Manakib Waliyullah Mbah KH. Dimyati bin Abdullah bin Abdul Manan Tremas

 
Manakib Waliyullah Mbah KH. Dimyati bin Abdullah bin Abdul Manan Tremas

LADUNI.ID, Jakarta - Setiap tanggal 17 Muharram, keluarga besar Pesantren Tremas Pacitan memperingati haul salah satu pengasuhnya, KH Dimyathi Abdullah. Haul bertujuan mengenang kiprah, perjuangan, dan meneladani Kiai Dimyathi dalam mendidik para santri. Kiai Dimyathi yang wafat pada 1934 M bukan lain ialah adik dari ulama yang masyhur di bidang keilmuan, Syekh Mahfuzh Attarmasi.

Seperti yang tampak pada Jumat malam (6/9) ribuan orang memadati kompleks Pesantren Tremas Pacitan, mereka yang terdiri dari masyarakat, santri dan alumni dari berbagai daerah dengan khidmat mengikuti peringatan haul ke-82 dengan membaca kalimat toyyibah tahlil yang dipimpin oleh Rais Syuriyah PCNU Pacitan KH Abdullah Sadjad.

Rangkaian haul dimulai sejak Kamis malam (5/9). Diawali dengan semaan Al-Qur’an dan ziarah ke makam para sesepuh maqbaroh Gunung Lembu. Tampak hadir dalam acara haul ini, KH Fuad Habib, KH Luqman Harits, KH Burhanudin HB, Kiai Abdul Mukti, dan kiai lainya.

Kiai Dimyathi mengasuh Pesantren Tremas mulai tahun 1894 hingga 1934. Kiai Dimyathi memiliki peran yang sangat besar dalam membesarkan Pesantren Tremas hingga dapat berkembang seperti sekarang ini.

Kiai Dimyathi lahir pada Jumat Legi, 26 Shafar 1296 Hijriyyah bertepatan dengan tanggal 18 Februari 1879 M di Desa Tremas, Kecamatan Arjosari, Kabupaten Pacitan. Kiai Dimyathi adalah putra ke-4 dari pasangan KH Abdullah dan Nyai Aminah.

Setelah belajar langsung kepada ayahnya, Kiai Dimyathi muda, bersama adiknya Kiai Abdurrazaq diajak ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sambil melanjutkan studinya di Makkah, menyusul kakaknya Syaikh Mahfudz, yang sudah dulu bermukim dan menjadi guru besar disana.

KH Dimyathi tak kenal lelah dalam menimba ilmu. Usia remaja Kiai Dimyathi dihabiskan untuk belajar kepada para guru terbaik di masanya, khususnya di tanah arab hingga Asia Tengah.

Waktu terus bergulir, hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun. Tidak terasa hampir 16 tahun Kiai Dimyathi bermukim di tanah Arab. Kesungguhanya dalam menuntut ilmu telah membuat tinggi pengetahuan agamanya.

Setelah ayahnya, Kiai Abdullah, wafat di Makkah pada tahun 1894, dua tahun kemudian Kiai Dimyathi kembali ke tanah air. Kiai Dimyathi kembali ke Tremas untuk meneruskan kepemimpinan Pesantren Tremas, yang sejak keberangkatan Kiai Abdullah, Pondok Tremas diserahkan kepada menantunnya, Kiai Zaed bin Taslim Basyaiban dari Tirip, Purworejo.

Sekembalinya dari tanah suci, Kiai Dimyathi lalu menikah dengan Nyai Khatijah binti KH Abdur Rahman pada hari Kamis 7 Rajab 1323 H, atau 6 September 1905 M. Saat itu Kiai Dimyathi berusia 27 tahun sedangkan isterinya, Nyai Khadijah berusia 14 Tahun. Dari pernikahan ini, Kiai Dimyathi dikarunia 8 putra-putri. Berturut-turut: Nyai Hafshoh, Kiai Hamid, Nyai Hamnah, Nyai Halimah, Kiai Habib, Nyai Habibah, Kiai Hasir, dan Kiai Harits.

Kiai Dimyathi memiliki kepribadian yang luar biasa, bersahaja dan luhur ahlaknya. Pribadinya telah mencerminkan sosok yang alim, figur seorang kiai. Sehingga wajarlah bila saat itu, banyak santri dari Nusantara yang berguru kepadanya.

Karena ketinggian dan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Kiai Dimyathi, oleh para santrinya Kiai Dimyathi lebih dikenal dengan panggilan “Mbah Guru”. Kiai Dimyathi dikenal sebagai seorang kiai yang sangat alim dalam berbagai disiplin ilmu. Di antarnya alim dalam bidang ilmu fiqih, ilmu faroid dan juga ahli Al-Qur’an.

Di bawah kepemimpinan Kiai Dimyathi, Pesantren Tremas Pacitan pernah mengalami masa keemasan dengan jumlah santri mencapai 2 ribuan. Karomah dan kealimannya dalam berbagai ilmu diakui oleh para ulama nusantara. Sentuhan Kiai Dimyathi melalui pendidikan pesantren melahirkan alumni yang mumpuni di bidangnya. antara lain: KH Ali Maksum Krapyak, KH Abdul Hamid Pasuruan, KH Muntaha Alhafidz Kaliibeber Wonosobo, KH Muslih Mranggen Demak, Prof Mukti Ali (Menteri Agama RI era presiden Soeharto), dan para kiai serta tokoh lainya.

Seperti kakaknya, Syekh Mahfuzh, KH Dimyathi juga memiliki karangan kitab. Akan tetapi karya Kiai Dimyathi itu hingga saat ini belum ditemukan. Hal ini lantaran pada tahun 1966 terjadi banjir bandang yang melanda Tremas. Ketinggian air konon hingga sampai atap rumah. Sehingga banyak harta benda, dan tentunya kitab-kitab milik Kiai Dimyathi yang ikut hanyut dan tidak terselamatkan.

Kiai Dimyathi memimpin Pesantren Tremas kurang lebih 41 tahun. Kiai Dimyathi berhasil meneruskan tonggak sejarah yang telah diwariskan oleh kakeknya, KH Abdul Manan Dipomenggolo.

 


Keterangan Foto:

  1. Waliyullah Mbah KH. Dimyati Abdullah
  2. Maqom Waliyulloh Mbah KH. Dimyati di komplek Maqbaroh Masyayikh Pondok Tremas