Memahami Makna Setan Dibelenggu di Bulan Puasa

 
Memahami Makna Setan Dibelenggu di Bulan Puasa

LADUNI.ID, Jakarta - Puasa yang bahasa Arabnya Shoum atau shiyam secara etimologi adalah menahan (imsak). Menahan diri dari kemadharatan atau mara bahaya yang akan menimpa diri kita. Menahan makan dan minum agar tidak berlebihan sehingga mendatangkan penyakit. Menahan mulut dari omongan fahisy. Menahan pandangan dari melihat hal yang tidak diperbolehkan. Menahan tangan dan kaki dari berbuat dhalim. Menahan hati dari besitan dan prasangkan yang tidak baik. Menahan pikiran dari berfikir negatif. Menahan diri dari pengrusakan alam. Dan juga menahan diri dari kerakusan duniawi. Semua itu kita lakukan agar terhindar dari mala petaka baik secara horisontal maupun vertikal.

Puasa adalah ofensif defensif bukan menyerang. Maka tidak ada ruang bagi setan untuk menggoda orang yang berpuasa dan hawa nafsu tertahan habis untuk dapat menyesatkannya. Dan puasa mengantarkan kepada kita tujuan akhir yairu ketaqwaan. Taqwa adalah ketakutan kita dari bahaya yang menimpa. Karena asal makna taqwa adalah wiqoyah yang artinya jaga diri. Jadi, kata shoum dan taqwa adalah makna yang manunggal yang harus kita letakkan dalam diri kita.

Berarti kalau demikian, puasa adalah metode ampuh untuk mempertahankan diri dari tipu muslihat setan. Dan setan dibuat tidak berdaya apa-apa untuk bisa menggoda kita. Inilah makna setan diikat di bulan puasa. Bukan berarti punya makna konotatif setan yang diikat oleh Allah di bulan puasa. Kalau memang makna ini benar, kenapa di bulan puasa banyak orang yang tergoda oleh setan dengan melakukan maksiat bahkan notabenenya muslim malah ia tidak berpuasa?

Puasa sejatinya mencetak insan kamil. Seumpama semua orang melakukan dengan makna sebenarnya, maka sangat berpengaruh bagi keteraturan alam semesta. Kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan akan kita capai.

Orang yang berpuasa seharusnya menjadi pribadi yang telah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang indah nan menyenangkan bagi Allah dan makhluk-Nya.


*) Artikel ditulis oleh Hamid Luthfie, Alumnus UIN Sunan Kalijaga