Eminensi Karangan Kitab Imam Ghazali

 
Eminensi Karangan Kitab Imam Ghazali
Sumber Gambar: Fonsvitae

Laduni.ID, Jakarta – Musim panas sedang menyandingi bumi Hadhramaut, sinar matahari yang sangat panas menyengat, sehingga mampu menembus baju taqwa yang sedang kupakai. Aku memutuskan untuk pergi ke Asrama lalu membereskan kitab-kitab yang berada di meja kasur tidurku. Tak tau mengapa, ketika aku membereskan kitab, aku tergerak untuk membaca sebuah kitab yang terletak di atas meja tersebut, kitab itu berjudul “Maqolu an-Nasihin Bihifdizi Sa'airiddin” karya Al-Imam Sayyidina Syekh Al-Faqih Al-Alamah Al-Muhaqiq Muhammad bin Umar Baa Jamal Nafa'Allahu bihi Wabiulumihi Aamiin.

Beliau adalah salah satu ulama yang matang dengan keilmuannya, baik ilmu dzohir maupun batin, memiliki kelebihan yang luar biasa dalam ilmu syari'ah, serta mampu menguasai banyak keilmuan. Beliau lahir pada hari selasa, 7 Ramadhan tahun 905 H, pada waktu kecil beliau belajar Al-Qur'an kepada ayahnya, setelah itu ia mempelajari ilmu syari'ah kepadanya pula hingga dewasa, sampai ia menjadi manusia yang di unggulkan di zamannya, beliau pula pernah melakukan ibadah dan bermujahadah, ketika itu ia berteman dengan Al-arif Billah As-Syekh Ma'ruf bin Abdullah, dan menyuruhnya untuk berkholwat. Beliau pula pernah melaksanakan ibadah Puasa Dahr sepanjang 40 tahun, ia tidak membatalkan puasanya kecuali di hari Ied dan hari Tasyriq. Beliau pula pernah menggeliat selama 40 hari, pada hari-hari tersebut ia meninggalkan makan dan minum.

Ketika di akhir hayatnya. Beliau merasakan kerinduan yang sangat dalam kepada Rabb-nya, ingin berjumpa dengan-Nya, ia berkata, “Jika seandainya aku diperintahkan untuk memilih antara hidup hingga esok hari atau mendapatkan kedudukan Syekh Abdul Qodir al-Jailani atau meninggal sekarang, niscaya aku akan memilih untuk meninggal sekarang.” Belaiu wafat di lembah Dau'an, pada tahun 964 H, dan dimakamkan di samping pemakaman Syekh Ma'ruf bin Abdullah, banyak orang yang mengunjungi pemakaman tersebut untuk berziarah dan tabaruq, semoga Allah memberikan tempat yang terbaik untuk beliau.

Aku membuka lembaran pertama pada kitab tersebut, menerangkan tentang pujian ulama atas karangan kitab Imam Hujjatul Islam Muhammad bin Muahmmad bin Muhammad Al-Ghazali, terutama pujian terhadap kitabnya yang berjudul Ihya Ulumuddin. Beberapa ulama yang memuji karangannya Imam Ghazali, diantaranya;

Al-Imam Sulthonul Mala' Abdullah bin Abu Bakar Al-Aydrus Al-Akbar r.a berkata:

لو بعث الأموات لما أمروا الأحياء إلا بمطالعة الإحياء

Artinya: “Jika seandainya orang yang telah meninggal dibangkitkan, maka ia tidak akan menyuruh orang yang masih hidup kecuali untuk muthola'ah (mempelajari) kitab Ihya (Ihya Ulumiddin).”

Dimasa kecil Al-Imam Abdullah Al-Aydrus sudah mendalami ilmu tasawuf, beliau tidak hanya mempelajari ilmu Dzohir saja, akan tetapi ia juga mendalami ilmu batin. Beliau belajar kitab Ihya dari pamannya sendiri, Syekh Umar Al-Muhdlor. Beliau sangat gemar membaca kitab Ihya Ulumuddin, bahkan ia hampir hafal kitab karangannya Imam Ghazali itu.

Al-Imam As-Sayid Al-Faqih Muqoddam Tsani Abdurrahman As-Segaff r.a berkata:

من لا له ورد فهو قرد، ومن لا يطالع في الكتاب الإحياء ما فيه حيا، ومن لم يفهم المهذب لم يعرف قواعد المذهب، ومن لم يقرأ التنبيه فليس بنبيه، ومن ليس له أذكار فلا يذكر، ومن لا له أدب فهو دب

Artinya: “Barangsiapa yang tidak mempunyai amalan wirid maka ia seperti kera, dan barangsiapa yang tidak mempelajari kitab Ihya Ulumuddin, maka ia tidak akan mempunyai rasa malu, barangsiapa yang belum faham kitab Al-Muhazab, maka ia tidak akan tau kaidah Mazhab, barangsiapa yang belum membaca kitab At-Tanbih maka ia tidak akan menjadi orang yang teliti (waspada), dan barang siapa yang todak memiliki dzikir, maka ia tidak akan disebut (oleh Allah), dan barang siapa yang tidak memiliki adab maka ia seperti beruang.”

Al-Imam As-Sayid Al-Faqih Muhammad bin Ali Aidid r.a berkata:

من لا يحب كتب الغزالي فليس من أبناء الأخرة، بل هو من أبناء الدنياء

Artinya: “Barangsiapa yang yang tidak mencintai kitab-kitab karangan Imam Ghazali, maka ia bukan termasuk dari golongan akhirat tapi ia termasuk dari golongan yang mencintai dunia.”

Sebagian Ulama ada yang memberi nama kitab tersebut dengan Bahrul Muhit (lautan yang dalam) maksudnya, lautan dunia dan akhirat serta didalamnya mencakup ilmu aqli dan naqli, dan adapula yang memberi nama dengan Magnatisul Qulub (Magnet hati) karena dengan membaca kitab tersebut akan cepat menarik hati kita untuk dekat dengan Allah SWT. Imam Nawawi r.a mengatakan bahwa kitab Ihya hampir setara dengan Al-Qur'an, Karena menurut para ulama, kandungan isi kitab tersebut mencakup segala aspek keilmuan.

Al-Imam Al-Faqih Al-Kabir As-Syekh Muhammad bin Abi Bakar Abbad r.a bertanya kepada Syekh Ahmad bin Afif, “Apakah kalian di Hijren (salah satu tempat yang berada di Hadhramaut) mempunyai kitab Ihya?” Syekh Ahmad bin Afif menjawab, “tidak,” lalu ia berkata, “maka gelaplah keadaan tempat tersebut dan lemahlah keislamannya, karena kitab Ihya memberikan dampak yang sangat baik dan keberkahan bagi orang yang mempelajarinya dengan kuat, maka perbanyaklah membaca kitab tersebut.

Rasulullah SAW pula menyampaikan pujiannya lewat mimpi kepada sebagian ahli basyiroh (para wali), beliau berkata, “kitab tersebut (Ihya Ulumuddin) sesuai dengan sunahku, maka pelajarilah kitab ini, niscaya hati akan tenang, karena di dalamnya mengandung isi tentang ilmu keimanan dan ilmu pengetahuan.”

Imam Abu Wafa As-Syadili r.a berkata:

“Dianjurkan untuk seorang pemula untuk mempelajari kitab Bidayah Al Hidayah, setelah itu kitab Minhaj Al-Abidin dan diakhiri dengan kitab Ihya Ulumiddin.”

Kitab Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-Abidin dan Ihya Ulumiddin ketiganya merupakan kitab karangannya Imam Ghazali yang sudah tak asing di telingan santri Nusantara. Kitab Bidayah al-Hidayah menjelaskan tentang bagaimana seorang muslim mengatur aktivitas kesehariannya, dimulai dari bangun tidur, hinggar tidur kembali. Kitab ini pula mengajarkan bagaimana agar setaip aktivitas kita dicatat sebagai amal baik dan bernilai ibadah, karena tak lain, tujuan kita (manusia) diciptakan, hanya untuk menyembah Allah Swt. Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون" (الذاريات ٥٦)

Artinya: “Dan tidaklah aku menciptakan Jin dan Manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Q.S Ad-Zariyat 56)

Kitab Bidayah al-Hidayah, dikomentari (diberi syarah) oleh salah satu ulama Nusantara yaitu Syekh Nawawi Al-Bantani (1314 H), kitab tersebut bernama Maraqi al-Ubudiyah syarh matan Bidayah al-Hidayah.

Konon, Syekh Nawawi Al-Bantani, ketika mengarang kitab tersebut, keadaan ditempatnya gelap gulita, ia berdo'a kepada Allah SWT agar telunjuk tangan kirinya dijadikan sebagai lampu untuk menerangi tangan kanannya yang sedang menulis kitab tersebut. Cahaya pada jari telunjuk kirinya itu, membawa bekas yang tidak hilang.

Kitab Minhaj al-Abidin, merupakan kitab terakhir dari karangannya Imam Ghazali, kitab tasawuf ini menerangkan tentang bagaimana seseorang melakukan pekerjaan dengan baik dan benar, bagaimana cara bertaubat yang sesungguhnya, bagaiman cara menggunakan anggota tubuh yang sesuai dengan syariat, sehingga mampu mengantarkan dirinya kepada jalan yang diridoi oleh Allah SWT. Kitab ini dikomentari (diberi syarah) oleh salah satu ulama Nusantara juga, yaitu Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampesi Al-kediri r.a dengan judul Sirajut at-Tholibin Syarah Minhaj al-Abidin (1272 H).

Kitab Ihya Ulumiddin adalah kitab Tasawuf yang mengandung 4 bagian; al-Ibadah, al-Adat, al-Muhlikat dan al-Munjiyat. Sebagian ulama mengatakan, kitab Ihya adalah kitab karangan yang paling baik diantara kitab-kitab lainnya, karena tidak ada ulama yang mengarang kitab layaknya Imam Ghazali. Begitu banyak ulama yang menganjurkan (mewasiatkan) agar mempelajari dan mengamalkannya, termasuk Imam Syadzili. Kitab Ihya dikomentari (diberi syarah) oleh Syekh Murtadza az-Zabidi (1025 H) dengan nama Ithaf Sadat al-Muttaqin Syarah Ihya Ulumiddin.

Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H, di kota Thus, kota terbesar kedua setelah Naisabur, ditempat itulah Mujaddid abad ke 5 lahir. Ia memiliki nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, memiliki nama kuniyah Abu Hamaid, yang bermakna bapak dari seorang anak yang bernama Hamid. Hamid merupakan anak dari Imam Ghazali, yang meninggal ketika masih kecil. Nisbat Al-Ghazali pada dirinya tersemat karena bapak Muhammad merupakan pemintal benang (Al-Ghazzal). Sebagian pendapat mengatakan bahwa nisbat Al-Ghazal (tanpa tasydid) merujuk kepada nama sebuah desa di Thus yang bernama Ghazalah.

Ia merupakan salah satu murid dari seorang pakar fikih mazhab Syafi'i dan teolog besar di Naisabur yaitu Imam Haramain. Di tangan Imam Haramain, kejeniusan Imam Ghazali terasah, dalam waktu yang sangat singkat belaiu menjadi intelektual muda, tak lain karena ia bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmunya. Al-Farisi, ulama yang hidup satu zaman dengannya pernah menuliskan otobiografi tentangnya, dan mengatakan bahwa Imam Ghazali dalam waktu singkat dipercaya untuk menggantikan Imam Haramain mengajar ketika ia berhalangan. Ketika ia mengaji kepada Imam Haramain, ia mengarang kitab Usul Fikih yang berjudul al-Mankhul, sebuah kitab yang berbobot dalam bidang usul fikih, sehingga menimbulkan kecemburuan di antara para ulama. Ia dinasehati gurunya agar tidak mempublikasikan kitabnya tersebut, sebab dikhwatirkan banyak orang yang iri dengki dengan karya dan kejeniusan intelektual mudanya itu.

Pada tahun 478 H, Imam Haramain wafat. Al-Ghazali meninggalkan gurunya menuju Mu'askar sebuah tempat yang berada di Naisabur. Pada tahun 484 H ia pergi ke Baghdad untuk mengajar di Madrasah Nidzamiyah, disana ia menjadi orang yang terdepan, ia meluruskan pemahaman Batiniyah. Ia mengarang kitab Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Fadhaih al-Batiniyah dan Qawasim al-Batiniyah.

Pada tahun 488 H, ia mengalami kegoncangan jiwa, ia merasa ilmu dan wawasan yang ia miliki belum dapat menghantarkan dirinya menemukan Tuhan-nya. Pada bulan Dzul Hijjah tahun 489 H, beliau menuju Makkah untuk melaksanakan Ibadah haji. Setelah itu ia menuju Syam dan menetap di Damaskus. Tidak bertahan lama ia meninggalkannya dan menuju Al-Quds. Di sana belaiu memulai penulisan kitab Ihya Ulumiddin, dan merampungkannya di Damaskus. Beliau hanya beberapa bulan saja di Al-Quds, setelah itu ia meninggalkannya, kemudian menuju Damaskus kembali dan menetap di Masjid besar Al-Umawi untuk menyelesaikan kitab Ihyanya.

Sayyidi Syekh Muhammad bin Ali Ba'tiyah Hafidzohullah ta'ala mengatakan dalam kitabnya I'tizazu at-Tasyaruf, bahwa sebab beliau mengarang kitab tersebut, karena melihat keadaan umat islam yang banyak mencintai dunia. Kitab tersebut bisa mengendalikan hawa nafsu seorang mu'min, serta bisa mengantarkan manusia menjadi orang yang sholeh (baik). Beliau resmi menempuh jalan sufi pada masa itu. Sekitar 10 tahun ia mendekatkan diri di Masjid tersebut. Belaiu sempat kembali ke Baghdad dan akhirnya kembali ke kampung halamannya, hingga beliau Wafat. Beliau wafat di kota Thus, pada hari senin 14 Jumadil Akhir 505 H.

Karya Imam Ghazali sangatlah banyak dari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah: Dalam bidang fikih ada Al-Basit, Al-Wasit, Al-Wajiz, dan lainnya. Dalam bidang tasawuf ada Ihya Ulumuddin, Bidayah al-Hidayah, al-Munqidz min ad-Dhalal dan lainnya. Dalam bidang usul fiqih ada al-Mankhul dan al-Mustofa. Dalam bidang filsafat ada Tahafut al-Falasifah, maqasid al-Falasifah dan lainnya. Dalam bidang Mantiq ada Mi'yarul Ilmi. Dalam bidang tauhid ada Iljamul Awam. Dalam bidang adab ada Ayuhal Walad. Dan masih banyak karangan lainnya yang belum bisa disebutkan.

Sebagian ulama mengatakan:

لو بعث الله نبيه بعد نبينا محمد صلى الله عليه وسلم لبعث الإمام الغزالي ولكانت معجزته في كتبه

 Artinya: “Jika seandainya Allah mengutus nabi setelah nabi Muhammad Saw. Maka Allah akan mengutus Imam Ghzali, karena Mukjizat yang terdapat pada kitab-kitabnya.”

Ada juga yang mengatakan bahwa kitab karangan Imam Ghazali memiliki sirr yang mahal, maka dari itu pelajarilah dan cintailah karangannya. Para salafusholih seperti Imam Fakhrul Wujud, Syekh Abu Bakar bin Salim, selama hidupnya beliau menghatamkan  kitab Ihya sebanyak 40 kali, Al-Habib Abdullah bin Husein bin Tohir di juluki sebagai Ihya Ulumuddin berjalan, suatu ketika keponakan Al-Habib Abdullah bin Huesin bin Tohir, Al-Habib Abdullah bin Umar bin Yahya pernah ditanya oleh warga setempat tentang sifat dan akhlak Al-Habib Abdullah bin Husein bin Tohir, lantas Al-Habib Abdullah bin Umar bin Yahya menjawab, "Pamanku Al-Habib Abdullah bin Husein bin Tohir bersih dari penyakit-penyakit hati, hati dan raga beliau selalu di hiasi dengan akhlak mulia, ia bagaikan kitab Ihya Ulumiddin berjalan, bahkan lebih. Semoga kita bisa mengambil faidah serta bisa meneladani Imam Ghazali.

Wallahu a'lam

Refernsi:

1. Maqolu an-Nasihin karya Syekh Muhammad bin Umar Baajamal.

2. Syarh Ainiyah karya Al-Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi

3. I'tizazu at-Tasyaruf karya Sayidi Syekh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba'tiyah

Hadhramaut, Kamis 22 Syawal 1442 H.

Oleh: Gilang Fazlur Rahman – Mahasiswa Tingkat 1, Fak. Syari'ah, Imam Shafie University, Mukalla, Hadhramaut, Yaman.


Editor: Daniel Simatupang