiyah, dan Asy'ariyah. Berangkat dari kaidah-kaidah ini, Al-Syahrastani menyatakan, sekte-sekte yang ada bisa dikelompokkan ke dalam empat kelompok besar, yaitu Qadariyah, Shifatiyah, Khawarij, dan Syiah.

Pembahasan ketiga adalah penjelasan tentang fitnah yang muncul pertama kali di alam semesta. Al-Syahrastani berpandangan, polemik pertama yang mencuat dipicu oleh pembangkangan iblis yang menentang perintah-perintah Allah. Iblis menggunakan argumen dan sikap congkak.

Pembahasan keempat adalah pemaparan tentang benih-benih perbedaan di kalangan umat Islam. Menurut catatan Al-Syahrastani, perbedaan pertama yang muncul di tengah-tengah kaum Muslim adalah perbedaan yang terjadi saat Rasullullah terserang penyakit yang menyebabkan beliau wafat. Saat itu, Rasulullah hendak menuliskan wasiat, namun oleh sejumlah sahabat, di antaranya Umar bin Khattab, keinginan tersebut sempat dihalangi-halangi. Ini karena para sahabat merasa khawatir akan kepergian Rasulullah.

Pembahasan kelima, Al-Syahrastani membahas metodologi yang digunakan dalam penulisan dan penyusunan Al-Milal.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya