Biografi KH. Muhammad Djunaidi, Pengurus Majelis Konsul NU Jakarta

 
Biografi KH. Muhammad Djunaidi, Pengurus Majelis Konsul NU Jakarta

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Hijrah ke Solo
3.2  Kiprah di Nahdlatul Ulama

4.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
KH. Muhammad Djunaidi lahir pada tanggal 2 Februari 1906 di Kwitang, Jakarta. Beliau merupakan putra dari pasangan KH. Abdul Azis (Kwitang) bin Sainan dengan Nyai Hj. Hasnah binti H. Dahlan bin H. Alwi.

Menurut keterangan berbagai sumber, Kyai Djunaidi merupakan sahabat akrab KH. Abdul Wahid Hasyim, ayahanda Gus Dur. “Jika bertemu, mereka kerap berbincang dalam bahasa Arab bergaya sastra,” kisah almarhum Hussein Badjerei, tokoh Al-Irsyad asal Tanah Abang. Persahabatan keduanya diteruskan oleh putra-putranya yakni H. Mahbub Djunaidi (tokoh Pers) dan KH. Abdurahman Wahid dalam lingkungan Nahdlatul Ulama.

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Muhammad Djunaidi menikah dengan Nyai Hj. Muhsinati. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai satu putra dan enam putri, diantaranya:

  1. Mahbub Djunaidi,
  2. Muhibbah,
  3. Masfufah,
  4. Masrofah,
  5. Mussofah,
  6. Masykur,
  7. Muyasarah.

KH. Muhammad Djunaidi kemudian menikah kembali dengan Nyai Hj. Nurmalih. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai 5 orang anak, yakni:

  1. Fathurrahman,
  2. Fauziah,
  3. Fu’ad,
  4. Fadlan,
  5. Farhatin.

1.3 Wafat
KH. Djunaidi wafat pada 28 Oktober 1958 M, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Karet, Tanah Abang, Jakarta.

Pada Pemilu tahun 1955, KH. Djunaidi terpilih menjadi anggota DPR RI dari Partai NU mewakili daerah pemilihan Djakarta Raya. Jabatannya di DPR RI, digantikan oleh H. A. Mursjidi.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Kyai Djunaidi kecil tumbuh dalam lingkungan yang religius, yakni di daerah Kwitang Jakarta, di mana terdapat banyak ulama besar saat itu antara lain: Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang).

Semasa remaja, Kyai Djunaidi mengenyam pendidikan di Madrasah Jamiat Kheir, sebuah sekolah Islam modern pertama di Betawi. Peneliti sejarah, Alwi Al-Atthas, menerangkan model pendidikan di sekolah Jamiat Kheir waktu itu sudah mirip sekolah umum seperti sekarang, hanya muatan utamanya adalah ilmu-ilmu agama atau keislaman. Selepas belajar di Jamiat Kheir, Kyai Djunaidi melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang atas.

Semasa hidupnya, Kyai Djunaidi merupakan potret seorang anak yang sangat hormat dan berbakti kepada orang tua. Meskipun beliau seorang pejabat dan ulama, beliau tetap meminta pendapat orang tuanya mengenai khutbah yang akan disampaikan kepada umat. Ibunya duduk dan beliau bersila di depan ibunya, sembari membacakan naskah khutbah yang akan beliau sampaikan. Pun ketika hendak berangkat, beliau tidak akan meninggalkan rumahnya sebelum mencium tangan ibunya.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Hijrah ke Solo
Pada saat Belanda melancarkan agresi militer dan beraneka macam perjanjian yang mengiringinya, mengakibatkan Kyai Djunaidi bersama keluarganya, keluar dari Jakarta untuk pindah ke Solo. Di Solo, Kyai Djunaidi tinggal di daerah Kauman, tidak jauh dari kompleks Masjid Agung Surakarta.

Di tempat tinggalnya yang baru ini, keluarga Mahbub menempati sebuah pendopo. Meski luas, namun tidak ada perabot yang tersedia. “Berhubung pemerintah sendiri masih repot, urusan rumah bukan menjadi perhatiannya,” kata Kyai Djunaidi memberi pengertian kepada keluarganya.

Sementara itu, putranya yang pertama, Mahbub, yang kala itu berusia sekitar 13 tahun, sempat dimasukkan ke sekolah partikelir Muhammadiyah. Namun, belum genap sebulan ia pindah lagi ke SDN No. 27 Kauman, yang terletak di sebelah utara Masjid Agung dan tidak jauh dari rumah keluarga Mahbub saat tinggal di Kota Bengawan. Selain bersekolah di SDN Kauman, di waktu siang hingga menjelang maghrib, Mahbub juga menimba ilmu di salah satu sekolah agama yang termasyhur di Kota Solo, Madrasah Mamba’ul Ulum.

Kyai Djunaidi muda kemudian mulai menapaki karirnya sebagai penghulu, kemudian di Shumubu (Kantor Departemen Agama di masa pendudukan Jepang) dan berlanjut pada saat Republik Indonesia mendirikan Kementerian Agama di bawah pimpinan KH. M. Rasjid. Kyai Djunaidi masuk di bagian Mahkamah Islam Tinggi, yang diketuai Prof. KH. R. Moh. Adnan dari Surakarta.

Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda, dengan alasan keamanan dan sesuai Keputusan Presiden, mulai tanggal 1 Januari 1946 kantor Mahkamah Islam Tinggi (MIT) yang sebelumnya berada di Jakarta dipindahkan ke Surakarta di bawah pimpinan H. Moh. Djunaidi, yang ketika itu menjabat sebagai panitera pengganti.

Alhasil, ketika hijrah ke Surakarta, Kyai Djunaidi mengemban amanah sebagai panitera MIT sekaligus pimpinan Bagian B (hukum) Kementerian Agama, yang membawahi 4 seksi, yakni Urusan Jawatan Agama Daerah, Urusan Penghulu, Urusan Hakim Agama, dan Urusan Wakaf. Pada perkembangannya, saat dipimpin Kyai Djunaidi, Bagian B (hukum) tersebut berganti menjadi Biro Peradilan Agama.

3.2 Kiprah di Nahdlatul Ulama
Pada saat pindah lagi ke Jakarta, Kyai Djunaidi juga bergabung bersama pengurus NU Konsul Jakarta, yang dipimpin oleh KH. Zainul Arifin. Seperti yang dikisahkan KH. Saifuddin Zuhri di buku Berangkat Dari Pesantren. Kala itu KH. Saifuddin mendapat tugas dari PBNU yang masih berpusat di Surabaya, untuk menghubungi sejumlah pengurus NU di berbagai daerah. beliau pun berkunjung ke Majelis Konsul (kini disebut pengurus wilayah) NU Jakarta dan sempat singgah di rumah KH. Djunaidi, di Kebon Kacang, Tanah Abang.

“H. Muhammad Djunaidi, sekretaris Majelis Konsul NU Jakarta, membawa aku ke rumahnya di Kebon Kacang, Tanah Abang, untuk makan malam. Dari sana, dengan kendaraan delman, aku dibawa ke rumah Tuan KH. Zainul Arifin, Konsul NU, terletak di Kampung Bukit Duri Tanjakan Jatinegara. Telah menunggu di sana, kecuali Sohibul bait, KH. Shodri, KH. Mansur, KH. Abdurrozaq, H. Saprin, Ahmad Fathoni, dan lain-lain pengurus Majelis Konsul NU Jakarta,” tutur KH. Saifuddin.

Selain itu, KH. Djunaidi sangat peduli dengan aktivitas keagamaan di lingkungannya. Beliau mewakafkan langgar di depan rumahnya (sekarang sudah jadi masjid) di Jalan Kebon Kacang III No. 42 Tanah Abang Jakarta Pusat. Selain itu, beliau juga aktif mengajar dan berdakwah di Masjid Al-Ma’mun Tanah Abang.

4. Referensi
NU Online

Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 2 Februari 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 2 Februari 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya