Mengenang Sang Guru 'Alif', K Hasan Bin Mu'ali Nyabakan Barat

 
Mengenang Sang Guru 'Alif', K Hasan Bin Mu'ali Nyabakan Barat

K Hasan Bin Mu'ali (Allahummaghfirlahu)/Istimewa


LADUNI.ID -- Beliau adalah K Hasan Bin Mu'ali Bin Nuru, pendiri dan pengasuh pertama Mushalla Al Hasani. Tepatnya di Dusun Rambuk, Desa Nyabakan Barat, Kecamatan Batang-Batang, Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Mengenang beliau, bukan sesuatu yang susah. Mengikuti sikap beliau, bagi saya selaku santrinya, mungkin sesuatu yang mustahil. Betapa tidak, tingkat keilmuan, kesabaran, ketelatenan beliau dalam membimbing santrinya, diluar kemampuan manusia seperti saya.

Sejak kecil, ketika saya masih terbilang bocah, mungkin masih berumur lima tahun, saya mulai nyantri di mushalla atau langgar yang beliau pimpin. Tidak seperti adat pada umumnya, awal saya nyantri, tidak diantar oleh orang tua. Saya ikut mereka yang sudah lebih dulu nyantri.

Baru beberapa hari kemudian, kedua orang tua saya, menitipkan dan menyerahkan saya pada beliau. Dirumahpun, dilaksanakan selamatan, sebagai pertanda saya seorang santri, meskipun bukan di pondok pesantren ternama. Selamatan itu, juga bentuk doa, saya mendapat keberkahan dari yang Maha Kuasa.

Setiap pagi, kami, santri di mushalla itu ngaji, dibimbing langsung sang kiai. Satu per satu, kami dibimbing mengaji. Mereka yang masih belajar huruf hijaiyah, hingga mereka yang sudah lancar membaca Al-Qur'an, kami diberlakukan sama.

Suatu contoh keadilan juga beliau ajarkan, meskipun kami tidak menyadari bimbingan itu. Mereka yang datang lebih dulu, dibimbing baca Al-Qur'an lebih dulu. Baru berikutnya yang datang ke dua. Begitupun seterusnya, kami ngantri sembari belajar sendiri.

Sisi lain, santri laki-laki, dikala malam, banyak nginap di mushalla yang didirikan beliau. Biasanya kami begadang hingga tengah malam, bahkan hampir subuh kami terbangun. Kebiasaan, jika seorang teman yang bangun lebih awal membangunkan santri lain, kami merasa malas untuk bangun.

Tapi entah mengapa, jika beliau, meskipun beliau tidak langsung membangunkan kami, beliau buka pintu Mushalla saja, seluru santri bangun berhamburan. Berebut tempat wudhu, untuk wudhu lebih dulu. Dan nunggu waktu subuh bersama beliau.

Banyak cerita unik dan mengesankan tentang beliau, baik semasa beliau masih hidup, bahkan hingga beliau wafat, ketika saya masih sekolah dasar dulu, hanya saja, saya lupa tahun berapa. Yang pasti, beliau wafat Hari Jum'at, tepat malam Maulid Nabi.

Salah satu cerita unik itu, ketika beliau masih hidup. Meskipun saya tidak menyaksikan sendiri, tapi saya yakin, itu sebuah kenyataan. Menurut menantu beliau, K Angkenna, yang saat ini menggantikan beliau, beliau sendiri yang menceritakan kisa itu.

Pernah suatu malam, tepatnya malam Rabu, beliau duduk di amperan dhalem (ruang tamu). Saat itu, tiba-tiba seperti ada yang melemparkan permen karet ke beliau. Dengan heran tanpa tau siapa yang melempar, permen karet yang nempel ke tembok rumah itu beliau buang. Anehnya, pagi hari, tidak ada sisa, bahkan bekas permen karet di tembok itu.

Di malam kedua, tepatnya malam Kamis. Tengah malam, beliau hendak shalat ke mushalla. Baru mau naik, kaki kanan melangkah, tiba-tiba ada seperti permen karet yang beliau injak. Lagi-lagi, beliau bersihkan dan buang benda seperti permen karet itu. Anehnya lagi, tidak ada sisa bahkan bekas permen karet di pintu mushalla.

Baru malam ke tiga. Tepatnya malam Jum'at, benda seperti permen karet itu diketahui. Beliau usai melaksanakan shalat malam di mushalla, beliau selesai berdzikir, kemudian beliau berdoa. Saat itu, entah apa yang terjadi. Jika beliau tertidur, namun kedua tangan beliau tetap terangkat. Jika tidak tertidur, belia seperti sedang bermimpi.

Dalam kondisi itu, seperti diceritakan banyak orang, hadir seorang perempuan, begitu cantiknya perempuan itu, laiaknya seorang bidadari. Perempuan itu membawa bayi, lalu diserahkan pada beliau. Perempuan itu pun mengucapkan sesuatu pada beliau (saya tidak paham apa yang diucapkan).

Sontak, beliau seperti terbangun. Tiba-tiba, didepan beliau kembali ada benda seperti permen karet itu. Beliau menyadari, benda itu pemberian Sang Ilahi. Diambillah benda itu, tidak semuanya, melainkan sebagian, karena beliau takut takabur pada Allah. Ternyata, benda itu yang kami kenal dengan kalengceng pote (putih).

Berikutnya, kejadian sehari sebelum beliau wafat. Hal ini diceritakan kakek saya sendiri, Adnan. Hari Kamis, kakek saya hendak ke sawah. Perjalanan menuju sawah harus melintasi mushalla. Karena K Hasan sedang sakit, kakek saya mampir untuk menjenguk.

Saat kakek saya masuk, beliau sedang berbaring di kasur (kami menyebutnya lencak, karen tidak ada kasurnya, namun hanya beralaskan tikar). Tiba-tiba, beliau meminta Bu Nyai (kami memanggil beliau Nyi Ngas) untuk menjemput kambing peliharaan yang saat itu sedang dikembala di sawah. Berangkatlah beliau.

Sejak Bu Nyai berangkat, Kiai Hasan mengajak kakek saya bersalaman. Lama saling tidak melepas tangan, bahkan sampai Bu Nyai datang. Saat bersalaman itu, Kiai Hasan menceritakan banyak hal pada kakek saya, termasuk menceritakan kisah perjalanan mereka saat pergi ke pengajian bersama-sama.

Saat itu, beliau mengucapkan sesuatu, yang membuat kakek saya tak kuasa menahan air mata. Beliau berkata, semoga mereka sama-sama senantiasa berjalan di jalan Allah. Beliau seperti orang pamit dan akan lama pergi. Beliau berkata, semoga kelak, mereka kembali dipertemukan di surgaNya. Sehari setelah itu, beliau pergi untuk selamanya.

Cerita mengesankan berikutnya, saat beliau hendak pergi menghadap Allah. Saat itu, tepat hari Jum'at, malam Sabtu saat itu adalah malam Maulid Nabi. Beliau menghembuskan nafas terakhir saat shalat, takbiratul ikhram pertama, tangan bersendekap, dengan kondisi tersenyum.

Cerita ini diceritakan orang yang berada disamping beliau saat itu, hanya saja, saya tidak tau namanya, saya mengenal beliau Bukna Erri (Ibunya Erri), yang masih ada hubungan keluarga dengan Kiai Hasan.

Diceritakan, saat itu sekira hampir jam 11 siang, beliau minta dibantu untuk bangun, karena kondisi tubuh beliau sudah agak lemah. Dengan tubuh yang sudah melemah itu, ternyata beliau ambil wudhu dengan tayammum menggunakan tembok rumah.

Setelah tayammum, beliau seperti hendak melaksanakan shalat. Kami merasa, beliau hendak shalat duha, karena waktu itu shalat jum'at belum dimulai. Dengan posisi asaren (tidur) aolo ka daja (kepala di utara), beliau mengangkat tangan pertanda takbiratul ikhram, setelah itu, tangan beliru bersedekap.

Lama ditunggu, beliau tetap dengan posisi yang sama, tidak ada gerakan lagi, dengan kepala menoleh ke arah barat (kiblat), dengan bibir tersenyum, ternyata beliau telah meninggalkan kami selaku santrinya untuk selamanya. Beliau meninggalkan kami dalam posisi beliau sedang shalat, hari Jum'at, malam Maulid Nabi. Subhanallah.

Berikutnya, saat beliau disemayamkan. Beliau disemayamkan di pemakaman umum Asta K Lasir, di Dusun Birampak, Desa Jenangger. Jaraknya, sekitar 800 meter dari Mushalla Al Hasani. Meskipun beda desa, namun agak dekat. Karena Mushalla Al Hasani berada di perbatasan Desa Nyabakan Barat dengan Jenangger.

Saat beliau dikebumikan, sesuatu yang aneh terjadi. Tanah galian kuburan, tidak cukup saat digunakan untuk menutup liang lahat. Tanah itu kurang, bahkan, diambilkan tanah di ladang lain, namun tanah itu tetap kurang. Tanah itu seperti lebih dalam dengan sendirinya. Subhanallah. Wallahua'lam

Diceritakan oleh kakek saya, Subiddin, saat itu yang hendak membacakan talqin di pemakaman beliau adalah Kaiai Mu'thamat (mohon maaf jika penulisan nama keliru), dari Parsanga, Kecamatan Kota, Sumenep. Melihat kondisi tanah yang tak kunjung cukup itu, Kiai Mu'thamat berkata, yang maskudnya, apa yang beliau miliki, yakni ilmu dan kealiman yang beliau miliki agar tidak dibawa semua, sisakan untuk anak cucunya.

Sontak, setelah Kiai Mu'thamat berkata yang maksudnya demikian, tiba-tiba tanah itu cukup. Namun tidak seperti laiaknya kuburan pada umumnya, gundukan kuburan itu sangatlah tipis, mungkin hanya sekepal tangan. Menurut kakek saya, jika orang itu orang alim, orang yang dicintai Allah, tanah pun takut untuk menindih jasad orang itu. Subhanallah. Wallahua'lam....

Berikutnya, cerita yang saya alami sendiri, beberapa bulan setelah beliau wafat. Hari raya Idul Fitri pertama setelah beliau wafat, setelah shalat subuh, bau harum semerbak di Mushalla Al Hasani. Bagi saya, harum itu seperti bunga melati, teman yang lain, menyebutnya seperti bunga kesturi.

Saat itu, Shalat Subuh berjamaah dipimpin putra pertama beliau, Ustad Syaikhona Hasan. Saat ini, Ustad Syaikhona menjadi abdi negara di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Jogjakarta. Setelah shalat subuh, beliau meminta kami, membersihkan mushalla bersama-sama dengan beliau.

Saat kami dengan Ustad Syaikho menyapu lantai mushallah, tiba-tiba datang harum itu, kami semua mencium dan merasakan harumnya. Bagi saya, tiba-tiba udara sejuk. Tidak lama harum itu seperti hilang. Namun, setelah kami ramai-ramai terheran dan harum itu hilang, harum itu juga tercium di dhalem (rumah pribadi) beliau, bahkan seperti berjalan menuju tempat wudhu di belakang rumah beliau. Subhanallah. Wallahu'alam

Masih banyak cerita lain dari beliau yang tidak mungkin saya tulis satu persatu. Yang pasti, kami yakin, beliau adalah Waliyullah. Wallahua'lam. Kami selalu merindukan sosok beliau. Beliau boleh tida, namun tauladan yang beliau ajarkan akan senantiasa melekat di jiwa kami, Santri Mushalla Al-Hasani. Semoga beliau senantiasa di sisiNya. Semoga kami para santri, bisa dipertemukan kelak di surgaNya. Amin.

Bagi keluarga besar K Hasan Bin Mu'ali, saya mohon maaf, cangkolang telah berani menulis ini. Nyi Ngas, Ustad Syaikho, Ustda Kadir, Nyi Maskina, dan kepada seluruh keluarga besar K Hasan Bin Muali, saya mohon maaf lancang menulis kisah ini.

Sebuah Catatan
Mengenang Guru Alif ku, Kiai Hasan Bin Mu'ali.
Jenangger, 29 Desember 2019
Abdus Salam