Mengenal Aqidah Mujassimah dan Batasan Dianggap Meyerupakan Allah

 
Mengenal Aqidah Mujassimah dan Batasan Dianggap Meyerupakan Allah
Sumber Gambar: Foto Istimewa

Laduni.ID, Jakarta - Dalam sejarah panjang peradaban umat Islam telah terjadi pergolakan pemikiran dalam hal aqidah dan teologi yang dipelopori oleh para ulama dan pemikir mutakalim (ahli ilmu kalam) yang melahirkan banyaknya aliran pemikiran dan firqoh dalam di dalam Islam. Dari berbagai firqoh tersebut ada salah satu firqoh yang dianggap memiliki keyakinan aqidah "menyimpang" dari kesepakatan para ulama yaitu golongan Mujassimah-Musyabbihah.

Firqoh atau kelompok Mujassimah-Musyabbihah adalah kelompok yang meyakini dan percaya bahwa Allah memiliki fisik dan meyerupai makhluk. Tajsim adalah keyakinan bahwa Allah adalah benda atau memiliki sifat benda dan Tasybih adalah keyakinan bahwa Allah adalah seruap dengan makhluk atau mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk. Faham tersebut dibawa oleh Muqatil bin Sulaiman As-Sadusiy seorang yang pada saat itu hidup jauh dari sumber keilmuan Islam yaitu dari Balkh, Khurasan. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya Allah adalah benda yang mempunyai anggota-anggota badan, baik kecil atau besar, seperti tangan, kaki, dan kedua mata. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtiafil Mushoallin karya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari,

أن الله جسم وأن له جمة وأنه على صورة الإنسان لحم ودم وشعر وعظم له جوارح وأعضاء من يد ورجل ورأس وعينين مصمت وهو مع هذا لا يشبه غيره ولا يشبهه

"Sesungguhnya Allah adalah jism (bentuk yang bervolume) dan Ia mempunyai rambut menjuntai, berbentuk manusia, punya daging, darah, bulu, tulang, punya organ tubuh seperti tangan, kaki, kepala, dua mata, tak berongga, meski demikian Dia tak menyerupai selainnya dan selainnya tak menyerupainya"

Baca Juga: Dalil-dalil Sifat Wajib Bagi Allah (Bagian 1)​

Kemudian ada juga Hisyam bin Al Hakam yang mengatakan Allah mempunyai bentuk yang bisa berdiri dan bergerak, sebagaimana makhluk.

Lalu ada Jahm bin Shafwan yang mencoba memerangi pendapat menyimpang kedua tokoh di atas, namun sayangnya dia juga melakukan kecerobohan lain yaitu yakni sama sekali tidak menetapkan ta'thil (sifat bagi Allah). Sehingga Imam Abu Hanifah berkata bahwa pendapat mereka adalah pendapat yang buruk.

أتانا من المشرق رأيان خبيثان جهم معطل ومقاتل مشبه  

"Telah datang kepada kita kaum Muslimin, dua pendapat tokoh yang sangat buruk, Jahm bin Shafwan yang berpaham ta'thil dan pendapat Muqatil yang berpaham tasybih"

Kemudain Imam Abu Hanifah juga berkata bahwa Jahm bin Shafwan ceroboh dalam menafikan sifat Allah dan Muqtil bin Sulaiman As-Sadusi ceroboh dalam menetapkan sifat Allah.

أفرط جهم في النفي حتى قال إنه ليس بشىء وأفرط مقاتل فى الإثبات حتى جعل الله تعالى مثل خلقه

"Jahm ceroboh dalam menafikan sifat Allah sehingga ia berpendapat Allah tidak mempunyai sifat yang sempurna yang layak bagi-Nya sekalipun (ta'thil). Dan Muqatil juga ceroboh dalam menetapkan sifat Allah (tidak disertai prinsip tanzih, yakni menyucikan-Nya dari sifat dan keserupaan terhadap makhluk sehingga berpaham tasybih"

Baca Juga: Hadits Tentang Keutamaan Iman

Tajsim dalam Pandangan Ahlussunah wal Jama'ah
Dalam Aqidah Ahlussunah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah) banyak ulama yang menyebutkan kata jism, namun tidak semua dapat memahami maksud kata tersebut dan mengapa Allah mustahil dianggap jism. Imam Ahmad mendefinisakan jism sebagai sesuatu yang memiliki volume yaitu panjang, tinggi, dan lebar serta terdiri dari rangkain. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’tiqad Al-Imam Al-Munabbal Ahmad bin Hanbal karya Abu Al-Fadl At-Tamimi.

إِنَّ الأَسْمَاءَ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الشَّرِيعَةِ وَاللُّغَةِ، وَأَهْلُ اللُّغَةِ وَضَعُوا هَذَا الاسْمَ – أَيِ الْجِسْمَ – عَلَى ذِي طِولٍ وَعَرْضٍ وَسَمْكٍ وَتَرْكِيبٍ وَصُورَةٍ وَتَأْلِيفٍ، وَاللهُ خَارِجٌ عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ – أي مُنزَّهٌ عَنْه – فَلَمْ يَجُزْ أَنْ يُسمَّى جِسْمًا لِخروجِهِ عَنْ مَعْنَى الْجِسْمِيّةِ، وَلَمْ يَجِىءْ في الشَّرِيعَةِ ذَلِكَ فَبَطلَ

"Sesungguhnya istilah-istilah itu diambil dari peristilahan syariah dan peristilahan bahasa sedangkan ahli bahasa menetapkan istilah ini (jism) untuk sesuatu yang punya panjang, lebar, tebal, susunan, bentuk, dan rangkaian, sedangkan Allah berbeda dari itu semua. Maka dari itu, tidak boleh mengatakan bahwa Allah adalah jism sebab Allah tak punya makna jismiyah. Dan, istilah itu juga tidak ada dalam istilah syariat, maka batal menyifati Allah demikian"

Maka dari definisi di atas seluruh jagat raya beserta isinya baik yang terlihat atau yang tidak, baik yang kecil ataupun yang besar, dan semua yang tersusun dari rangkain atau bagian-bagian dan memiliki volume semuanya adalah jism. Manusia, gelombang, udara, sel, dan bagian terkecil lainnya adalah jism karena semuanya berbentuk dan tersusun dari rangkaian-rangkain kecuali dzat yang menciptakan unsur-unsur dasar tersebut yaitu Allah SWT. Sehingga dalam aqidah Ahlussunah wal Jama'ah semua ulama bersepakat bahwa Allah bukanlah jism karena jism adalah berbentuk, serupa, sama, dan setara meskipun berbeda bentuknya.

Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam surat Asy-Syura ayat 11 yang menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang meyerupai Allah SWT sedikitpun dalam hal apapun.

فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّمِنَ الْاَنْعَامِ اَزْوَاجًاۚ يَذْرَؤُكُمْ فِيْهِۗ لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat"

Bahkan Allah menegaskan dalam surat Al-Ikhlas ayat 4 bahwa tidak ada satupun yang setara dengan-Nya

وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ

"Dan tidak ada satu pun yang setara dengan Dia"

Baca Juga: Apakah Allah Kuasa untuk Menciptakan Sekutu Bagi-Nya?

Kita pernah mendengar kalimat Yadullah (tangan Allah), 'Ainullah (mata Allah), Wajhullah (wajah Allah) dan sebagainya dalam Al-Qur'an ataupun Hadis. Jika kita menerjemahkan kalimat-kalimat tersebut secara literlek tanpa ilmu, maka akan melahirkan kesimpulan yang berkonotasi bahwa Allah SWT memiliki tangan, mata, wajah dan sebagainya sebagaimana yang dimiliki makhluk dan itu akan melahirkan keyakinan bahwa Allah adalah jism.

Mengenai hal ini Imam Al-Baihaqi menjelaskan dalam kitab Al-I'tiqad sebagai berikut:

وَفِي الْجُمْلَةِ يَجِبُ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّ اسْتِوَاءَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى لَيْسَ بِاسْتِوَاءِ اعْتِدَالٍ عَنِ اعْوِجَاجٍ وَلَا اسْتِقْرَارٍ فِي مَكَانٍ، وَلَا مُمَّاسَّةٍ لِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ، لَكِنَّهُ مُسْتَوٍ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيْفٍ بِلَا أَيْنَ، بَائِنٌ مِنْ جَمِيعِ خَلْقِهِ، وَأَنَّ إِتْيَانَهُ لَيْسَ بِإِتْيَانٍ مِنْ مَكَانٍ إِلَى مَكَانٍ، وَأَنَّ مَجِيئَهُ لَيْسَ بِحَرَكَةٍ، وَأَنَّ نُزُولَهُ لَيْسَ بِنَقْلَةٍ، وَأَنَّ نَفْسَهُ لَيْسَ بِجِسْمٍ، وَأَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِصُورَةٍ، وَأَنَّ يَدَهُ لَيْسَتْ بجَارِحَةٍ، وَأَنَّ عَيْنَهُ لَيْسَتْ بِحَدَقَةٍ، وَإِنَّمَا هَذِهِ أَوْصَافٌ جَاءَ بِهَا التَّوْقِيفُ، فَقُلْنَا بِهَا وَنَفَيْنَا عَنْهَا التَّكْيِيفَ

"Secara global harus diketahui bahwa istiwa’-nya Allah swt. bukanlah istiwa’ yang bermakna lurus dari bengkok ataupun bermakna menetap di suatu tempat. Juga bukan bermakna menyentuh satu dari sekian makhluk-Nya. Akan tetapi Allah istiwa’ atas Arasy seperti yang Allah beritakan tanpa ada tata cara dan tanpa ada pertanyaan “di mana”, dan Ia terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Dan bahwasanya sifat ityan (kedatangan) Allah bukan datang dalam arti perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain; sifat maji' (kehadiran) Allah bukan suatu gerakan; sifat nuzul (turun) bukan suatu perpindahan; sifat nafs (diri) bukan suatu jism, sifat wajh (wajah) bukan sebuah bentuk fisik; dan bahwa yad (tangan)-Nya bukan sebuah organ bertindak; 'ain (mata)-Nya bukan sebuah organ penglihatan; tetapi Ini semua adalah sifat yang disebutkan oleh Nabi Muhammad tanpa bisa dipertanyakan (tawqif), maka kami menetapkan keberadaannya dan meniadakan tata cara atau makna leksikal (kaifiyah) darinya"

Ahlussunah wal Jama'ah meyakini bahwa allah adalah qadim (terdahulu) dan bukan hadis (baru) sehingga tidak mungkin Allah SWT diserupai atau menyerupai suatu makhluk ciptaan-Nya. Sedangkan jism adalah hal yang tersusun dari rangkaian-rangkain yang pasti ada yang merancangnya. Jika meyakini Allah adalah jism maka hal itu akan mengakibatkan keyakinan bahwa Allah SWT memiliki sifat hadis (baru).

Hal ini yang menjadikan para ulama sepakat bahwa Allah SWT bukan jism. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikh Mulla Ali Al-Qari Al-Hanafi dalam Syarh Fiqh Al-Akbar:

لأن الجسم متركب ومتحيز وذلك أمارة الحدوث

"Karena jism adalah sesuatu yang tersusun dan punya batasan fisik, dan itu adalah tanda-tanda kebaruan"

Mengenai keyakinan kelompok Mujassimah para ulama memberikan bantahan terkait aliran ini.

Imam Abu Hanifah menjelaskan dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Akbar bahwa sifat-sifat Allah seluruhnya berbeda dengan sifat-sifat makhluk.

وصفاته كلها بخلاف صفات المخلوقين ... وهو شيء لا كالأشياء ومعنى الشيء إثباته تعالى بلا جسم ولا جوهر ولا عرض ولا حد له ولا ند له ولا مثل له

"Sifat-sifat Allah seluruhnya berbeda dengan sifat-sifat makhluk. ... Allah adalah sesuatu yang berbeda dengan segala sesuatu yang lain. Makna sesuatu yang berbeda ini adalah menetapkan Allah Ta’ala tidak berupa jism, unsur pembentuk jism (jauhar), sifat-sifat jism (‘aradl), tak punya batasan fisikal, tak punya saingan, tak punya sesuatu yang menyerupainya"

Imam As-Suyuti menukil pendapat Imam Syafi'i dalam kitab Al-Asybah wan-Nadha’ir bahwa tidak boleh ada yang dikafirkan seorang ahli kiblat (mu'min) kecuali kelompok Mujassimah.

لَا يُكَفَّرُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ وَاسْتُثْنِيَ مِنْ ذَلِكَ: الْمُجَسِّمُ، وَمُنْكِرُ عِلْمِ الْجُزْئِيَّاتِ

"Tidak boleh ada seorang pun ahli kiblat yang dikafirkan kecuali kaum mujassimah (kaum yang menyatakan Allah adalah jism) dan orang-orang yang mengingkari ilmu Allah atas detail-detail kejadian"

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari menjelaskan dalam Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk bahwa sebagai petunjuk bahwa Allah itu qadim maka tidak ada satupun sesuatu hal di alam ini yang bisa diamati kecuali jism atau hal yang melekan pada jism dan setiap jism ada saatnya berpisah dan tersusun.

فمن الدلالة على ذلك أنه لا شيء في العالم مشاهد إلا جسم أو قائم بجسم وأنه لا جسم إلا مفترق أو مجتمع ... وأنه إذا اجتمع الجزآن منه بعد الإفتراق فمعلوم أن اجتماعهما حادث بعد أن لم يكن ... وكان ما لم يخل من الحدث لا شك أنه محدث بتأليف مؤلف له إن كان مجتمعا وتفريق مفرق له إن كان مفترقا وكان معلوما بذلك أن جامع ذلك إن كان مجتمعا ومفرقه إن كان مفترقا من لا يشبهه ومن لا يجوز عليه الاجتماع والإفتراق وهو الواحد القادر الجامع بين المختلفات الذي لا يشبهه شيء وهو على كل شيء قدير

"Maka sebagian dari petunjuk bahwa Allah qadîm (tak berawal) adalah tak ada sesuatu pun di alam yang teramati kecuali berupa jism atau hal yang melekat pada jism, dan bahwasanya setiap jism ada kalanya terpisah dan adakalanya tersusun ... Dan, sesungguhnya bila kedua bagian itu tersusun setelah sebelumnya terpisah, maka diketahui bahwa susunan itu adalah sesuatu yang baru setelah sebelumnya tak ada ... Dan, sesuatu yang tak terlepas dari kebaruan tak diragukan bahwa sesuatu itu diciptakan dengan penyusunan oleh oknum penyusunnya bila jism itu tersusun, dan diciptakan oleh oknum yang memisahkannya bila jism itu terpisah. Dari situ diketahui bawa yang menyusun atau memisahkannya adalah oknum yang tak sama dengan jism dan tak tersusun atau terpisah. Dialah yang Maha Esa, yang Maha Kuasa yang mengumpulkan aneka elemen yang berbeda, yang tak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Dan, Ia Maha Berkuasa atas segala sesuatu"

Mengenai status kekafiran kelompok Mujassimah masih terdapat perbedaan dari pandangan ulama. Namun setidaknya kita mengetahui bahwa banyak ulama dengan tegas menyatakan bahwa Allah bukan jism, baik dari kalangan ulama salaf (generasi awal) maupun ulama khalaf (generasi belakangan), dan itu tercatat dalam berbagai kitab.

Baca Juga: Rukun Iman dan Penjelasannya dalam Agama Islam

Batasan Menganggap Allah Seperti Makhluk
Untuk mengetahui batasan apakah kita telah menganggap atau menyerupakan Allah dengan makhluk, terdapat beberapa keterangan sebagai berikut:

1. Kaidah dari Imam Ishaq bin Rahawaih dalam Sunan At-Turmudzi

وقَالَ إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ: " إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ، أَوْ مِثْلُ يَدٍ، أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ، أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ

"Ishaq bin Ibrahim (Rahawaih) berkata: Sesungguhnya hanya terjadi tasybîh apabila berkata tangan (Allah) seperti tangan atau mirip tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti atau mirip pendengaran (makhluk)"

2. Kaidah dari Syekh Adz-Dhahabi dalam Al-Arba’in min Shifat Rabbil ‘Alamin

فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه

"Tasybih hanya terjadi apabila dikatakan ‘Tangan seperti tangan kita’ …. Apabila dikatakan: ‘tangan yang tak sama dengan tangan-tangan lain’, seperti halnya Dzat-Nya tak sama dengan Dzat lain, pendengaran-Nya tak sama dengan pendengaran yang lain, penglihatan-Nya tak sama dengan penglihatan yang lain, dan tak ada bedanya di antara semua, maka itu adalah menyucikan (tanzih)"

3. Kaidah dari Imam Ahmad bin Hanbal yang dinukil oleh Ibnu Hamdan Al-Hanbali dalam Nihayatul Mubtadi’in

وقال أحمد: أحاديث الصفات تمر كما جاءت من غير بحث على معانيها، وتخالف ماخطر في الخاطر عند سماعها، وننفي التشبيه عن الله تعالی عند ذكرها مع تصديق النبي ، والإيمان بها، وكلما يعقل ويتصور فهو تكييف وتشبيه، وهو محال

"Imam Ahmad berkata: Hadits-hadits sifat harus dibaca ulang seperti sedia kala tanpa dibahas makna-maknanya. Ia berbeda dengan apa yang terbesit dalam hati seseorang ketika mendengarnya. Dan, kami menafikan penyerupaan dengan Allah ketika Allah menyebutkannya serta membenarnya [ucapan] Nabi dan mengimaninya. Setiap kali ia dipahami dan tergambar di benak, maka itulah membagaimanakan (takyif) dan menyerupakan (tasybih). Itu adalah mustahil"

4. Kaidah Syekh Ibrahim Al-Bajuri dalam Hasyiyat Al-Imam Al-Baijuri ‘Ala Jawharat Al-Tauhid

وَالْمُمَاثَلَةُ لِلْحَوَادِثِ وَهُوَ ضِدُّ الْمُخَالَفَةِ لِلْحَوَادِثِ. وَالْمُمَاثَلَةُ مُصَوَّرَةٌ بِأَنْ يَكُوْنَ جِرْمًا سَوَاءٌ كَانَ مُرَكَّبًا وَيُسَمَّى حِيْنَئِذٍ جِسْمًا أَوْ غَيْرَ مُرَكَّبٍ وَيُسَمَّى حِيْنَئِذٍ جَوْهَرًا فَرْدًا

"Serupa dengan hal baru adalah lawan dari berbeda dengan hal baru. Keserupaan ini tergambarkan dengan terjadinya Allah dari materi fisikal, baik materi itu tersusun yang kemudian disebut jism atau tidak tersusun yang kemudian disebut partikel tunggal"

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 14 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi:
1. Maqalat Al-Islamiyyin wa Ikhtiafil Mushoallin karya Imam Abu Hasan Al-Asy’ari
2. I’tiqad Al-Imam Al-Munabbal Ahmad bin Hanbal karya Abu Al-Fadl At-Tamimi
3. Al-I'tiqad karya Imam Al-Baihaqi
4. Syarh Fiqh Al-Akbar karya Syaikh Mulla Ali Al-Qari Al-Hanafi
5. Al-Fiqh Al-Akbar karya Imam Abu Hanifah
6. Al-Asybah wan-Nadha’ir karya Imam As-Suyuti
7. Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari
8. Sunan At-Turmudzi
9. Al-Arba’in min Shifat Rabbil ‘Alamin karya Syekh Adz-Dhahabi
10. Nihayatul Mubtadi’in karya Ibnu Hamdan Al-Hanbali
11. Hasyiyat Al-Imam Al-Baijuri ‘Ala Jawharat Al-Tauhid karya Syekh Ibrahim Al-Bajur