Imam Ghazali dan Filsafat (Seri 2)

 
Imam Ghazali dan Filsafat (Seri 2)

LADUNI.ID - Membaca Tahafut lebih mudah dibanding membaca Ilahiyyat-nya Ibn Sina dalam Asy-Syifa’. Kitab logika dari al-Ghazali (baik Maqashid maupun Mi‎’yar) juga lebih enak dipahami ketimbang buku logika Ibn Sina. Setidaknya begitu yang hamba alami, setelah membaca halaman-halaman awal.

Hamba juga turut membenarkan pandangan sejumlah peneliti kedua figur ini bahwa al-Ghazali memiliki kemampuan layaknya guru yang cakap mengudari kerumitan dan mengilustrasikannya dengan contoh-contoh agar gampang dicerna pembaca/muridnya.

Barangkali salah satu sebab dari hal itu ialah karena al-Ghazali pernah menjadi guru besar di lembaga formal pendidikan tinggi (Nizhamiyyah). Sebelum ia menulis kitab-kitab filsafat, mirip seperti Ibn Sina, al-Ghazali secara intensif selama 1,5 tahun membaca ulang buku-buku filsafat. Bedanya, al-Ghazali melakukan itu sembari menjadi pengajar 300 murid di Nizhamiyyah Baghdad di usia 30-an, sementara Ibn Sina belum bekerja, masih di usia 17-18, dan pekerjaan Ibn Sina nantinya lebih banyak menjadi dokter istana—yang karena profesi ini Ibn Sina memiliki akses ke perpustakaan istana guna membaca terjemahan-terjemahan karya-karya filsuf/ilmuwan Yunani.

Kecakapan Ghazali ini nantinya membuat orang-orang Eropa abad pertengahan mengira bahwa al-Ghazali adalah pelanjut ajaran Ibn Sina.

Jadi begini. Kitab Maqashid al-Falasifah diterjemahkan ke Latin jauh sebelum Tahafut (dari sumber bacaan hamba, Tahafut baru diterjemahkan ke Latin di abad 14). Dalam rangka penemuan kembali filsafat Aristoteles, orang Eropa menerjemahkan Maqashid itu di sepertiga akhir abad 12 (al-Ghazali wafat pada 1111, jadi selisih beberapa dekade saja). Sebagaimana sudah hamba singgung kemarin, Maqashid sejatinya adalah adaptasi Daneshname-nya Ibn Sina, yang berisi filsafat Aristoteles. Jadi, Aristoteles yang kembali ke Eropa adalah Aristoteles yang sudah melalui tafsir dan komentar para filsuf Muslim.

Maqashid mula-mula diterjemahkan dengan judul yang merupakan terjemahan harfiah, yakni “De Philosophorum Intentionibus” (hamba ndak bisa bahasa Latin, tapi kata “intentionibus” di situ tampak berarti “tujuan” atau “maqashid”). Di terjemahan berikutnya, judul berganti menjadi “Summa Theoricae Philosophiae”—yang terakhir ini nantinya dibaca oleh filsuf-filsuf besar seperti Thomas Aquinas dan Roger Bacon. Setelah ditemukan alat cetak, Maqashid dicetak di Venice, Italia, pada 1506 dan mendapat judul baru, “Logica et Philosophia Algazelis”.

Nah, era pasca-Ibn Rusyd di Eropa menyaksikan lahirnya respons Gereja Katolik terhadap penyebaran ajaran Aristoteles yang dikampanyekan para pengikut Ibn Rusyd (para Averrois). Muncullah “fatwa” Condemnations 1210-1277 dari Gereja Katolik, yang isinya antara lain menyatakan bid’ah ajaran-ajaran filsafat Aristoteles dan Averroes dan mengutuk para penyebar ajaran-ajaran itu.

Di antara yang berperan menyusun argumentasi melawan “bid’ah” ini adalah Giles of Rome (1247-1316), seorang uskup agung Bourges, Perancis. Di antara karyanya ada berjudul “De Erroribus Philosophorum” (Error-nya Para Filsuf), yang mengecam filsuf Aristoteles dan para pengikutnya yang terdiri dari al-Kindi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, dan Maimonides. Al-Ghazali masuk dalam daftar ini. Ketika mendeskripsikan al-Ghazali, Giles bahkan bilang bahwa al-Ghazali adalah penerus dan peringkas terbaik ajaran Ibn Sina (“Algazel autem, ut plurimum Avicennam sequens et eius abbreviator existens….”).

Tentu saja, waktu itu Giles tak tahu bahwa al-Ghazali menulis Tahafut yang mengecam Ibn Sina.

Oleh: Azis Anwar Fachrudin