Kisah Kasih Sayang Kiai Maimun kepada Santrinya

 
Kisah Kasih Sayang Kiai Maimun kepada Santrinya

Oleh ISMAEL AMIN KHOLIL

LADUNI.ID, Jakarta - Suatu kali Gus Muhammad Pekalongan pernah menceritakan baha suatu hari ada seorang santri akan di-boyong pengurus keamanan karena berbagai kasus pelanggaran. Ketika akan diantar, pengurus keamanan menuju jalan raya untuk dicarikan bis.

Santri itu lari menuju ke ndalem Yai Maimoen. Ia menangis dan tersungkur sesenggukan di bawah kaki Kiai Maimun Zubair.

Yai kemudian dawuh: "enten nopo?" (Ada apa?)

Kang santri itu  menjawab: "kulo bade diboyong pengurus, tapi kulo taseh pengen mondok yai" (Saya mau diboyong pengurus, tapi saya masih pengen mondok yai).

Kemudian yai manggil pengurus keamanannya lantas kemudian dawuh:

Santri iki ora usah diboyong yo, mergo cah enom seng gelem ngaji saiki longko..." (Santri ini jangan diboyong ya.. Karena jaman sekarang sedikit pemuda yang mau ngaji)

Beliau lalu menoleh kepada santri itu dan berkata:

Tapi sampean kudu janji... Ojo nakal maneh (tapi kamu harus janji.. Jangan nakal lagi ).”

Gus Rojih Ubab (cucu Mbah Yai) pernah berkata:

Mbah kung iku nek ono santri nakal, ngongkon digedekno husnudzone, Husnudzon Cah iku bakal taubat lan dadi apik suatu saat, Lan didongakno ben cepet mari nakale (mbah itu kalo ada santri nakal, menyuruh kita untuk menguatkan husnudzon, husnudzon bahwa kelak ia akan taubat dan menjadi orang baik. Dan didoakan semoga cepat selesai nakalnya),” kata Gus Rojih.

Sampai sekarang saya ingat betul totalitas beliau dalam mengajar dan mendidik para santri. Beliau meski selelah apapun, pulang dari perjalanan sejauh apapun dan dalam usia yang sangat sepuh seperti itu selalu meluangkan waktunya untuk mengajar santri-santrinya. Tidak jarang (karena saking capeknya) beliau tertidur beberapa detik di tengah-tengah membacakan kitab untuk kami. Di bulan Ramadhan beliau bahkan bisa berjam-jam duduk tanpa henti untuk membacakan kitab, semua waktu beliau seakan-akan hanya beliau dedikasikan untuk ilmu dan para penuntutnya.

Saya juga masih ingat dawuh beliau di malam itu. Waktu itu beliau baru saja pulang dari kunjungannya ke Uzbekistan.

Ora usah mikir engko dadi opo.. Tapi ngajio sing sergep, sinau sing sergep (Jangan pernah berpikir kelak akan menjadi apa. Yang penting belajar lah yang rajin).”

Dan tentunya aku tak akan pernah bisa melupakan keikhlasan beliau yang begitu besar dalam mengajar dan mendidik santri-santrinya tanpa mengharapkan imbalan apapun. Pagi itu, setelah sowan dan minta restu untuk pergi ke Yaman. Aku menyalami beliau dengan sebuah amplop. Sebenarnya sebelumnya beliau sudah pernah menolak amplop yang hendak aku hadiahkan. Tapi ini terakhiran, masak tidak ngasih apa-apa? Dan benar saja, amplop itu beliau tolak untuk kesekian kalinya, beliau senyum dan dawuh:

“Nggak usah macem-macem…"

Aku pamit, kembali ke kamarku NH 30, tiduran, menutupi wajahku dengan kain, dan kemudian menangis sejadi-jadinya.

Selamat jalan Mbah Yai..Dengan Hati yang sesak aku tuliskan catatan ini. Sambil berusaha menghibur diri bahwa kematian memanglah duka bagi kita. Tapi bagi mereka para kekasih Allah adalah sebuah anugerah dan perayaan mulia. Di sana telah menanti hal-hal indah yang selama ini mereka impikan. Seperti yang sering dijelaskan Habib Umar mengutip kalam Imam Al-Haddad:

ﻓﺎﻟﻤﻮﺕ ﻟﻠﺆﻣﻦ ﺍﻷﻭﺍﺏ ﺗﺤﻔﺘﻪ *

ﻭﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺒﻐﻲ ﻭ ﻳﺮﺗﺎﺩ

ﻟﻘﺎ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺠﺪﻩ ﻭ ﺳﻤﺎ *

ﻣﻊ ﺍﻟﻨﻌﻴﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﺃﻧﻜﺎﺩ

Kematian bagi para Awliya' adalah sebuah anugrah. Sebuah perayaan, bersama para Anbiya' dan malaikat. Mereka merayakan pertemuan mereka dengan Allah yang sudah sekian lama mereka rindukan.

Selamat menikmati perjalanan indah njenengan Mbah Yai. Kini njenengan telah menjemput cita-cita agung njenengan itu, yang selama ini seringkali njenengan utarakan kepada santri-santri dan para tamu yang mengharap barokah njenengan. Kulo masih ingat, waktu itu njenengan bahkan meminta doa kepada ponakan kulo yang umurnya jauh di bawah njenengan. Ketika itu njenengan berkata:

"Doakan saya. Saya yang butuh didoakan. Saya gak ingin apa-apa, saya hanya ingin husnul khotimah…"

Sekali lagi, sugeng tindak Mbah Yai. Semoga kami santri-santri njenengan yang masih tertinggal di sini tetap bisa menapaki jejak-jejak luhur njenengan.

الى روح شيخنا ميمون زبير الفاتحة


Ditulis oleh Ismael Amin Kholil, Jakarta, 6 Agustus, 2019.