Karomah Habib Ja’far Alkaf: Bisa Mengetahui Santet dari Jarak Jauh

 
Karomah Habib Ja’far Alkaf: Bisa Mengetahui Santet dari Jarak Jauh

LADUNI.ID, Jakarta - Kira kira tahun 2006-an. Waktu itu aku belum nikah. Suatu malam menjelang jam 1 dini hari, aku masih terjaga dan belum mengantuk. Entah karena apa, tiba tiba terbersit dalam hatiku suatu kalimat yang jelas, “Segeralah Tadarus Quran”.

Suara hati itu coba kutepis. Karena selama ini, aku tidak terbiasa tadarus Quran tengah malam. Semakin aku menolak, bisikan hati itu semakin kuat. Lalu aku berwudhu. Sholat sunah 2 rokaat, dan mulai tadarus Quran. Baru tadarus beberapa halaman, tiba-tiba ada suara yang sangat keras, sepertinya suara tersebut tepat di atas di genteng yang aku berada di bawahnya. Duarrrrrr! Sangat keras. Dan mengagetkan.

Aku tak tahu ini suara apa. Lantas tiba-tiba hatiku berbisik dan berkata, 'Ini santet!'. Tubuhku merinding. Segera aku teruskan tadarus Quran dan membaca segala macam wirid. Berdegub keras jantungku. Dan perasaan waswas semakin melanda. Tidak bisa tidur sampai subuh.

Usai shalat subuh aku tanya sama ummiku (ibuku), apakah mendengar suara keras. Dijawab tidak mendengar sama sekali. Aku penasaran. Segera aku lihat genteng. Apakah ada bekas-bekas mercon yang mungkin dinyalakan orang iseng. Di atas genteng tidak ada sesuatu apapun. Semakin penasaran. Apa yang terjadi malam tadi.

Hingga jam 8 pagi tidak bisa tertidur. Masih berpikir tentang kejadian semalam. Tiba tiba handphone berdering. Kuangkat. Suara di seberang telpon adalah suara Habibana Ja'far bin Muhammad Alkaf. Kalimat pertama yang diucapkan beliau adalah pertanyaan “Vel, Kowe selamet yaa (Vel, kamu selamat yaa)?”. Belum sempat kujawab, beliau sudah berkata lagi “Kuwi sing nyerang kowe, wong sing iri karo kowe (Itu yang menyerangmu adalah orang yang iri sama kamu)”.

Aku belum menjawab. Beliau kembali berkata, “Ono sing meh nyantet kowe (ada yang mau menyantetmu)”. Lalu Habib Ja'far marah dan berkata “Nek mbok balikke wonge mati (kalau engkau kembalikan santetnya orangnya mati)”. Beliau marah sekali. Berkali-kali bilang, “Sing meh nyantet kowe kuwi, wong sing iri karo kowe (orang yang mau menyantetmu adalah orang yang iri sama kamu)”.

Aku belum pernah melihat Habib Ja'far marah seperti ini. Bahkan hingga beliau wafat pun aku tidak pernah melihat beliau semarah ini. Lalu aku berkata, “Wes aku didoakke wae Bib, sing penting aku selamet (sudah, aku didoakan saja bib, yang penting aku selamat bib)”. Marah beliau mulai mereda dan berkata, “Iyo, sing penting kowe selamet, tak doakke mbok amini yo (iya, yang penting kamu selamat. Nanti aku doa ntar kamu amini yaa)”. Habib Ja'far berdoa dan aku mengaminkan. Telpon ditutup.

Aku masih bingung. Ini ada apa? Siapa yang memberitahu Habib Ja'far? Aku di Semarang, Habib Ja'far di Jakarta. Padahal ummiku yang serumah tidak aku beri tahu. Lalu kutelepon Mbah Fauzi, nomer orang yang menelponku. Mbah Fauzi cerita, jam 8 pagi itu Habib Ja'far masuk ke kamarnya dan berkata, “Novel telpon Saiki (Novel telpon sekarang)”. Kemudian aku ditelpon. Lalu kuceritakan peristiwa tadi malam tersebut sama Mbah Fauzi.

Beberapa waktu kemudian aku ke Jakarta. Dan bertanya kepada Habib Ja'far tentang peristiwa itu, lalu beliau menjawab, “Kowe arep disantet, tapi santetnya ora keno soale meledak (kamu akan disantet, tapi tidak kena karena meledak terlebih dahulu).

Alhamdulillah, aku tidak bertanya kepada Habib Ja'far tentang siapa orang yang berniat jahat kepadaku tersebut. Aku yakin beliau pasti mengetahui orangnya. Lalu beliau berkata, “Ora opo-opo, sing penting kowe selamet. Wonge wes wedi karo kowe (Tidak apa apa, yang penting kamu selamat. Orang yang mau menyantetmu kini sudah takut sama kamu)”.

Itulah sebagian karomah Habibana Ja'far. Aku tidak memberi tahu peristiwa malam itu kepada siapapun. Tapi beliau tahu. Padahal aku di Semarang, dan beliau di Jakarta. Subhanallah. Madad Yaa Waliyullah. (*)

***

Penulis: Nouval Muthahar
Editor: Muhammad Mihrob