Biografi Nyai Hj. R. Djuaesih Minder

 
Biografi Nyai Hj. R. Djuaesih Minder

Daftar Isi Profil Nyai Hj. R. Djuaesih Minder

  1. Kelahiran
  2. Pendidikan
  3. Peranan di Nahdlatul Ulama
  4. Perintis Muslimat NU

 

Kelahiran

Nyai Hj. R. Djuaesih Minder lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada Juni 1901. Beliau merupakan putri dari R. O. Abbas dan R. Omara S.

 

Pendidikan

Sejak kecil, Nyai Hj. R. Djuaesih Minder dalam didikan kedua orang tuanya sendiri, R. O. Abbas dan R. Omara S. Selebihnya ia belajar dari pengalaman dan pergaulan dengan lingkungan sosialnya. Ayahnya yang seorang ustadz banyak membekali Djuaesih dengan ilmu agama, sedangkan ibunya mendidik dan mengajari budi pekerti dan tata cara hidup berumah tangga.

Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan formal, Nyai Djuaesih menyadari betul pentingnya pendidikan bagi masa depan. Karenanya, begitu ada kesempatan ia pun menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan formal yang dibuka pemerintahan Hindia Belanda saat itu.

Tiga anaknya berhasil menamatkan pendidikan di MULO, sedangkan lainnya di HIS. Untuk ukuran zaman itu, apa yang dilakukan Djuaesih tergolong langka di tengah kehidupan pribumi yang serbasulit, tak hanya di bidang ekonomi dan politik tapi juga pendidikan.

Peranan di Nahdlatul Ulama

Nyai Hj. R. Djuaesih Minder memiliki keberanian yang besar dan rasa percaya diri yang tinggi. Nyai Djuaesih dan Nyai Siti Sarah adalah sosok yang tercatat dalam sejarah sebagai perempuan pertama Nahdhatul Ulama (NU) yang menyuarakan hak-hak kaumnya saat Muktamar ke-13 NU di Menes, tahun 1938.

Berbekal pengalaman yang didapatnya karena kerap kali diajak suaminya dalam kegiatan organisasi, Nyai Djuaesih memiliki keberanian lebih dibandingkan perempuan sebayanya kala itu. Dia dengan lantang dan berapi-api menyuarakan suara hatinya terkait kesetaraan perempuan NU.

Sorot matanya tajam, dan dengan gaya retorika yang elegan istri dari Danuatmadja alias H. Bustomi itu menguraikan pandangannya. Dalam persidangan khusus bagian wanita Muktamar ke-13 NU di Menes, Nyai Djuaesih mengobarkan semangat kaumnya dan menyadarkan bahwa perempuan Nahdliyin memiliki tanggung jawab yang sama dengan kaum laki-laki NU.

Sontak, pidatonya membuat para hadirin terpesona. Dia akhirnya dikenal sebagai sosok perempuan NU yang pertama kali naik mimbar dalam forum resmi organisasi. Isi pidatonya terkait tanggung jawab yang sama dalam organisasi menjadi rintisan pandangan dan cikal bakal lahirnya Muslimat NU.

Awalnya, Nyai Djuaesih mengusulkan agar perempuan turut andil dan aktif menjadi anggota NU. Hal itu sebagai pembelajaran sebelum perempuan NU mandiri dan memiliki organisasi sendiri.

Perintis Muslimat NU

Pada Muktamar NU ke-14 di Magelang, Nyai Djuaesih diberikan kesempatan untuk menyampaikan gagasannya tentang pentingnya organisasi perempuan di tubuh NU.

"Di dalam Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita pun wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kami wanita yang tergabung dalam NU mesti bangkit," (Nyai Hj. R. Djuaesih).

Pidatonya disaksikan langsung oleh Kiai Wahab, Kiai Bisri, Kiai Asnawi Kudus, Syekh Kasyful Anwar Kalimantan, KH Abdurrahman Menes, Habib Gathmayr dari Palembang, KH Abdul Latif Cibeber dan ratusan kiai lain.

Pada kongres itu jugalah Nyai Djuaesih diberikan tugas untuk memimpin rapat umum Muslimat NU pertama, dan juga dihadiri oleh perwakilan dari berbagai daerah, diantaranya juga memberikan pandangan selama rapat umum. Mereka yang menyumbangkan gagasannya adalah Nyai Saodah dan Nyai Gan Antang dari Bandung, Nyai Badriyah dari Wonosobo, Nyai Sulimah dari Banyumas, Nyai Istiqomah dari Parakan, dan Nyai Alfiyah dari Kroya Cilacap.

Pada 10 Desember 1940 diadakanlah rapat secara tertutup di Gedung Bubutan NU, Surabaya. Saat itu Nyai Djuaesih sebagai ketua dan Nyai Sitti Hasanah sebagai sekretaris. Setelah itu, pada Muktamar ke-16 di Purwokerto pada 29 Maret 1949 dibentuklah organisasi perempuan NU dengan nama Nadlatoel Oelama Moeslimat (NOM).

Meski menjadi sosok perintis Muslimat NU, Nyai Djuaesih tak begitu menonjol sebagai organisator dalam kepengurusan Muslimat. Dia lebih populer sebagai mubalighat dalam kepengurusan Muslimat NU Jawa Barat. Sehingga, saat kepengurusan awal Muslimat tahun 1946, Nyai Djuaesih belum masuk susunan pengurus pusat yang saat itu ketua Muslimat NU dijabat Nyai Saodah Natsir. Baru pada periode 1950-1952, Nyai Djuaesih tampil sebagai ketua.

Seperti umumnya masyarakat pribumi zaman Hindia Belanda, perempuan yang dikaruniai tiga orang putra dan dua putri ini tidak mengenyam pendidikan formal.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya