Kisah KH Sholeh Qosim yang Wafat dalam Keadaan Bersujud

 
Kisah KH Sholeh Qosim yang Wafat dalam Keadaan Bersujud

LADUNI.ID, Jakarta - Kiai Sholeh Qosim sudah tidak asing bagi Nahdliyyin. Kiai kelahiran Sidoarjo 1930 ini, dikenal sebagai kiai yang konsisten memegang Khitthah NU. Di samping itu, keteguhannya dalam menegakkan NKRI tak perlu diragukan lagi.

Menurut penuturan Gus Miftah, beliau berpulang saat melaksanakan salat Maghrib sujud tidak bangun. Tasbih pun masih di tangan Kiai Sholeh Qosim. Beliau berpulang ke rahmatullah di Ngelom, Sepanjang, Sidoarjo, malam Jum’at 10 Mei 2018 dalam usia 88 tahun. Kewafatan yang indah. Semoga Allah Swt. memuliakan beliau di sisiNya. Aamin.

Ketika kita mengenal lebih jauh mengenai sosok KH Sholeh Qosim, mulut beliau tak henti-hentinya berzikir menyebut asma Allah. Di samping tempat duduknya ada banyak kitab, bertumpuk dan tebal. Dia tampaknya tak mau jauh dari kitab-kitab tersebut. Barangkali sudah ‘makanan’ sehari-harinya.

Itulah keseharian KH. Sholeh Qosim, Pengasuh Pondok Pesantren Bahauddin Al-Islami, Ngelom, Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur. Meski usianya sepuh, namun tutur kata dan gesturnya masih gesit.

Dalam peringatan HUT ke-72 TNI, 5 Oktober 2017, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta Presiden Joko Widodo untuk menyerahkan tumpeng kepada tiga orang terpilih. Mereka adalah Paimin (92 tahun) dan Kiai Sholeh Qosim (87 tahun), dua pejuang bersenjata di masa lalu, dan Pangkostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi, sebagai wakil TNI masa kini.

KH. Sholeh Qosim saat perang kemerdekaan bergabung menjadi anggota laskar Sabilillah tahun 1943 dan berjuang pada 10 November di Surabaya. Peran pejuang muslim dan santri di era kemerdekaan sangat penting.

Pada kurun 1943-1945, kaum Muslim terlibat dalam perjuangan mempertahankan NKRI. Saat itu hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar jihad. Paling populer dan dikenal hingga sekarang adalah Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Pembentukan laskar ini didahului oleh Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Oktober 1945. Namun pembentukan ini tidak mudah.

KH. Sholeh Qosim bercerita, saat itu Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU, sowan ke kediaman Kiai Cholil Bangkalan. Dia mengutarakan maksud dan tujuan. Oleh Kiai Cholil, Kiai Hasyim disarankan membaca surat Ghafir sebanyak 99 kali selama 41 hari.

Usai menyelesaikan bacaannya, Kiai Hasyim langsung menemui ayahnya. Namun tanpa mengutarakan maksud, sang ayah langsung menyuruh Kiai Hasyim meneruskan apa yang hendak dilakukan.

Walhasil, berbekal kematangan ilmu Kiai Hasyim, seluruh ulama-ulama dikumpulkan. Maka dibentuklah laskar Ahlussunnah wal Jamaah yang berpedoman pada Alquran, hadits, ijma’ dan qiyas. Pada 21 Oktober 1945, para kiai se-Jawa dan Madura berkumpul di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.

Di sinilah cikal bakal munculnya laskar Sabilillah dan laskar Hizbullah yang bertujuan untuk membantu perjuangan. Kedua laskar ini didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual Kiai Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar Sabilillah dipimpin oleh Kiai Masykur. Konon, pemuda pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) adalah pemasok paling besar dalam keanggotaan Hizbullah.

Di bawah pimpinan Kiai Hasyim Asy’ari, para kiai se-Jawa dan Madura berkumpul pada 22 Oktober 1945 untuk mendeklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”. Di sinilah cikal bakal munculnya laskar Sabilillah.

Kata KH. Sholeh Qosim, laskar Hizbullah dan laskar Sabilillah memiliki tugas masing-masing. Laskar Hizbullah diisi dengan pejuang dan santri muda. Mereka turun dalam pertempuran fisik. Sedangkan laskar Sabilillah diisi dengan kalangan ulama. Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.

Meski tidak semua laskar Sabilillah terjun ke medan tempur, tapi mereka selalu berada di belakang laskar Hizbullah. Kiai Qosim sendiri berada di tengah-tengah antara keduanya. Namun sebagai santri yang dekat dengan ulama, saat itu dia lebih banyak membantu perjuangan laskar Sabilillah.

“Saya justru kebagian tugas mencuri. Tapi jangan disalahartikan, mencuri saya bukan dalam konotasi buruk. Saat itu banyak laskar Hizbullah tidak memiliki senjata untuk berperang. Nah, saya ditugasi oleh para ulama untuk masuk ke benteng pertahanan musuh (Belanda) untuk mencuri senjata,”urainya.

Ya, menyediakan persenjataan dan amunisi sudah menjadi tugas Kiai Qosim dan teman-teman seperjuangannya di laskar Sabilillah. Namun untuk masuk ke markas musuh tidak sembarangan.

“Di sinilah peran ulama dan kiai. Mereka banyak yang memiliki karomah. Setiap mau bergerak, kita selalu diberi doa-doa khusus. Masuk ke jantung pertahanan musuh kita selalu dibekali pasir. Bekal itu kita sebar ke markas musuh. Alhamdulillah dengan itu kita menjadi orang yang tidak terlihat oleh musuh. Dan setelah senjata dikuasai, senjata-senjata itu kemudian diserahkan ke laskar Hizbullah,” ujar Kiai Qosim.

Diakui Kiai Qosim, memang tidak banyak orang percaya dengan karomah yang dimiliki ulama, apalagi di jaman sekarang orang cenderung meremehkan ulama. Jujur, saat itu kehebatan para ulama sangat ditakuti penjajah. Kiai Qosim masih ingat ketika dia diberi tusuk sate (sujen) yang ditanam di tanah.“Saya baru percaya setelah melakukannya sendiri. Begitu sujen ditanam, Belanda di depan saya tidak bisa melihat,” tuturnya.

Kehebatan lain, ada ulama Sabilillah asal Cirebon yang cukup menggunakan jari telunjuk untuk menjatuhkan pesawat Belanda yang melintas. “Itu kalau bukan golongan waliyullah tidak bisa. Bayangkan cuma pakai jari telunjuk pesawat bisa jatuh. Ada lagi laskar Sabilillah yang melawan tank musuh dengan ketapel diisi dengan batu kerikil. Tapi berkat doa para kiai, tank-tank itu bisa hancur,”ungkap Kiai Qosim.

Saat perjuangan, Kiai Qosim tidak menampik banyak hal-hal di luar nalar dilakukan para kiai. Namun bukan itu saja kemampuan laskar Sabilillah. Paling utama, menurut Kiai Qosim, adalah menyusun strategi lahir batin. “Saat itu kita punya prinsip yang diterapkan pada laskar-laskar muda Hizbullah yakni maju hidup merdeka mati surga, atau mundur hidup dijajah mati neraka,” terangnya.

Kiai Qosim mengutip sebuah ayat yang sering dijadikan dasar perjuangan laskar Sabilillah dan laskar Hizbullah; Qolat innal muluka idza dakholu qoryatan afsaduha wa ja’alu a’izzata ahliha adzillah wa kadzalika yaf’alun, yang artinya sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina.

“Para kiai selalu memandang penjajah kalau masuk negara akan membuat derajat pemimpin direndahkan, kalau sudah begitu akhlak rakyat rusak. Maka jalan satu-satunya adalah bertempur. Inilah yang membuat semangat para pejuang membara. Mereka jihad untuk mati syahid,” kata Kiai Qosim.

Arti jihad, lanjut KH. Sholeh Qosim, adalah berperang di jalan Allah. Hanya mati syahid yang mereka cari. Tapi jangan disamakan dengan jihadnya para teroris jaman sekarang yang berjihad mencari mati syahid dan bukan demi Allah. Saat itu jihad bersungguh-sungguh untuk mencari ridha Allah.

Seperti yang dialami ulama laskar Sabilillah asal Bangil Pasuruan yang bernama Kiai Mahfudz. Dia diketahui tewas saat bertempur. Tapi begitu tahun berganti tahun, jenazah Mahfudz digali dan hendak dipindahkan. Seorang penggali makam, masih tetangga Kiai Qosim, bercerita bahwa jasad Kiai Mahfudz masih utuh.

Tidak hanya itu, jasadnya mengeluarkan bau harum. Semangat ini yang kemudian menjadi dasar semangat perjuangan anak bangsa yakni melandasi atas sebuah kredo yang menyebut hidup mulia atau mati sahid, selanjutnya istilah ini berkembang di kalangan para pejuang dengan lebih singkat menjadi ‘merdeka atau mati’.

“Itu adalah bukti jihad yang sebenarnya. Para pejuang kala itu murni berjihad demi agama dan negaranya. Mereka berperang dengan segenap kekuatan yang mereka miliki. Kehadiran para ulama dalam perjuangan terutama dengan turunnya KH. Masykur dalam pertempuran, menumbuhkan perasaan positif bagi pejuang Islam lain. Anggota laskar Sabilillah saat bertempur di Surabaya berasal dari sejumlah ulama dan pesantren di seluruh wilayah Jawa Timur. Mereka berkumpul dan bertempur di Surabaya bersama di bawah bendera Laskar Sabilillah dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia yang usianya masih terhitung bulan,” kenang Kiai Qosim.

Secara tekad, laskar Sabilillah dan Hizbullah merupakan salah satu barisan tentara non-militer paling kuat. Pada dasarnya karena berasal dari golongan ulama dan santri, tidak banyak anggota laskar ini yang memiliki pengalaman perang. Selain itu mereka juga hanya menggunakan senjata-senjata curian yang sebenarnya tidak tahu kegunaannya. Oleh karena itu, mereka ditempatkan sebagai salah satu pasukan pembantu yang membantu menjaga garis pertahanan pasukan Republik Indonesia.

Dengan pengalaman dan persenjataan yang minim, kata Kiai Qosim, sebenarnya senjata utama laskar ini adalah semangat dan keberanian yang tinggi. Walaupun memiliki modal yang tak banyak, pada akhirnya laskar Sabilillah dan Hizbullah tetap maju ke garis terdepan pertempuran untuk meningkatkan semangat perjuangan para prajurit. Hasilnya, wilayah Surabaya menjadi sangat sulit ditaklukkan oleh pasukan sekutu dan pertempuran berlangsung berlarut-larut.

Pada akhirnya, pertempuran di Surabaya benar-benar berhenti ketika digelar gencatan senjata pada 14 Oktober 1946. Laskar Sabilillah menunjukkan bahwa perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh umat Islam merupakan salah satu penyokong dari bertahannya kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Peran kiai dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang merupakan cikal bakal terbentuk TKR, ABRI atau TNI. Dan enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir separuh komandannya adalah para kiai.

(Syaroni As-Samfuriy)