Reformasi Agraria Jokowi, Kisah Nabi, Sahabat Umar dan PKI

 
Reformasi Agraria Jokowi, Kisah Nabi, Sahabat Umar dan PKI

foto: Detik

LADUNI.ID, Bandung - Membaca berita di laman duta.co tanggal 27 Februari yang baru lalu. Berita tentang acara bedah buku yang berjudul “NU Jadi Tumbal Politik Kekuasaan, Siapa Bertanggungjawab” karya sejarawan Nahdlatul Ulama Drs H Choirul Anam di Graha Astranawa Surabaya, saya agak geli ketika NU sampai pada kalimat,  “Diakui Prof Aminuddin, tanda-tanda yang sudah muncul ke permukaan, memang sedikit ada kemiripan. Misalnya, kalau dulu ada land reform (reformasi agraria) sekarang juga ada bagi-bagi sertifikat tanah.”

Saya mengerti maksud Prof. Aminuddin. Program Presiden Jokowi bagi-bagi sertifikat tanah, bentuk reformasi agraria (land reform) dianggap mirip dengan dalam konsep PKI. Kedekatan NU dengan Jokowi ditengarai seperti kedekatan NU dengan Sukarno pada masa Nasakom. NU sekarang diduga masuk dalam paham Nasakom, bahkan lebih parah. Terlepas dari tendensi di balik acara tersebut, saya ingin meluruskan persepsi keliru tentang reformasi agraria, seolah-olah itu konsep PKI.

Land reform versi PKI tidak lepas dari ideologi komunisme yang mereka yakini, dimana ideologi ini ingin mengembalikan segala alat produksi termasuk tanah menjadi milik bersama (komunal) yang dikelola negara dengan cara menghapus milik pribadi. PKI merampas tanah-tanah desa yang dikuasai oleh orang-orang kaya dan pejabat desa. Tidak jarang sampai membunuh tuan tanah dan pejabat desa yang mereka disebut sebagai setan desa.

Fakta ini bertolak belakang dengan reformasi agraria yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Presiden Jokowi membagi-bagikan sertifikat tanah ke masyarakat dari tanah negara. Dengan sertifikat tanah tersebut, tanah negara berubah menjadi tanah pribadi sang pemegang sertifikat. Diharapkan dari pemberian sertifikat tanah, distribusi kepemilikan tanah merata, dan rakyat bisa mengolahnya, sehingga meningkatkan taraf hidup mereka.

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi bukan barang baru. Nabi Muhammad saw dan Umar bin Khaththab pernah melakukan reformasi agraria. Tanah yang ditaklukan termasuk harta rampasan perang (al-Anfal). Pembagian harta rampasan perang hak prerogatif Nabi saw dan khalifah setelahnya. Setelah Rasululah saw berhasil membersihkan Khaibar dari Yahudi, tetapi mereka berkata, “Wahai Muhammad, biarkan kami tetap di tanah ini agar kami bisa mengolahnya. Kami lebih berpengalaman dalam hal ini daripada kalian." Dan memang Nabi saw dan para sahabat tidak punya tenaga untuk mengolah tanah itu dan tidak punya banyak waktu mondar-mandir mengelolanya.

Akhirnya, tanah Khaibar diserahkan pengelolaannya kepada orang-orang Yahudi dengan sistem bagi hasil. Besarnya pembagian diserahkan kepada Nabi saw, yang hitung-hitungannya dilakukan oleh Abdullah bin Rawahah. Beliau membagi tanah Khaibar menjadi 36 bagian. Setiap bagian dipecah menjadi 100 bagian. Totalnya ada 3.600 bagian. Setengahnya (1.800) menjadi hak Nabi saw dan kaum muslimin, separuhnya lagi untuk wakil-wakil beliau dan orang-orang yang menangani urusan umat Islam. (Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqal Makhtum SIrah Nabawiyah, 2016: 431; Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, Sirah Nabawiyah, 2017: 333-334)

Nabi saw melakukan reformasi agraria (land reform) dengan membagi-bagikan tanah dalam hal ini dari pengelolaan tanah kepada tentara yang turut serta dalam menaklukkan Khaibar. Pada masa Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau melakukan reformasi agraria dengan tidak membagi-bagikan tanah pertanian di Syria dan Irak yang ditaklukkan tentara muslim kepada mereka, tetapi justru kepada para petani kecil setempat. Kebijakan Umar diprotes kalangan sahabat. Dipelopori oleh Bilal, banyak sahabat menuduh Umar telah menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah. Menurut para pengkritiknya, Umar seharusnya membagi-bagikan tanah taklukan kepada para tentara yang menaklukkannya sebagai harta rampasan perang (al-Anfal).

Lagi pula Nabi saw sendiri telah membagi-bagikan tanah Khaibar kepada para tentara muslim. Sejarah mencatat, suasana Madinah selama tiga hari tegang. Umar akhirnya mendapat ketetapan hati setelah bermusyawarah dengan pembesar sahabat dan menjelaskan argumentasi beliau tidak membagikan tanah pertanian di Syiria dan Irak kepada pata tentara. (Nurcholish Madjid, Khazanah Intektual Islam, 1984: 5-6).

Dari empat praktik reformasi agraria di atas, kebijakan Presiden Jokowi lebih mirip dengan kebijakan pertanahan Nabi saw dan Umar bin Khaththab ketimbang land reform ala PKI. Nabi saw, Umar bin Khaththab dan Jokowi memberi tanah negara kepada rakyat untuk kesejahteraan mereka. Kebijakan bag-bagi sertifikat tanah oleh Jokowi jauh dari mirip dengan PKI. Wal hasil menganggap NU sekarang karena dengan Presiden Jokowi terjebak dalam politik neo-PKI, tidak lebih dari isapan jempol belaka. 

Tabik,
===================
Ayik Heriansyah
(Pengurus LD PWNU Jabar)