Kitab Risalah Ahlussunah Waljama'ah: Kewajiban Taklid Bagi Orang yang Tidak Mampu Berijtihad

 
Kitab Risalah Ahlussunah Waljama'ah: Kewajiban Taklid Bagi Orang yang Tidak Mampu Berijtihad
Sumber Gambar: foto (ist)

Laduni.ID Jakarta - Mazhab adalah metode pelaksanaan ibadah yang ditetapkan oleh ulama mujtahid. Ijtihad adalah kemampuan melahirkan hukum Islam dari dalil dalil yang bersifat komperehensif. Taklid adalah mengikuti pendapat ulama dalam pelaksanaan ibadah dan hukum hukum Islam.

Menurut mayoritas ulama, wajib hukumnya bertaklid (mengikuti) pendapat ulama mujtahid (mazhab) dan mengambil fatwa mereka, kewajiban tersebut atas siapa pun yang tidak memiliki kapasitas berijtihad.

Selagi dia belum mampu berijtihad, maka wajib taklid, walaupun telah memiliki ilmu ilmu penunjang ijtihad. Supaya ia gugur dari kewajiban taklid, harus mengikuti mazhab tertentu sesuai keinginannya.

Baca Juga: Kisah Singkat di Balik Penulisan Kitab Shalawat Dala’il Al-Khayrat

Berdasarkan pada firman Allah: "Maka bertanyalah kalian pada ahli (ulama), jika kalian belum mengetahui."

Allah mewajibkan bertanya atas orang yang tidak tahu. Hal itu bermakna taklid kepada seorang ulama. Dan ini berlaku pada setiap orang.

Orang-orang awam sudah ada dan terus ada sejak zaman para sahabat dan tabi'in. Mereka bertanya dan meminta fatwa pada ulama mujtahid, serta mengikutinya dalam hokum-hukum syariat. Para ulama juga sigap menjawab persoalan umat tanpa menyebutkan dalilnya.

Hal ini (menjawab hukum syariat tanpa menyebutkan dalil untuk orang awam) bukan merupakan hal yang dilarang. Tidak ada satu pun ulama yg menentang metode ini. Maka, mengikuti ulama adalah wajib. Karena pemahaman orang awam terhadap Al-Qur'an dan sunah tidak bisa dipertimbangkan.

Jika tidak sesuai dengan pemahaman ulama yang kompeten. Setiap ahli bid'ah dan orang yang tersesat memahami Al-Qur'an dan sunah dan mengambil hukum darinya secara serampangan. Padahal semuanya itu batal. Maka mereka selalu membutuhkan arahan untuk menuju kebenaran.

Bolehnya pindah mazhab

Wajib bagi umat awam untuk menetapi mazhab tertentu pada setiap kejadian atau peristiwa. Semisal ia telah bermazhab syafi'i, maka ia tidak harus selalu mengikuti mazhab syafi'i. Boleh baginya berpindah mazhab pada selain syafi'i.

Orang awam yang tidak mampu mengolah dalil hingga melahirkan hukum, juga tidak membaca kitab-kitab dalam mazhabnya, jika ia mengatakan: "Saya bermazhab syafi'i", maka omongannya tidak begitu dianggap.

(Maksudnya, jika padanya terjadi kesalahan dalam tata cara ibadah mazhab syafi'i yg menyebabkan tidak sah, bisa dicarikan pembenaran dan pengesahan dari mazhab lain)

Dikatakan bahwa menetapi satu mazhab dan tidak boleh berpindah mazhab hukumnya wajib. Sebab orang yang memilih mazhab tertentu, ia tentu meyakini bahwa mazhab yang ia pilih adalah mazhab yang paling benar. Maka ia wajib menetapi keyakinan tersebut dengan mengikutinya tanpa berpindah mazhab.

Baca Juga: Berawal dari Mimpi Nabi, Begini Sejarah Kitab Aqidatul Awam

Bagi seorang yang taklid, boleh berpindah mazhab imam lain pada keadaan (kejadian) tertentu. Misalnya, ia mengikuti mazhab syafi'i dalam melaksanakan shalat zuhur. Kemudian mengikuti mazhab lain dalam melaksanakan shalat asar.

Bertaklid setelah selesai melakukan ibadah adalah hal yg boleh.

(Penjelasan dari penyataan di atas insyaallah mudah dipahami melalui penggambaran kasus)

Misalnya, ada penganut mazhab syafi'i shalat. Ia meyakini bahwa shalatnya sah menurut mazhab syafi'i. Ternyata setelah selesai, terdapat hal yg membatalkan shalatnya menurut mazhab syafi'i, namun tetap sah menurut mazhab lain. Maka hukum shalatnya tetap sah dan tidak perlu mengulang.

Oleh: Syahrian Najah (Sekretaris Ansor Mesir)