Santri Yang Selamat Karena Gemar Tahlilan

 
Santri Yang Selamat Karena Gemar Tahlilan
Sumber Gambar: Facebook Agung

Laduni.ID, Jakarta - Santri dan pesantren selalu memiliki kisah lucu, polos dan unik yang dapat mengundang gelak tawa. Salah satunya adalah kisah percakapan seorang kiai dengan tiga santri baru, yang ingin mengaji pasaran atau musiman Ramadan di suatu pesantren.

Sudah menjadi hal yang wajar, ketika masuk pesantren, santri akan sowan terlebih dulu ke kediaman (ndalem) kiai. Pun demikian dengan tiga santri kita yang bernama Ashri, Falaq dan Imron ini.

Ketika sudah menghadap, ketiga santri itu ditanya oleh sang kiai.

“Siapa namamu?”

“Nama saya Ashry, kiai,” jawabnya, dengan penuh takdzim.

“Oh, nama surat dalam Al-Quran, ya?”

“Iya, kiai”

“Nama yang bagus. Tapi kalau kamu namanya Ashri, sudah sepantasnya hafal surat al-Ashri. Hafal tidak?”

“Hafal, kiai.”

“Coba dibaca,” pinta sang kiai.

Tak pakai lama, ia pun membaca surat al-‘Ashri dengan lancarnya. Maklum, rata-rata muslim Indonesia sudah hafal dengan surat yang satu ini karena pendek. Santri pertama pun lulus dari ujian dadakan ini. Sang kiai memujinya, karena sudah selayaknya ia hafal surat yang menjadi namanya.

Kemudian pertanyaan berlanjut kepada santri yang kedua.

“Kalau kamu, siapa namanya?”

“Nama saya Falaqi, kiai”

“Nama surat dalam al-Quran lagi?”

“Iya, kiai”

“Hafal, tidak?

“Hafal, kiai”

“Coba dibaca”

Santri kedua pun membaca dengan lancarnya. Maklum, surat al-Falaq juga salah satu surat pendek dalam al-Quran. Santri kedua pun lulus dari ujian dadakan. Sang kiai memujinya, karena sudah sepatutnya ia hafal surat yang menjadi namanya.

Setelah keduanya lulus ujian dadakan, santri yang ketiga pun deg-degan. Keringatnya bercucuran sebesar jagung. Kini ujian itu juga akan dialamatkan kepadanya.

“Lha, kalau kamu, namanya siapa?”

Sang santri diam saja. Maklum, namanya adalah Ali Imron, salah satu surat yang panjang dalam al-Quran. Dan kabar buruknya ia tak hafal surat tersebut. Ali Imron memutar otak mencari akal. Sang kiai pun mengulangi pertanyaan yang sama.

“Siapa namamu?”

Sang santri masih diam saja. Kini ia tambah gemetaran. Wajahnya layu, mukanya menunduk, dengan bibir bawah menggigit bibir atasnya.

Namun, beberapa bentar kemudian, ketemulah akal yang dicari itu. “Sepertinya ini adalah solusi di saat-saat seperti ini,” batinnya. Mukanya sedikit cerah. Ia sudah bisa bernafas lega. Kini ia siap dengan pertanyaan yang sama dari sang kiai.

“Siapa namamu? Kenapa diam saja?”

“Anu kiai, Nama saya Imron, tapi panggilannya Qulhu,” jawabnya.

Meledaklah tawa sang kiai mengdengar jawaban Imron. Ia tahu bahwa ini adalah “akal-akalan” dari santri baru itu, agar tak disuruh membaca surat yang panjang.

“Ceritanya bagaimana, kok bisa dipanggil Qulhu?” kejar sang kiai.

Anu, Pak Kiai, keluarga saya itu NU yang suka tahlilan. Nah, di dalam tahlil itu ada bacaan surat Al-Ikhlas (Qulhu) yang saya hafal dan sering membacanya di dalam shalat. Saking seringnya membaca, teman-teman sampai memanggil saya Qulhu. Maklum, surat itu mudah dan tak pakai lama, kiai. Hehe,” kata Imron sambil garuk-garuk kepala.

“Oh, kalau begitu, sudah benar kamu, Hu, Qulhu,” kata sang kiai, sambil tertawa geli dalam hati. Sang kiai pun ingat kisah sahabat Nabi yang masuk surga karena suka baca surat Al-Ikhlas.

Akhirnya, Ali Imron hanya disuruh membaca Surat Al-Ikhlas atau sering disebut Qulhu itu. Ia lulus dengan “summa-cumlaude”.

Berkah sering ikut tahlilan, ia pun selamat dari ujian dadakan menghafal surat panjang.

 

Sumber: https://www.facebook.com/photo?fbid=501986977499265&set=g.1068514559936172

(Diadaptasi dari salah satu ceramah KH. Achmad Chalwani Nawawi, Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah)